Thursday, February 21, 2008

Memangkas Birokrasi Penegakan Hukum

Isu perizinan dalam penanganan perkara pidana kembali muncul ketika tersangka kasus BI, Burhanuddin Abdullah--yang juga Gubernur Bank Indonesia--mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal yang digugat tak lain adalah sengketa materi undang-undang berkenaan dengan kewajiban adanya izin dari presiden bagi dewan gubernur yang akan diperiksa dalam kaitannya dengan suatu tindak pidana. Pasal 49 Undang-Undang BI Nomor 23 Tahun 2004 menyebutkan: "Dalam hal anggota Dewan Gubernur patut diduga telah melakukan tindak pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Presiden."

Dalam kacamata Burhanuddin dan tim pengacara BI, aturan demikian seharusnya dipatuhi oleh KPK. Sehingga dalam melakukan pemeriksaan terhadap Dewan Gubernur BI, KPK semestinya menempuh prosedur dengan terlebih dulu meminta izin kepada presiden. Hal demikian dalam konteks penanganan kasus BI tidak dilakukan KPK. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KPK dalam pandangan penggugat telah melanggar hukum beracara yang mana dapat membawa implikasi pada tidak sahnya proses hukum yang selama ini telah berjalan.

Pada sisi yang lain, KPK memiliki dalih legalnya sendiri untuk menerabas atau mengatasi peraturan perundang-undangan yang mewajibkan adanya prosedur izin pemeriksaan. UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 46 menyebutkan: "KPK tidak terikat pada prosedur khusus dalam rangka pemeriksaan tersangka dalam peraturan perundang-undangan lain, termasuk surat izin dari Presiden." Menilik pada pasal ini, sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa Pasal 49 UU BI seharusnya tunduk pada Pasal 46 UU KPK. Terkecuali bagi kepolisian atau kejaksaan yang memang tidak memiliki kewenangan untuk dapat memotong kompas aturan birokrasi perizinan.

Debat mengenai mana yang lex specialist dalam sengketa UU BI dan UU KPK--karena masing-masing secara substantif mengandung kontradiksi--seharusnya dapat diakhiri dengan meletakkan kepentingan pemberantasan korupsi sebagai dasar berpijak. Perlu dipahami bahwa KPK merupakan lembaga penegakan hukum yang didesain memiliki kewenangan luar biasa (extraordinary), sehingga tidak memerlukan prosedur perizinan dalam penanganan perkara korupsi.

Tidak dalam kasus BI saja KPK melakukan pemeriksaan terhadap pejabat negara tanpa memerlukan izin dari presiden. Dalam kasus-kasus korupsi lainnya yang ditangani KPK, izin pemeriksaan juga tidak diperlukan. Padahal aturan mengenai izin pemeriksaan tidak hanya ada di UU BI, tapi juga diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda dan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan DPR, MPR, DPD, dan DPRD. Jika KPK tunduk pada undang-undang lainnya, ketika KPK akan melakukan pemeriksaan terhadap bupati, wali kota, DPRD, ataupun anggota DPR, izin pemeriksaan seharusnya juga ditempuh.

Yang perlu dipahami, terbitnya Pasal 46 UU KPK merupakan refleksi dari persoalan tersendat-sendatnya penanganan perkara pidana oleh kejaksaan dan kepolisian akibat munculnya aturan yang mewajibkan dipenuhinya prosedur izin pemeriksaan tatkala hendak melakukan pemeriksaan terhadap pejabat negara.

Di samping menyebabkan proses hukum menjadi tersendat-sendat, adanya izin pemeriksaan bagi pejabat publik yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan juga telah menyulut berbagai upaya untuk melacak asal-muasal terbitnya peraturan itu. Paling tidak apa yang selama ini dianggap sebagai aturan formal yang harus ditaati mulai dipertanyakan otentisitasnya, karena dalam prakteknya telah menimbulkan hambatan bagi penanganan tindak pidana yang lebih efektif dan efisien.

Sayangnya, dari berbagai dokumen dan notulensi pembahasan peraturan perundang-undangan, khususnya pada pasal-pasal yang mengatur soal izin pemeriksaan, tidak ditemukan basis argumentasi yang cukup diterima bagi hadirnya aturan yang cenderung memberikan "kekebalan hukum" bagi pejabat publik. Pasal tersebut ketika ada sejak pertama kalinya dalam draf perundang-undangan memang sepi dari perdebatan. Posisi yang diuntungkan dari hadirnya aturan tersebut membuat kewajiban izin pemeriksaan tidak pernah ditolak sama sekali oleh pemerintah ataupun DPR.

Alih-alih memeras pikiran mana yang lebih sahih, apakah UU BI atau UU KPK, seharusnya majelis hakim MK sudah lebih jauh memikirkan bahwa pasal mengenai izin pemeriksaan telah melanggar UUD 1945. Tidak tanggung-tanggung, tiga pasal dalam UUD 45, yakni pasal 27 ayat 1, pasal 28-D ayat 1, dan pasal 28 I ayat 2, telah dikangkangi oleh UU yang di dalamnya mengatur soal kewajiban izin pemeriksaan.

Pasal 27 ayat 1 UUD 45 menyebutkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Kemudian pasal 28-D ayat 1 berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Terakhir pasal 28 I ayat 2 mengatakan: "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."

Dari pasal-pasal tersebut, jelas bahwa aturan mengenai izin pemeriksaan telah mendorong lahirnya diskriminasi hukum yang dilakukan negara. Dalam kasus di mana telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh bukan pejabat negara, proses hukum dapat dilakukan secara cepat. Tapi, jika sudah berhadapan dengan pejabat negara, proses hukum menjadi berlarut-larut.

Proses hukum bagi pejabat publik menjadi lebih lama karena aturan mengenai izin pemeriksaan juga dibuat berlapis. Antara izin untuk melakukan pemeriksaan sebagai saksi dan izin untuk memeriksa sebagai tersangka diajukan secara terpisah. Walhasil, untuk melakukan pemeriksaan awal terhadap pejabat negara, dibutuhkan waktu yang relatif lama. Bahkan jika izin dari otoritas terkait tidak jua keluar, dapat dipastikan proses hukum tidak dapat dilakukan.

Dalam beberapa kasus, tiadanya izin pemeriksaan juga dapat membuka celah kolusi antara aparat penegak hukum dan pejabat publik. Dengan alasan tidak keluarnya izin pemeriksaan, pejabat publik dapat melenggang kangkung tanpa khawatir dijamah. Padahal sangat mungkin pihak kejaksaan atau kepolisian memang tidak pernah mengajukan izin sama sekali. Pada akhirnya, proses hukum hanya dapat menjerat pelaku yang kebetulan tidak memiliki posisi sebagai pejabat negara.

KPK sendiri dalam beberapa kesempatan harus turun tangan membantu kejaksaan dan kepolisian untuk mendesak presiden supaya izin pemeriksaan segera dikeluarkan. Tidak tanggung-tanggung, pada Agustus 2006 saja KPK meminta presiden mengeluarkan 34 izin pemeriksaan terhadap berbagai pejabat negara yang akan diperiksa oleh kejaksaan dan kepolisian.

Dengan demikian, persoalan sengketa kewenangan dalam UU KPK dan UU BI yang diajukan oleh Burhanuddin seharusnya dijadikan momentum bagi majelis hakim MK untuk menghapus semua peraturan perundang-undangan yang mengatur soal izin pemeriksaan. Jika kita ingin agar proses hukum terhadap para pejabat negara berlangsung cepat dan diskriminasi hukum tidak terjadi, maka ultra petita dari majelis hakim MK sangat diharapkan lahir untuk menghapuskan hambatan penegakan hukum di Indonesia.

Adnan Topan Husodo
(Tulisan disalin dari Koran Tempo, Jumat, 22 Februari 2008)

No comments: