Teori korupsi yang paling sederhana menyebutkan penyimpangan akan selalu terjadi jika risiko yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi itu lebih kecil daripada keuntungan yang diperolehnya. Bentuk risiko bisa bermacam-macam, dari mudah atau tidaknya koruptor itu tertangkap, berat atau tidaknya hukuman karena korupsi yang dilakukan, hingga ada atau tidaknya risiko pengucilan oleh masyarakat sebagai bentuk sanksi sosial yang diberikan. Dalam situasi ketika ketiga risiko itu sangat kecil, korupsi akan menghantui kehidupan kita sehari-hari.
Dengan kata lain, korupsi akan tetap berlangsung jika akibat dari tindakan itu secara pribadi tidak menyebabkan kerugian apa pun bagi pelaku. Dan pada saat yang sama, keuntungan yang diperoleh dari perbuatan korupsi dapat dinikmatinya secara bebas, bahkan turun-temurun sampai tujuh turunan. Tak aneh jika korupsi akan tumbuh subur tatkala sistem hukum tidak berjalan. Orang yang melakukan korupsi berpikir akan gampang lolos dari jerat pidana karena aparat penegak hukum mudah disuap. Koruptor akan mudah lari--bahkan sebagian besar hidup dengan tenang di tengah masyarakat--karena peradilan telah menjadi pasar transaksi pasal-pasal.
Karena itu, Robert Klitgaard mengatakan korupsi itu merupakan kejahatan kalkulasi, sebuah tindakan pelanggaran terhadap hukum yang didasari perhitungan yang rasional dengan pendekatan untung-rugi. Jika keuntungan melakukan korupsi lebih besar daripada kerugian yang mungkin didapat, korupsi akan tetap merajalela. Pendek kata, tanpa dibuat jera, orang akan tetap terus melakukan korupsi.
Di banyak negara, keberhasilan dalam memberantas korupsi dicapai dengan kerasnya penegakan hukum. Contoh terbaik adalah Cina. Beribu-ribu orang dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan korupsi--meskipun tegasnya penegakan hukum tidak harus selalu berarti dengan menjatuhkan hukuman mati. Kita tetap bisa tegas dengan cara yang sedikit berbeda, tanpa mengurangi efek jera yang ditimbulkannya. Misalnya saja menjatuhkan vonis tiga kali penjara seumur hidup bagi pelaku korupsi tanpa diperbolehkan mendapatkan pengampunan, baik dalam bentuk grasi maupun remisi. Hukuman itu dapat dikategorikan sangat berat tanpa harus mencabut hak asasinya sebagai manusia untuk tetap dapat hidup.
Yang paling utama, hukuman seberat itu pasti tidak akan memberikan kesempatan bagi koruptor untuk dapat menikmati hasil jarahannya. Ketika kesengsaraan ditimbulkan oleh hukuman berat yang dijatuhkan, pilihan untuk melakukan korupsi akan menjadi lebih kecil. Dengan bahasa lain, kita perlu menciptakan risiko besar bagi setiap praktek korupsi, dalam bentuk apa pun, untuk mempersempit ruang geraknya.
Masalahnya, konsep efek jera bagi pelaku korupsi masih menjadi sesuatu yang langka, khususnya dalam cakrawala yurisprudensi di Indonesia. Belajar dari kasus korupsi yang divonis pengadilan, rata-rata hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan akibat dari perbuatan korupsi. Yang paling keras tentu kasus korupsi BNI yang menyeret Dicky Iskandar Dinata. Jaksa penuntut umum mendakwanya dengan hukuman mati, meski kemudian majelis hakim menolaknya.
Untuk tahun 2006 saja, misalnya, berdasarkan catatan semester pertama yang dihimpun Indonesia Corruption Watch, terdapat 76 kasus korupsi dengan 206 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di sebagian besar wilayah Indonesia, dari tingkat pertama (pengadilan negeri), banding (pengadilan tinggi), hingga kasasi (Mahkamah Agung). Dari 76 kasus tersebut, terdapat 14 kasus korupsi (18,4 persen) yang divonis bebas oleh pengadilan, sementara sisanya yang 62 kasus divonis bersalah.
Masih adanya vonis bebas bagi terdakwa korupsi merupakan tanda tanya besar. Logika awam mengatakan, ketika jaksa melimpahkan berkas perkara korupsi ke pengadilan, tentu itu sudah dilengkapi dengan alat bukti yang cukup. Seharusnya, jika pun hakim melihat ada berbagai kekurangan, jaksa penuntut dapat diminta memperbaiki dakwaannya sehingga peluang terdakwa untuk bebas menjadi hilang. Pendek kata, mustahil jika proses hukum berjalan benar, hakim kemudian menjatuhkan vonis bebas.
Putusan bebas yang paling menuai kecaman tentu kasus korupsi Bank Mandiri yang melibatkan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe, mantan Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan mantan EVP Coordinator Corporate & Government M. Sholeh Tasripan yang merugikan negara Rp 160 miliar. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketiga terdakwa divonis bebas karena unsur kerugian negara tidak dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum meskipun jaksa sudah mendakwa dengan 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 12 bulan kurungan. Akibatnya, vonis bebas bagi pemimpin Bank Mandiri tersebut secara otomatis membebaskan para debitor Bank Mandiri (Edyson, Saiful Anwar, dan Diman Ponijan, tiga pengurus PT Cipta Graha Nusantara).
Selain putusan bebas yang masih cukup banyak, dari 76 kasus tersebut, 24 kasus di antaranya diputus dengan vonis hukuman di bawah 2 tahun penjara. Cara pandang hakim yang masih melihat kejahatan korupsi sama dengan kejahatan maling ayam merupakan hambatan serius bagi upaya efektif untuk meminimalisasi praktek korupsi. Sebab, efek jera yang hendak ditimbulkan tidak terjadi. Tentu repot jika motif maling ayam karena kebutuhan untuk mengisi perut yang lapar disamakan dengan motif mencuri uang negara karena keserakahan. Belum lagi jika akibat yang ditimbulkan dari kedua jenis kejahatan ini sangat berbeda. Sementara akibat maling ayam hanya muncul pada kerugian si pemilik ayam, mencuri uang negara mengakibatkan kerugian bagi banyak orang. Sebab, korupsi pada hakikatnya bentuk perampasan terhadap hak-hak masyarakat, bukan hak individu. Dimensi kejahatan yang berbeda ini seharusnya menciptakan jenis hukuman yang berbeda pula.
Apa yang telah ditunjukkan oleh institusi pengadilan selama semester I tahun 2006 kenyataannya masih jauh dari harapan bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Celakanya, selain vonis kepada para terdakwa pelaku korupsi rendah, kerap kali hakim tidak memerintah jaksa menahan terpidana. Alasannya, terpidana masih memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum lain, yakni banding atau kasasi.
Tak aneh jika kita melihat banyak koruptor yang sudah divonis oleh pengadilan masih bebas melenggang tanpa rasa malu. Sebab, secara legal-formal mereka masih belum dianggap bersalah mengingat belum ada kekuatan hukum yang tetap. Di sinilah sebenarnya sanksi sosial perlu diefektifkan. Masyarakat seharusnya memiliki mekanisme yang dapat menciptakan rasa bersalah bagi pelaku korupsi dengan mengucilkan para pelaku korupsi dari pergaulan sosial. Menjadikan pelaku korupsi sebagai figur yang dipanuti--karena mereka adalah tokoh/pejabat--merupakan awal gagalnya sanksi sosial bekerja.
Koran Tempo
No comments:
Post a Comment