Wednesday, February 27, 2008

Menghapus Diskriminasi dalam Pemberantasan Korupsi

Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) No 30 Tahun 2002 kembali digugat. Burhanuddin Abdullah, tersangka kasus korupsi Bank Indonesia (BI), sekaligus Gubernur BI, telah mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap kewenangan KPK dalam melakukan pemeriksaan tanpa melalui mekanisme izin. Selama ini, hingga ditetapkannya Burhanuddin sebagai tersangka oleh KPK,pemeriksaan terhadapnya tidak melalui izin pemeriksaan dari presiden.Padahal,dalam UU BI No 23 Tahun 1999 Pasal 49 dinyatakan bahwa ’Dalam hal anggota Dewan Gubernur patut diduga telah melakukan tindak pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari presiden’.

Sementara itu,KPK sendiri dalam menjalankan tugasnya telah dinaungi UU No 30 Tahun 2002 yang menjamin secara penuh pelaksanaan tugas dan fungsi penegakan hukum tanpa kecuali,termasuk di dalamnya aturan mengenai izin pemeriksaan yang tidak perlu dilakukan oleh KPK.Dalam Pasal 46 ayat 1 UU tersebut dikatakan bahwa ’Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundangundangan lain,tidak berlaku berdasarkan undang-undang ini’. Penjelasan Pasal 46 menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai prosedur khusus itu adalah izin pemeriksaan.

Pemeriksaan tanpa melalui izin yang dimiliki KPK adalah salah satu dari beberapa kewenangan lainnya yang dikategorikan luar biasa.Pada periode KPK jilid pertama,KPK juga telah menghadapi gugatan serupa,dengan beberapa pokok gugatan yang berbeda.Terhitung sudah tujuh kali UU KPK dijudicial review berbagai kalangan yang semuanya sedang bermasalah dengan hukum. Dalam kurun waktu judicial review tersebut,terdapat dua putusan MK yang paling menyodok KPK.Pertama, dihapuskannya pengertian delik material dalam tindak pidana korupsi sebagaimana selama ini UU Tipikor No 31/1999 mengaturnya.Konsekuensi dari putusan tersebut,perbuatan korupsi dapat dijerat hanya jika secara formal aparat penegak hukum dapat membuktikan telah terjadi perbuatan melawan hukum.

Padahal, praktik korupsi di Indonesia memiliki tipikal yang khas di mana sejak dalam penyusunan peraturan perundang-undangan/kebijakan, substansinya sudah mengandung korupsi (kebijakan yang korup). Kedua,dibatasinya legalitas pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) selama tiga tahun saja dan adanya keharusan Pengadilan Tipikor diatur dalam UU tersendiri.Jika lewat dari masa tiga tahun itu DPR belum mengesahkan UU Pengadilan Tipikor, dapat dipastikan kewenangan penindakan KPK akan musnah dengan sendirinya. Mengacu pada beberapa preseden buruk di atas,menjadi sangat mungkin bagi majelis hakim MK untuk mengeluarkan putusan yang kontroversial kembali.Oleh karena itu, sebelum putusan atas sengketa kewenangan soal izin pemeriksaan itu dikeluarkan hakim MK,perlu ada beberapa penjelasan yang penting supaya program pemberantasan korupsi tidak dipangkas secara terusmenerus melalui pendekatan judicial review.

Pertama,kewenangan KPK dalam mem-by pass aturan mengenai izin pemeriksaan merupakan sebuah upaya untuk mendorong efektivitas program pemberantasan korupsi.Dalam penjelasan umum UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan bahwa KPK dibentuk sebagai jawaban terhadap mandulnya fungsi penegakan hukum yang selama ini diemban oleh kejaksaan dan kepolisian. Cara-cara konvensional yang selama ini dilakukan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi dirasa tidak efektif.Karena itu, mengingat perbuatan korupsi sendiri merupakan kejahatan luar biasa,perlu penanganan yang luar biasa pula.Kewenangan KPK dalam memotong beberapa mata rantai prosedur khusus yang dapat dianggap menghambat pemberantasan korupsi merupakan bagian dari kewenangan yang luar biasa tersebut.

Dalam praktiknya, KPK telah menerapkan kewenangan tersebut dalam berhadapan dengan pejabat publik lainnya seperti DPR,bupati,wali kota, gubernur,maupun anggota DPRD.Berpuluh-puluh pejabat publik yang telah diproses KPK tidak mensyaratkan izin pemeriksaan meskipun hal tersebut secara khusus diatur dalam UU tertentu. Perlu diingat bahwa prosedur khusus yang diatur dalam UU BI juga tercantum dalam beberapa peraturan lain,seperti UU Susduk DPR,MPR, DPD dan DPRD serta UU Pemerintahan Daerah.Jika KPK harus tunduk pada peraturan lain yang dianggap lex specialist,untuk memproses pejabat publik lainnya di luar kasus BI,KPK juga harus menempuh prosedur izin pemeriksaan.Pertanyaannya kemudian, lantas apa bedanya KPK dengan kejaksaan dan kepolisian jika prosedur khusus itu juga perlu diterapkan?

Kedua,secara sosiologis,prosedur khusus izin pemeriksaan dalam memproses hukum pejabat publik telah menghambat pemberantasan korupsi. Bahkan,dalam level tertentu,izin pemeriksaan telah membuat proses hukum terhadap pejabat publik berhenti sama sekali.Kejaksaan dan kepolisian adalah dua institusi penegak hukum yang kerap menghadapi kendala ketika berhadapan dengan prosedur khusus ini. Pasalnya,baik kejaksaan dan kepolisian tidak memiliki wewenang untuk memotong prosedur khusus sebagaimana KPK.Karena itu,dalam melakukan pemeriksaan terhadap pejabat publik,mulus tidaknya proses hukum yang dilakukan sedikit banyak tergantung dari ada atau tidaknya izin pemeriksaan.Menjadi lebih rumit karena prosedur khusus itu didesain bertingkat.Izin pemeriksaan sebagai saksi dibedakan dengan yang dilakukan bagi tersangka.

Dengan demikian, tatkala status hukum seorang pejabat publik berubah dari saksi menjadi tersangka, kejaksaan dan kepolisian harus mengajukan kembali permohonan izin pemeriksaan.KPK sendiri kadang perlu turun tangan untuk mendesak presiden mengeluarkan izin pemeriksaan bagi pejabat publik yang tengah diperiksa oleh kejaksaan dan kepolisian. Ketiga,prosedur khusus izin pemeriksaan sebenarnya telah melanggar UUD 45,khususnya Pasal 27 ayat 1, Pasal 28 D ayat 1,dan Pasal 28 I ayat 2. Persamaan di depan hukum sebagai landasan dasar dihapuskannya diskriminasi perlakuan oleh negara menjadi mentah karena prosedur khusus tersebut.

Pejabat publik seakan-akan sulit dijangkau oleh hukum karena memiliki ’’kekebalan’’. Dalam satu kasus korupsi yang sama, pemidanaan terhadap pelakunya dapat sangat diskriminatif karena faktor prosedur khusus itu.Pelaku utamanya sering tidak dapat diproses karena persoalan prosedur izin, sedangkan pelaku lain yang kebetulan hanya membantu atau menjalankan perintah dengan mudah dapat dijerat hukum. Mengacu pada beberapa penjelasan di atas,sudah sepatutnya prosedur khusus yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan dihapuskan. Ke depan, posisi setiap warga negara baik pejabat publik atau bukan harus setara di mata hukum. Feodalisme hukum dalam bentuk keistimewaan bagi pejabat publik harus diakhiri untuk menghapuskan diskriminasi hukum itu sendiri.(*)

Oleh: Adnan Topan Husodo
Disadur dari harian Seputar Indonesia, Rabu, 27 Februari 2008)

No comments: