Thursday, December 29, 2005

Peran Strategis Masyarakat dalam Memberantas Korupsi

Tesis yang menyebutkan bahwa aktor utama korupsi adalah pemerintah dan pengusaha, sementara masyarakat adalah korbannya hingga saat ini belum dapat terbantahkan. Landasan faktualnya memberikan legitimasi bahwa kolaborasi antara pemerintah dengan pengusaha bukanlah sesuatu yang direkayasa, tapi nyata dan selalu tetap hidup dalam ruang yang bernama kekuasaan.

Hampir sebagian besar -jika tidak semua- kasus korupsi yang terungkap selalu menempatkan dua aktor itu sebagai biang keladi yang saling berkaitan. Entah relasinya berwujud simbiosis mutualisme ataupun parasit mutualisme. Yang terakhir ini perlu dipahami dalam konteks korupsi yang dimensinya adalah pemerasan, seperti yang sudah terungkap dalam kasus Probosutedjo.

Jikapun masyarakat kemudian terseret dalam arus kehidupan koruptif, hal itu semata-mata karena upaya terpaksa yang dilakukan untuk bisa memperoleh hak-haknya. Kebiasan untuk membayar lebih dari harga yang ditetapkan peraturan kepada petugas dalam pengurusan ijin seperti SIM, KTP, STNK dan lain sebagainya merupakan wujud dari ketidakberdayaan masyarakat untuk melawan sistem yang korup.

Untuk memperoleh Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 100 ribu/bulan, masyarakat yang sudah miskin terpaksa tunduk pada mekanisme penyunatan/pemotongan. Karena jika mereka tidak mengikuti, jangan berharap mereka dimasukan sebagai kelompok masyarakat miskin yang nantinya berhak memperoleh BLT. Celakanya, ketidakberdayaan masyarakat untuk melawan sistem koruptif itu harus dibayar mahal, yakni berkembang-biaknya sistem korupsi dalam kehidupan birokrasi (baca: pelayanan publik).

Dengan demikian, salah satu upaya yang sangat stategis untuk memberdayakan masyarakat dalam melawan korupsi adalah dengan memberikan mereka senjata untuk melawannya. Bahkan pada tingkat yang lebih maju, masyarakat tidak hanya dapat bertindak defensif dalam menghadapi sistem yang korup, tapi bisa secara ofensif berperan untuk memberantas korupsi.

Oleh karena itu, tidak seharusnya Pemerintah hanya mengandalkan aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi. Memberikan arena dan peran masyarakat yang lebih luas dalam memberantas korupsi sama artinya dengan meringankan beban pekerjaan berat yang dipanggul aparat penegak hukum. Karena nyatanya seringkali semangat, komitmen dan upaya yang serius dalam memberantas korupsi justru hanya muncul dari masyarakat sendiri.

Namun sayangnya berbagai kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi belum mendukung adanya peran serta masyarakat yang lebih strategis. Padalah, paling tidak selama ini masyarakat –tanpa didukung dengan kebijakan Pemerintah yang menguntungkan- telah memainkan perannya dalam pemberantasan korupsi di berbagai gradasi.

Pertama, peran sebagai feeder atau penyuplai informasi. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa selama ini masyarakat telah mengambil inisiatif untuk melaporkan, membeberkan dan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terhadap kemungkinan terjadinya praktek korupsi. Meskipun juga tidak tepat untuk mengatakan bahwa BPK, BPKP, Inspektorat maupun aparat penegak hukum tidak punya kontribusi sama sekali dalam menyuplai atau mencari informasi atau data yang berhubungan dengan dugaan korupsi.

Data terakhir di KPK menyebutkan kurang lebih telah masuk sembilan ribu pengaduan masyarakat di seluruh Indonesia ke KPK. Meskipun setelah diteliti hanya sekitar seribuan kasus saja yang bisa dikategorikan korupsi, namun angka itu sudah cukup untuk dijadikan ukuran betapa harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sangat tinggi.

Dalam situasi dimana masyarakat tidak memiliki peluang besar untuk mengakses informasi secara bebas di lembaga publik (pemerintah), laporan-laporan terjadinya kasus korupsi terus mengalir. Ini menandakan bahwa potensi masyarakat untuk menjadi aktor strategis dalam memberantas korupsi sangat besar. Dengan demikian mudah ditebak ketika kebebasan memperoleh informasi telah menjadi produk kebijakan yang memaksa semua pejabat publik untuk membuka akses informasinya kepada masyarakat, praktek korupsi pastinya akan dapat diminimalisir.

Kedua, peran sebagai trigger atau pemicu. Rendahnya inisiatif aparat penegak hukum dalam membongkar kasus-kasus korupsi telah melahirkan kekecewaan panjang dari masyarakat. Kebekuan ini kadangkala diterobos dengan memberikan informasi adanya dugaan korupsi kepada media massa supaya diketahui masyarakat luas. Strategi ini menjadi sangat penting untuk membentuk opini atau persepsi masyarakat bahwa di satu tempat diduga kuat terjadi praktek korupsi. Situasi ini diharapkan akan dapat memaksa aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang konkret. Meskipun diakui strategi tersebut mengandung resiko besar, misalnya dituntut dengan pencemaran nama baik, namun upaya itu tetap tidak bisa ditinggalkan.

Ketiga, peran sebagai controller (pengawas). Sudah bukan rahasia umum lagi jika laporan masyarakat tentang terjadinya kasus korupsi sering tidak ditanggapi dengan baik oleh aparat penegak hukum. Keluhan masyarakat bahwa informasi atau data yang mereka sampaikan hanya dijadikan sebagai alat oleh aparat penegak hukum untuk memeras juga tidak sedikit jumlahnya. Istilah di 86-kan kemudian menjadi populer sebagai bahan untuk menyindir aparat karena lamban atau setengah hati dalam mengusut sebuah laporan.

Dengan segala keterbatasan, masyarakat nyatanya tetap memiliki energi yang luar biasa untuk mengawal proses pengusutan kasus korupsi (case tracking) yang sedang dilakukan oleh aparat. Kegiatan unjuk rasa, dengar pendapat, diskusi publik, audiensi dan lain sebagainya merupakan sarana yang kerap digunakan kelompok masyarakat untuk mendorong percepatan penanganan korupsi. Memastikan bahwa pemberantasan korupsi berjalan sesuai dengan harapan merupakan langkah yang tidak mungkin diabaikan ditengah-tengah situasi aparat penegak hukum yang belum banyak berubah.

Apa yang dilakukan Kejati Nusa Tenggara Barat, Mohammad Ismail dengan mengajak kelompok masyarakat dalam setiap gelar perkara, khususnya kasus korupsi merupakan langkah maju yang seharusnya menjadi kebijakan penting di institusi Kejaksaan Agung. Apalagi, Kejati NTB telah memerintahkan semua Kejari di NTB untuk melaksanakan kebijakan yang sama (Koran Tempo, 21/12/05).

Pengakuan bahwa masyarakat dijadikan sebagai pihak dalam membongkar terjadinya praktek korupsi akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk mempercepat proses penanganannya. Selain itu, peran masyarakat dalam mengawasi kinerja aparat penegak hukum juga telah diakomodasi, meskipun baru sebatas wilayah NTB saja. Oleh karenanya, kebijakan ini seharusnya menjadi bagian utuh dari komitmen Pemerintah dalam memberantas korupsi secara nasional.

Dialog Kertas Dalam Botol

Dear Chaterine,
Engkau dan cinta masa lalu adalah mimpi….
Kenangan manis, kesempurnaan dan sebentuk kemurnian cinta yang dimitoskan…
Melalui segenggam cerita yang mengalir pada pori-pori waktu…
Dibingkai dalam keabadian, disimpan pada ingatan….
Engkau seolah tak tergantikan…Meski oleh kemurnian cinta yang setara

Dear Chaterine,
Engkau dan cinta masa lalu adalah cermin….
Melukiskan perasaan yang tinggal bayangan…
Bergerak mengikuti irama jiwa, Memantulkan cahaya kasih yang murni…
Tapi engkau tidak bisa diraba…. tidak bisa disentuh….dan engkau tidak bisa digenggam
Karena cermin hadir untuk dirimu sendiri…

Dear Theresa,
Jangan paksa aku untuk menghapus ingatan…
Kenanganku tidak boleh mati…
Tapi jiwaku juga harus tetap hidup…
Memang waktu telah memastikan…
Berlalunya kenangan

Dear Blake,
Biarlah kenangan bercengkrama dengan masa lalu…
Jangan biarkan masa lalu mencumbui masa kini….
Karena masa lalu adalah pengalaman….
Dan masa kini adalah kesempatan….

Masa tidak bisa diulang
Waktu tidak bisa berhenti
Dan masa lalu tidak akan melewati hari ini
Biarkan cinta itu lahir kembali…
Jangan relakan hatimu dikuasai masa lalu….
Jangan biarkan jiwamu mati separuh…
Ijinkan aku untuk menyalakan lilin hatimu yang hampir padam….

Dear Theresa,
Aku takut melepas kenangan…
Aku ingin hidup bersamanya…
Kuakui, dirimu adalah bara bagi cinta yang menghangatkan
Tapi aku takut menyimpannya di dalam hati
Hingga kepergianmu menyentak relung batinku…
Kesadaranku berbisik terlambat….
Cintaku tidak berani…

Kalibata, 27 Desember 2005

Pentingnya Ratifikasi Konvensi Antikorupsi

Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 9 Desember 2005 seluruh dunia memperingati Hari Pemberantasan Korupsi. Tanggal tersebut dipilih karena pada tanggal 9 Desember 2003 atau dua tahun yang lalu tepatnya di Merida, Meksiko, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi (United Nation Convenstion Against Coruption) atau disingkat dengan Konvensi Antikorupsi. Kurang lebih 137 negara turut ambil bagian untuk menandatangani konvensi tersebut, termasuk Indonesia.

Kehadiran konvensi antikorupsi menandai sebuah momentum penting diakuinya praktek korupsi sebagai kejahatan global (transnasional). Oleh karenanya, cara memberantas dan mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling menguntungkan antara satu negara dengan negara yang lain. Kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik negara yang bersangkutan, akan tetapi menjadi persoalan global yang harus ditangani dalam semangat kebersamaan.

Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan memberikan dukungan dalam memberantas korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-sendi ekonomi, sosial dan politik ini akan selalu menghantui hubungan antar negara, baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Ketidakpercayaan para pebisnis asing terhadap iklim usaha di Indonesia yang dinilai sarat ekonomi biaya tinggi misalnya cukup memberikan bukti bahwa korupsi berdampak pada hubungan ekonomi yang merugikan.

Keengganan Singapura untuk memberikan informasi terhadap para koruptor Indonesia yang kabur ke negara tersebut telah memanaskan hubungan diplomasi yang selama ini terbangun dengan baik. Pendek kata, pemberantasan korupsi tidak akan efektif jika tidak ada dukungan internasional untuk memberantasnya. Para koruptor bisa menyimpan hasil jarahannya di negara lain, secara fisik koruptor juga dapat hidup nyaman di negara lain. Oleh karenanya, konvensi anti korupsi lahir sebagai bentuk keperdulian global terhadap dampak korupsi yang kian mengkhawatirkan.

Semangat global untuk memerangi korupsi sejatinya sudah muncul sebelum lahirnya konvensi antikorupsi PBB. Pada 29 Maret 1996, konvensi antikorupsi antarnegara Amerika (The Organization of American States) atau disingkat OAS ditandatangani di Caracas, Venezuela. Konvensi ini ditandatangani 23 dari 35 negara anggota OAS. Kini, konvensi ini pun diberlakukan di Bolivia, Costa Rica, Ecuador, Mexico, Paraguay, Peru, dan Venezuela yang kemudian ikut meratifikasinya.

Di samping menandatangani konvensi, pada pertemuan di Lima, Peru, Juni 1997, Majelis Umum OAS pun telah mengesahkan Plan Against Corruption. Dengan rencana ini, OAS memberikan dukungan pada negara-negara anggotanya. OAS pun bekerjasama dengan penduduk setempat dan organisasi internasional lainnya --termasuk Bank Dunia, Inter-American Development Bank, dan OECD-- dalam mencegah dan mengontrol korupsi.
Butir-butir semangat pemberantasan korupsi sebagaimana tercantum dalam Konvensi Antikorupsi PBB pada prinsipnya mengatur beberapa hal penting yang harus dipatuhi para peserta. Pertama, para peserta konvensi harus menerapkan peraturan nasional mendasar tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas, dan mengkoordinasikan kebijakan antikorupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat, dan peraturan nasional yang mampu menjamin penegakkan hukum, pengelolaan urusan dan sarana publik yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan akuntabilitas di sektor publik. Kedua, membangun badan independen yang bertugas menjalankan dan mengawasi kebijakan antikorupsi yang diadopsi oleh Konvensi Antikorupsi.

Ketiga, melakukan perbaikan dalam sistim birokrasi dan pemerintahan masing-masing yang menjamin terbangunnya sistim birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Keempat, setiap peserta wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan tanggung jawab para pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar perilaku yang mengutamakan fungsi publik yang lurus, terhormat, dan berkinerja baik. Kelima, membentuk sistim pengadaan barang dan jasa pemerintah, manajemen keuangan publik, dan sistim pelaporan untuk tujuan transparansi, peran peradilan yang bersih dalam pemberantasan korupsi. Keenam, melakukan pencegahan korupsi di sektor swasta yang mengedepankan transparansi, sistim akunting dan pelaporan. Ketujuh, melaksanakan pelibatan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Selanjutnya, negara peserta Konvensi Antikorupsi juga harus melakukan usaha pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi termasuk pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan perlindungan saksi, ahli dan korban, menerapkan sistim ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerja sama pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan sistim kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yurisdiksi dalam penanganan perkara korupsi, melaksanakan kerja sama internasional memberantas korupsi termasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis, ekstradisi, pengembalian aset (asset recovery), dan sebagainya.

Yang patut disayangkan, meskipun Indonesia sudah menandatangani Konvensi Antikorupsi PBB pada 18 Desember 2003, hingga kini Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut. Seharusnya sebagai negara yang paling parah dalam perihal korupsinya, Indonesia tidak perlu berpikir dua kali untuk tidak atau meratifikasinya. Karena dengan meratifikasi konvensi tersebut, ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan.

Pertama, Indonesia telah menunjukan komitmen dan keseriusan yang tinggi kepada masyarakat Internasional dalam memberantas korupsi. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Internasional (studi PERC 2005 dan TI 2005) selama ini masih menganggap Indonesia adalah negara terkorup sehingga tidak aman untuk dijadikan tempat berinvestasi yang menguntungkan.

Kedua, dengan meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia dapat menerapkan standar internasional dalam memberantas korupsi, baik menyangkut legal framework dan strateginya. Jikapun ada usaha-usaha untuk memperdayai agenda pemberantasan korupsi dengan melumpuhkan berbagai peraturan antikorupsi, dunia Internasional dapat mendesak Indonesia untuk mengamandemennya sebagaimana pernah dilakukan pada UU Pencucian Uang.

Ketiga, Indonesia dapat mendesak dunia Internasional untuk melakukan kerjasama pemberantasan korupsi menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan upaya ekstradisi koruptor, penerapan mutual legal assistance, asset recovery dan sebagainya. Meskipun ada usaha dari pemerintah melalui mekanisme komunikasi government to government sebagaimana sedang dilakukan kepada Singapura, Swiss, Cina dan Hongkong untuk mengembalikan harta negara yang dilarikan ke luar negeri, namun usaha tersebut tidak dalam kerangka payung hukum internasional sehingga efektifitasnya menjadi tidak bisa diandalkan. Dengan demikian, sesusungguhnya tidak ada alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi konvensi antikorupsi.

Tuesday, December 20, 2005

Dilema Whistle Blower

Ironis. Khairiansyah, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjadi tokoh sentral atas terbongkarnya dugaan skandal suap di KPU saat ini menghadapi masalah pelik. Peranan vitalnya dalam memberikan informasi bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berujung pada penangkapan beberapa anggota KPU tidak pararel dengan nasib dirinya. Kini ia menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Abadi Umat (DAU).

Memang dalam prinsip hukum, semua orang harus diperlakukan sama. Suatu kesalahan atau kejahatan tidak akan serta merta terhapus karena jasa yang pernah dilakukan pada masa atau peristiwa yang lain. Sanksi hukum berlaku pada setiap perbuatan yang masuk kategori pidana tanpa terkecuali. Namun prinsip tidak pandang bulu juga mensyaratkan penerapan pada semua kondisi.

Ketika pada tindak kejahatan yang sama ada perlakuan hukum yang berbeda terhadap para pelakunya, sulit untuk tidak mengatakan adanya diskriminasi hukum. Dalam kasus DAU, Khariansyah dapat dikatakan mendapat perlakuan diskriminatif oleh aparat penegak hukum. Pasalnya, beberapa orang yang berlatar politisi maupun tokoh masyarakat yang telah menerima DAU hingga kini tidak dijadikan tersangka oleh kejaksaan.

Seharusnya dalam situasi dimana pemberantasan korupsi sangat mengandalkan adanya kemauan dari para saksi/pelapor untuk memberikan informasi dan keterangan yang memudahkan terbongkarnya sebuah perkara, prioritas penanganan kasus tidak diarahkan pada para pelapor atau saksi yang kebetulan menjadi pelaku tindak pidana korupsi. Melainkan kepada aktor-aktor kunci yang biasanya menduduki pos-pos penting dalam jabatan publik. Karena by nature, korupsi merupakan praktek penyimpangan kekuasaan yang terjadi dilevel atas dan merembes ke tingkat bawah. Korupsi tidak bisa terjadi sebaliknya, dari tingkat bawah ke level atas.

Namun nyatanya cerita tentang Khairiansyah adalah drama klasik yang juga pernah diperankan oleh Endin Wahyudin, Romo Frans Amanue, Hidayat Monoarfa, Hidayatullah, Sainah, Leonita dan sederet nama lainnya dengan cerita penutup masing-masing -yang sebagian besarnya tragis. Diluar Khairiansyah, keenam nama terakhir itu merupakan bagian dari saksi dan pelapor yang harus menghadapi proses hukum karena laporan dan kesaksian mereka. Endin Wahyudin berujung pada vonis bersalah telah melakukan pencemaran nama baik. Romo Frans Amanue lebih beruntung karena berkas putusan pengadilan yang menghukumnya atas pencemaran nama baik musnah terbakar saat kantor Pengadilan Negeri Larantuka, Kabupaten Flores Timur dibakar massa.

Sementara itu, Hidayat Monoarfa harus menghadapi masa-masa koma karena pemukulan orang tak dikenal saat akan menjadi saksi korupsi DPRD di Sulawesi Tengah. Hidayatullah, salah seorang pelapor dugaan korupsi Kepala Daerah di Kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara harus menerima kenyataan rumahnya dibom oleh orang tak dikenal sebanyak dua kali.

Tragisnya, cerita diatas terjadi pada saat rezim korup Orde Baru sudah tumbang. Rentang peristiwa antara satu kasus yang dihadapi saksi pelapor dengan kasus lainnya justru terjadi pada periode Orde Reformasi, dimana harapan dan cita-cita pemberantasan korupsi itu diletakan. Lantas, apa sebenarnya yang membedakan antara Orde Baru yang sudah lama dengan Orde Baru yang reformis? Seharusnya ada batas dan garis yang tegas diantara keduanya. Penumbangan sebuah rezim seharusnya pararel dengan penumbangan struktur, budaya dan cara berpikir yang kolot, otoriter dan korup.

Melawan Teror

Satu hal pasti yang diharapkan dari teror terhadap saksi/pelapor adalah ketakutan dan kematian atas kejujuran dan hati nurani mereka. Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan akan selalu menyebarkan rasa ketakutan melalui berbagai cara. Baik melalui tuntutan hukum, kekerasan fisik, teror psikis maupun teror yang tak kalah gawatnya, dengan uang. Saksi pelapor yang bungkam merupakan hasil yang diharapkan. Sebaliknya, saksi pelapor yang mau bicara adalah petaka bagi mereka. Karena saksi pelapor yang bicara sama artinya dengan terbongkarnya setengah kebenaran dari adanya peristiwa, skandal atau kasus.

Untuk menghadapi teror semacam itu, barangkali kita harus belajar dari Sainah. Ia adalah saksi utama kasus Tommy Soeharto yang atas keberanian dan kejujurannya, anak mantan orang nomor satu di Indonesia itu harus terbang ke Nusakambangan untuk menjalani hukuman pidana karena kepemilikan senjata api tanpa ijin. Padahal dalam persidangan, Tommy Soeharto sempat menyebar ancaman.

Sainah bukanlah siapa-siapa. Ia hanyalah pembantu rumah tangga yang sehari-hari bekerja untuk Hetty, pemilik Apartemen Cemara tempat dimana Tommy sering singgah. Barangkali Sainah secara material tidak memiliki kekayaan yang berlimpah. Namun ia adalah sedikit orang yang memiliki kekayaan yang sesungguhnya, yakni kejujuran dan keberanian. Tanpa dibekali oleh pengetahuan yang cukup atas hukum dan perlindungan yang pasti dari negara, Sainah dengan lugas mengungkap semua apa yang dilihat dan diketahuinya di pengadilan.

Sesungguhnya, masih banyak Sainah-Sainah yang lain. Akan tetapi terlalu sedikit orang yang seberani dirinya. Kita tentu tidak menyalahkan mereka. Para saksi dan pelapor tetap memiliki hak untuk hidup aman dan nyaman. Setiap orang tidak akan mau melewati hidup sehari-hari dengan ketidakpastian, ancaman dan intimidasi karena melaporkan atau menjadi saksi atas sebuah perkara pidana. Sungguh sebuah periode yang mengherankan dimana orang yang ingin berbuat jujur dan mau mengungkapkan peristiwa kejahatan harus menghadapi saat-saat tersulit dalam hidup mereka.

Oleh karena itu, tidak mungkin tidak untuk membongkar sebuah skandal kejahatan, kita membutuhkan payung hukum bagi mereka yang menjadi saksi, pelapor maupun korban. Kita harus sadar dan yakin bahwa setiap informasi dan keterangan dari orang yang menyaksikan, melihat dan mengetahui secara langsung sebuah peristiwa kejahatan sangatlah dibutuhkan untuk mengungkapkan peristiwa sebenarnya.

Akan tetapi, kita juga harus menjamin bahwa apa yang disampaikan saksi pelapor tidak akan berimplikasi buruk atas masa depan dan nasib mereka. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban dari negara untuk memberikan perlindungan hukum atas mereka melalui UU Perlindungan Saksi Pelapor. Lahirnya UU perlindungan Saksi Pelapor merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar kejahatan yang sistematis, terorganisir, melibatkan orang kuat yang selama ini menjadi hambatan bagi perubahan di berbagai sektor dapat dibongkar.

Jika memang Pemerintah SBY dan DPR memiliki komitmen politik yang kuat untuk melindungi dan menjamin peran serta warga masyarakat dalam memberantas kejahatan (korupsi), tidak ada lagi cara lain kecuali dengan memberikan perlindungan hukum atas mereka yang menjadi saksi dan pelapor. Percayalah, lahirnya UU Perlindungan Saksi Pelapor akan mempercepat dan memudahkan pembongkaran sebuah skandal kejahatan yang seringkali ditutup-tutupi karena melibatkan orang kuat dibelakangnya.

****

Tuesday, December 13, 2005

Turbulensi Agenda Pemberantasan Korupsi

Setelah melewati masa satu tahun pemerintahan baru, arah pemberantasan korupsi menjadi kian tidak jelas. Harapan bahwa agenda pemberantasan korupsi berada pada arah yang semakin terang justu mengalami pemburaman. Paling kurang, apa yang terjadi pada beberapa penanganan kasus korupsi terakhir dapat dijadikan sebagai landasan asumsinya.

Yang pertama, kasus Khairiansyah. Dimata KPK, Khairiansyah adalah sosok whistle blower yang menjadi tokoh penting atas terbongkarnya kasus penyuapan di tubuh KPU. Tanpa peran dirinya, hampir bisa dipastikan KPK mengalami banyak kesulitan dalam mengungkap kasus korupsi di KPU. Bahkan atas peranannya tersebut, Transparency International (TI) telah menganugerahkan Transparency Award –meskipun beberapa waktu kemudian award itu dikembalikan lagi-.

Akan tetapi Khairiansyah nyatanya bukanlah satu kemungkinan. Karena disaat yang lain, Timtas Tipikor, melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Abadi Umat (DAU). Penetapan dirinya sebagai tersangka tidak dapat dikatakan sebagai bentuk kesewenang-wenangan aparat penegak hukum jika didasarkan pada bukti hukum yang cukup.

Yang sulit dipahami, beberapa nama besar lain yang muncul terlebih dulu sebagai penerima dana DAU hingga saat ini belum juga disentuh oleh aparat kejaksaan. Alasan kejaksaan, mereka belum ditetapkan sebagai tersangka karena belum ada bukti yang memadai. Sampai disini, ada kesulitan untuk dapat mencerna langkah aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.

Bagaimana tidak, kasus DAU adalah perkara yang menjadi sorotan publik karena dua hal. Pertama, Kejaksaan Agung di tangan Abdul Rahman Saleh melalui Timtas Tipikor memulai gebrakan pemberantasan korupsi dengan membongkar kasus korupsi DAU –selain kasus Bank Mandiri-. Ini berarti tuntas atau tidaknya penanganan kasus korupsi DAU akan menjadi tolok ukur bagi masyarakat untuk menilai tingkat keseriusan Jaksa Agung dalam mendorong agenda pemberantasan korupsi. Yang perlu ditekankan, penetapan Khairiansyah sebagai tersangka haruslah dianggap sebagai bagian kecil dari peta besar aktor-aktor lain yang terlibat dalam korupsi dana DAU.

Kedua, terkait dengan poin pertama,  penerima DAU terdiri dari berbagai tokoh dan politisi besar yang sangat dikenal oleh masyarakat luas. Dalam konteks merehabilitasi citra aparat penegak hukum yang selama ini dikenal diskriminatif, mengintensifkan sekaligus memprioritaskan pemeriksaan pada aktor-aktor besar lain yang terlibat merupakan langkah yang tidak bisa diabaikan. Semakin kecil kapasitas aktor korupsi dana DAU yang terjaring, semakin tinggi tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap prinsip imparsialitas aparat penegak hukum.

Dengan demikian, keseriusan dan penerapan prinsip tidak pandang bulu dalam menangani kasus korupsi dana DAU akan sangat bergantung dari seberapa cepat proses pengungkapan kasus itu dapat diselesaikan. Disamping seberapa jauh jangkauan aparat penegak hukum untuk dapat menyeret sebanyak mungkin aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.

Diluar persoalan diatas, cara pandang yang sangat kontras antara KPK dengan Kejaksaan dalam menyikapi agenda pemberantasan korupsi –yang diwakili dalam kasus Khairiansyah- juga menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya untuk dipertanyakan. Dengan pendekatan barunya, pembongkaran korupsi yang diprakarsai KPK meletakan whistle blower pada posisi yang sangat penting. Tanpa ada informasi, dukungan dan kemauan whistle blower untuk bekerjasama dengan KPK, akan sangat sulit membongkar kasus-kasus penyuapan. Tidak hanya dalam kasus KPU, pada kasus mafia peradilan yang pernah dibongkar KPK, peranan whistle blower juga sangat vital.

Sebaliknya dimata Kejaksaan, Khairiansyah bukanlah whistle blower melainkan salah satu pelaku korupsi dana DAU sehingga layak dijadikan tersangka. Tidak mengistimewakan perlakuan hukum terhadap salah satu pihak karena pernah berjasa pada peristiwa yang lain adalah benar. Karena pada prinsipnya semua orang sama kedudukannya di mata hukum.

Namun disamping prinsip diatas, masih ada pertimbangan lain dalam memberantas korupsi, yakni skala prioritas. Memberantas mafia peradilan barangkali prioritas KPK, menangani korupsi DAU dan Bank Mandiri juga prioritas bagi Kejaksaan. Masalahnya jika antara prioritas KPK dan Kejaksaan justru mengalami perbenturan, maka yang terkesan kemudian adalah adanya persoalan serius dalam hubungan antara KPK dengan Kejaksaan. Sekurang-kurangnya persoalan itu barangkali sangat berkaitan dengan koordinasi.

Minimnya koordinasi, atau bahkan tiadanya agenda bersama pemberantasan korupsi antara KPK dan Kejaksaan justru hanya menyeret kedua lembaga tersebut pada praktek saling menegasikan. Yang lebih menonjol kemudian adalah upaya menjatuhkan salah satu pihak dan mendeligitimasi keberhasilan pihak lain melalui pembongkaran kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengannya. Tanpa disadari, kasus Khairiansyah telah membuka mata publik bahwa seolah-olah sedang terjadi persaingan yang tidak sehat antar aparat penegak hukum.

Kasus kedua adalah perkara Probosutedjo. Cepatnya eksekusi terhadap diri Probo oleh Kejaksaan paska keluarnya putusan majelis kasasi di MA merupakan catatan baik dalam agenda pemberantasan korupsi. Selama ini, gerak cepat aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan ‘orang besar’ masih sebatas harapan. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh MA dan Kejaksaan dalam menuntaskan penanganan kasus korupsi yang melibatkan Probo bisa dikatakan preseden yang baik bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Akan tetapi, garansi bahwa aparat penegak hukum telah berubah harus tetap diberikan. MA dan Kejaksaan harus menjaga konsistensi sikap dalam memproses secara hukum semua kasus-kasus korupsi. Artinya, tidak hanya dalam kasus Probo proses penegakan hukumnya berjalan cepat, melainkan dalam kasus korupsi lainnya, sikap konsisten itu harus ditunjukan. Pertanyaannya kemudian, mengapa dalam kasus penolakan kasasi kasus korupsi 43 mantan anggota DPRD Sumbar oleh MA, hingga saat ini eksekusi atas putusan MA tidak dapat dilakukan?

Sampai disini, kita dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Perlakuan yang berbeda, sikap diskriminasi, tebang pilih penanganan perkara dan sikap yang tidak konsisten aparat penegak hukum akhirnya menjadi satu kesimpulan yang pahit untuk diterima. Jika benar bahwa motif ‘balas dendam’ yang melatarbelakangi cepatnya proses penanganan kasus korupsi Probo, maka awan mendung pemberantasan korupsi akan segera meneteskan kegagalannya.

******