Riwayat pemberantasan korupsi di Indonesia sebelumnya tidak pernah menyajikan realitas seperti sekarang ini. Pada periode sebelumnya, aktif-tidaknya seseorang sebagai pejabat negara akan menentukan jalannya proses hukum.
Roesdihardjo, mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia baru ditangani secara cepat oleh pimpinan KPK periode sebelumnya setelah dirinya tidak lagi menjabat posisi duta besar. Bahkan penetapan statusnya sebagai tersangka disembunyikan sekian lama. Kontan hal ini memicu kritik tajam dari masyarakat luas.
Pendek kata, cara-cara demikian tidak populer di mata banyak orang karena kentalnya aroma tebang pilih. Oleh karenanya, penetapan tersangka -terlepas dari jabatan yang melekat padanya- perlu didukung oleh semua kalangan, dengan tetap menjaga kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya agenda tersembunyi dalam proses hukum kasus BI.
Mengingat sedari dulu, kita telah menuntut supaya KPK benar-benar menunjukan tajinya, terutama ketika berhadapan dengan para pejabat yang memiliki kekuasaan besar. Harapannya, kasus BI akan menjadi titik awal bagi KPK untuk semakin tegas terhadap praktik korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara.
Agenda Politik
Ihwal agenda politik dalam penetapan tersangka kasus BI oleh KPK memang sulit untuk dielakkan. Sinyalemen demikian muncul karena dimulainya tahap penyidikan dugaan korupsi BI berdekatan waktunya dengan agenda pengajuan calon Gubernur BI yang baru ke DPR oleh Presiden.
Ditambah lagi, penetapan tersangka oleh KPK hanya mengarah kepada tiga orang saja, tidak atau belum menjangkau semua nama pejabat, baik yang ada di BI maupun DPR, sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti awal yang ada. Politisasi terhadap penegakan hukum kasus korupsi memang telah menjadi isu yang terus-menerus bergulir. Maka dari itu, pimpinan KPK periode sebelumnya memilih untuk menunda proses hukum yang dapat memicu tuduhan adanya pemelintiran terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Setidaknya setelah momen politik, seperti pilkada, pemilu, atau pemilihan pejabat publik lainnya usai, proses hukum akan dengan sendirinya dianggap netral. Sebenarnya situasi seperti ini telah menciptakan dilema tersendiri. Jika tidak memberikan bukti cepat kepada masyarakat tentu akan lahir anggapan bahwa KPK telah mengendapkan kasus. Akan tetapi dengan proses hukum yang berjalan, ada sandungan lain yang dihadapi, yakni tudingan bahwa politisasi telah terjadi.
Tiga Langkah
Supaya kondisi yang dilematis ini dapat diselesaikan, sekaligus meredam kecurigaan publik atas skenario di balik penetapan tersangka kasus BI, KPK memerlukan langkah-langkah lanjutan sekaligus respons yang tepat.
Pertama, KPK harus bisa meyakinkan kepada publik bahwa penetapan tersangka kasus BI bukan sesuatu yang disengaja dalam konteks pemilihan Gubernur BI. Akan tetapi merupakan sebuah proses yang tahap penyidikannya kebetulan hampir berdekatan dengan agenda pemilihan Gubernur BI yang baru.
Oleh karenanya, di sini KPK perlu secara transparan menjelaskan, alasan ketiga orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Tentunya kita percaya, dalam penetapan tersangka, KPK tidak sembrono melakukannya.
KPK mestinya telah memiliki bukti-bukti yang cukup sehingga proses hukum harus diteruskan ke tahap yang lebih maju. Hal ini mengingat dalam tahap penyidikan, KPK tidak bisa menghentikan perkara, selayaknya di Kepolisian atau Kejaksaan. Istilah SP3 tidak dikenal dalam kamus hukum KPK.
Wacana yang berkembang jelas mencurigai bahwa penetapan Gubernur BI seorang diri, di luar Dewan Gubernur BI lainnya yang ikut menyetujui pengucuran dana Rp 100 miliar dari YPPI bertujuan mengganjal terpilihnya kembali Burhanudin sebagai Gubernur BI untuk masa jabatan kedua.
Maka dari itu, KPK harus bisa menerangkan dengan sejelas-jelasnya kepada publik, bahwa posisi Gubernur BI, dalam kaitannya dengan penyimpangan dana YPPI bukanlah kekeliruan individual, akan tetapi sebuah kemufakatan dengan pejabat BI yang lain.
Kedua, penetapan tiga tersangka kasus BI haruslah diikuti dengan penetapan tersangka lainnya yang secara formil dan materiil terlibat dalam kasus ini. Dari berbagai dokumen rujukan yang digunakan untuk bukti awal penyelidikan, beberapa nama dari lapisan kalangan yang berbeda, baik dari BI, legislatif, pengacara, dan Kejaksaan, muncul atau disebut-sebut telah menerima dana haram tersebut.
Dari internal BI sendiri, tidak hanya Gubernur BI yang menyetujui penggunaan dana YPPI untuk berbagai keperluan yang diindikasikan sebagai tindak pidana korupsi, akan tetapi menyeret para anggota Dewan Gubernur BI yang lain.
Secara hukum, bubuhan tanda tangan sebagai bentuk persetujuan atas kebijakan yang menyimpang tersebut seharusnya dapat dijerat dengan hukum yang sama. Hal ini mengingat adanya tanggung jawab dan otoritas yang melekat pada pejabat BI itu sendiri.
Ketiga, mengingat kasus BI ini diduga kuat terkait persoalan suap, maka KPK juga harus dapat menyeret pihak lain yang telah menerima dana dari BI secara tidak sah. Dalam hal ini, yang terutama adalah anggota dan mantan anggota DPR. Ironi kasus DKP yang menjadikan Rokhmin Dahuri sebagai terpidana seharusnya tidak boleh terulang dalam kasus BI.
Kita tentunya masih ingat bagaimana KPK menghentikan semua proses hukum yang terkait dengan sumbangan ilegal DKP ke berbagai pihak, termasuk ke anggota DPR.
Hingga akhir penyelesaian kasus, dan Rokhmin telah divonis oleh Pengadilan Tipikor, tidak ada satu orang pun yang menerima dana DKP diproses oleh KPK. Kasus itu pula yang kian menguatkan persepsi publik bahwa KPK telah melakukan praktik tebang pilih.
Mengingat harapan masyarakat atas penuntasan kasus BI begitu tinggi, maka pimpinan KPK seharusnya merespons hal tersebut dengan memberikan hasil kerja yang memuaskan.
Nilai strategis dari kasus BI juga semestinya menjadi pemicu bagi KPK untuk melangkah lebih jauh, dengan menyeret semua pelaku yang terlibat dalam kasus BI. Karena dengan itu sajalah, KPK dapat dianggap telah melakukan pemberantasan korupsi tanpa pilih bulu. Kita sangat berharap, kasus ini justru tidak menyeret KPK ke kancah pertikaian politik dan perebutan kekuasaan belaka.
Adnan Topan Husodo
Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW
(Disalin dari Suarapembaruan, Minggu, 17 Februari 2008)
No comments:
Post a Comment