Friday, February 12, 2010

Mencegah Pembusukan KPK

“Kemesraan”FerryWibisono, Direktur Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan Wisnu Subroto, mantan Jamintel Kejaksaan Agung RI yang juga saksi dalam kasus Anggodo, di lift KPK mungkin tak akan pernah terungkap di muka publik seandainya mereka berdua tidak tepergok oleh salah satu anggota ICW.

Karena tertangkap basah itulah ihwal pertemuan keduanya menjadi persoalan besar yang berujung pada tuntutan pemecatan Ferry. Desakan publik itu sebenarnya lumrah karena KPK merupakan lembaga penegak hukum yang harus menjunjung tinggi etika pegawai dan pimpinannya.Di lain pihak, kewenangan besar KPK akan sangat mungkin disalahgunakan oleh para pejabatnya jika kejadian yang sarat dengan pelanggaran kode etik tidak disikapi secara memadai. Pemakluman,apalagi sekadar ucapan maaf yang keluar dari mulut pejabat KPK yang tertangkap basah melakukan pelanggaran kode etik,merupakan sinyal merah bagi integritas KPK secara keseluruhan.

Dari kacamata kode etik yang mengatur sikap dan perilaku pegawai dan pimpinan KPK,ada satu pasal yang menyebutkan bahwa pegawai KPK dilarang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan terdakwa, tersangka atau calon tersangka atau keluarganya atau pihak lain yang terkait, yang penanganan kasusnya sedang diproses KPK, kecuali pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah jabatan. Membaca kasus Ferry, jelas bahwa pelanggaran kode etik ini telah terjadi, sekurang-kurangnya jika dilihat dari dua hal. Pertama, Ferry bukanlah pegawai yang karena jabatannya ditugasi untuk menangani kasus tersebut.

Jabatan Ferry sebagai Direktur Penuntutan KPK tidak ada kaitan sama sekali dengan kasus suap yang dilakukan tersangka Anggodo di mana Wisnu juga diduga keras terseret. Dalam konteks itulah KPK memanggil Wisnu sebagai saksi terkait dengan kasus suap Anggodo. Dalam posisi Ferry sebagai pejabat di KPK, pertemuan yang akrab di lift KPK dengan saksi kasus suap membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya pembocoran informasi penyelidikan. Kedua, pertemuan antara Ferry selaku pejabat KPK yang tidak melekat mandat pada dirinya dengan Wisnu selaku saksi yang sangat mungkin bisa menjadi tersangka dalam sebuah proses penanganan kasus yang tengah ditangani KPK bisa dianggap telah melecehkan aturan main yang selama ini diterapkan.

Perlakuan khusus kepada seorang saksi oleh pejabat KPK merefleksikan pengabaian yang luar biasa atas kode etik yang mengikat bagi semua orang yang bekerja di KPK. Pertanyaannya, apakah baru sekali ini saja Ferry memberikan keistimewaan kepada saksi atau pihak yang terkait dengan kasus yang sedang ditangani KPK? Berikutnya, bagaimana jika keakraban Ferry dengan Wisnu tidak diketahui sama sekali oleh publik meskipun hal itu terjadi di Kantor KPK? Jika kedua pertanyaan di atas hanya diselesaikan dengan ucapan minta maaf, bisa disimpulkan pimpinan KPK telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.

Ironi

Sebenarnya dugaan terjadinya pelanggaran kode etik di KPK bukan kali ini saja terjadi.Pada saat Antasari Azhar menjadi Ketua KPK,ICW bahkan menemukan paling tidak 17 dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukannya.Kasus itu sendiri telah dilaporkan kepada pimpinan KPK sejak Agustus 2009. Akan tetapi, hingga hari ini tidak ada keputusan apa pun di tingkat pimpinan KPK untuk mengusut dan memberikan penalti atas dugaan pelanggaran tersebut.

Munculnya kasus serupa dalam konteks pertemuan Ferry dengan Wisnu bisa dianggap merupakan bentuk pengingkaran yang mulai ditunjukkan pegawai KPK lantaran lunaknya pimpinan KPK dalam mengambil keputusan. Logikanya mudah, seketat apa pun aturan kode etik itu dibuat,tetapi jika dalam tingkat pengusutan dan pemberian sanksi tidak pernah tegas,kode etik itu hanya akan menjadi teks biasa yang tidak lagi menakutkan. Hal ini sekaligus memunculkan ironi karena pada saat yang bersamaan, pimpinan KPK menggembor- gemborkan prinsip etik yang lain.

Menolak dijemput dalam sebuah undangan pertemuan, tidak minum air dari panitia acara, menolak pemberian suvenir atau buah tangan yang nilainya sangat kecil adalah beberapa contoh sikap disiplin yang sering mencengangkan publik. Pasalnya, publik merasa bahwa KPK memang benarbenar memiliki aturan yang sangat ketat. Akan tetapi hal yang dianggap luar biasa oleh publik itu menjadi tidak ada artinya sama sekali jika dalam kasus yang lebih membahayakan KPK, dalam bobot pelanggaran kode etik yang lebih berat, pimpinan KPK justru lembek dalam mengambil keputusan. Atau jangan-jangan, pimpinan KPK selama ini sekadar tebar pesona belaka supaya publik yakin bahwa di KPK tidak ada pelanggaran kode etik yang dimaklumi.

No Tolerance Zone

Mengambil sikap yang tegas atas kesalahan yang tidak disengaja pun akan lebih baik daripada memberikan peluang bagi terulangnya kasus serupa. Oleh karena itu,sangat penting bagi pimpinan KPK untuk menegakkan no tolerance zone bagi tumbuhnya bibit-bibit pembangkangan,penistaan, pengabaian,dan penghancuran atas integritas KPK. Keliru besar jika pimpinan KPK menganggap bahwa apa yang terjadi dalam kasus Ferry dan Wisnu merupakan bentuk kesalahan ringan.

Kesalahan dalam memberikan respons akan membuka celah bagi terjadinya pembusukan di KPK. Bagaimana mungkin jika pegawai yang satu sangat diminta untuk mematuhi semua kode etik, termasuk untuk hal-hal yang sederhana, tetapi pada saat yang lain pejabat KPK yang sangat telak melakukan pelanggaran kode etik berat justru dimaafkan? Pimpinan KPK perlu menyadari bahwa pemakluman bukan hanya akan menjatuhkan disiplin pegawai KPK, tetapi merendahkan kewibawaan pimpinan KPK sebagai representasi KPK secara kelembagaan. KPK telanjur menjadi idola publik di Indonesia. Kinerjanya dalam memberantas korupsi telah diacungi jempol oleh berbagai kalangan, termasuk warga dunia.

Bahkan KPK juga dijadikan model bagi negara-negara Asia lain yang ingin memberantas korupsi secara lebih baik. Demikian pula rasa cinta publik Indonesia terhadap KPK ditunjukkan dalam berbagai bentuk. Demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah atas kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK memberikan bukti yang sangat konkret betapa rindunya masyarakat Indonesia terhadap lembaga semacam ini. Pimpinan KPK mungkin perlu mempertimbangkan dengan sangat matang dalam mengambil keputusan terhadap kasus Ferry. Publik hanya meminta sikap tegas dari pimpinan KPK untuk mengembalikan Ferry ke tempat asalnya di Kejaksaan Agung RI.

Akan menjadi persoalan besar jika sikap pimpinan KPK justru ambigu dan ragu-ragu karena hal ini hanya akan menyakiti rasa cinta publik kepada KPK. Membiarkan duri tumbuh dalam daging berarti membiarkan KPK busuk secara perlahan-lahan. Harus disadari bahwa ancaman terhadap KPK bukan hanya dari luar, tetapi juga datang dari diri mereka sendiri.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)


Tulisan disalin dari Harian Seputar Indonesia, 13 Februari 2010

No comments: