Berulangkali KPK menyampaikan keluhan atas malasnya penyelenggara negara dalam melaporkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Padahal, sesuai dengan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam pasal 5 ayat 2 dan 3 diatur mengenai kewajiban bagi penyelenggara negara untuk bersedia diperiksa kekayaannya sekaligus melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat.
Sesungguhnya, isu mengenai kemalasan pejabat publik kita dalam menyampaikan LHKPN sudah menjadi pengetahuan umum sejak tahun 2001. Rata-rata tingkat kepatuhan penyelenggara negara yang memiliki kewajiban melaporkan kekayaannya hanya 41,57% pada tahun itu. Satu tahun setelahnya, yakni pada 2002, tingkat kepatuhan justru menurun menjadi hanya 40,21%. Demikian pula pada tahun 2003, hanya 42,15% pejabat publik yang melaporkan LHKPN-nya kepada KPKPN.
Tahun 2004, setelah KPK berdiri, fungsi penanganan LHKPN dialihkan kepada lembaga independen ini. Namun tetap saja tingkat kemalasan pejabat publik kita dalam menyampaikan LKHPN tidak beringsut turun. Hanya 49,16% yang mau menyerahkan laporan harta kekayaannya kepada KPK pada 2004. Pada tahun 2005, kepatuhan tetap tak beranjak maju karena cuma 49,44% dari total penyelenggara negara yang mau melaporkan harta kekayaannya kepada KPK. Terakhir pada tahun 2006, baru 56,11% pejabat publik kita yang bersedia melaporkannya.
Jadi, sejak awal KPK berdiri hingga sekarang, isu mengenai kepatuhan masih mendominasi. Bahkan khusus untuk anggota DPR periode 2004-2009, dari total 560 anggota yang memiliki kewajiban melaporkan LHKPN, hanya 158 orang saja yang melaporkan pada batas waktu yang telah ditetapkan. Sisanya sejumlah 402 anggota DPR sangat mungkin tidak akan menyerahkan LHKPNnya sama sekali.
Bolong Regulasi
Secara umum, pelaporan LHKPN sebenarnya memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme bagi para pejabat negara yang memiliki kekuasaan. Dengan deklarasi aset kekayaannya, kita dapat mengidentifikasi apakah harta kekayaan yang dimiliki diperoleh dari pemberian, hutang atau bersumber dari pendapatan. Pendatapan itu sendiri kemudian bisa diklarifikasi apakah dari pendapatan yang resmi atau pendapatan illegal. Dengan adanya mekanisme pelaporan LHKPN, diharapkan kesempatan melakukan korupsi dapat dikurangi.
Sudah banyak negara yang mengadopsi aturan mengenai deklarasi aset kekayaan pejabat publik. Masing-masing negara memiliki kekhususan dalam pengaturan ini. Sebagai contoh Korea Selatan, kewajiban pelaporan harta kekayaan masuk dalam wilayah hukum etika pejabat publik. Di Latvia, pengaturan atas kewajiban deklarasi harta kekayaan bagi pejabat publik masuk dalam ranah UU yang bertujuan untuk mencegah konflik kepentingan bagi pejabat publiknya. Sementara di Amerika Serikat, kaitan isu LHKPN ada pada UU etika pemerintah.
Pertanyaannya, mengapa dalam konteks Indonesia, sudah lebih dari 10 tahun aturan mengenai kewajiban pelaporan LHKPN disahkan, masalah yang dominan adalah melulu soal kepatuhan? Padahal isu lain yang lebih strategis, misalnya soal kebenaran laporan masih belum disentuh sama sekali. Ini artinya, aturan mengenai kewajiban pelaporan LHKPN belum bisa menjadi instrumen yang efektif untuk mencegah korupsi mengingat bagi pejabat publik yang tidak melaporpun, mereka tidak mendapatkan konsekuensi apapun. Pendek kata, tidak ada resiko sama sekali bagi pejabat publik yang tidak melaporkan LHKPN-nya kepada KPK.
Dengan demikian, isu besar dari aturan mengenai LHKPN di Indonesia adalah tiadanya sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Pelanggaran ini bisa kita klasifikasikan kedalam dua hal, yakni soal sanksi bagi yang tidak patuh melaporkan dan sanksi bagi yang melaporkan harta kekayaannya dengan tidak benar/tidak jujur. Dalam UU No 28 Tahun 1999 sebagaimana telah disebutkan diatas memang tidak mengatur sama sekali soal sanksi bagi pejabat publik yang melanggar.
Kita mungkin bisa meniru aturan main di Amerika Serikat. Dibawah Ethics in Government Act of 1978 bagian 101, bagi pejabat publik yang kedapatan tidak melaporkan LHKPN-nya, atau melaporkan dengan tidak jujur aset kekayaannya, dapat diseret dan dituntut oleh aparat penegak hukum ke pengadilan dengan dakwaan telah melanggar ketentuan yang berlaku bagi pejabat publik tersebut. Ini berlaku untuk semua kategori pejabat publik, termasuk Presiden sekalipun.
Pelengkap
Selain absennya dimensi sanksi dalam aturan LHKPN kita, ada beberapa dimensi umum yang bisa melengkapi efektifitas aturan LHKPN. Isu pertama adalah soal hak akses publik atas informasi harta kekayaan pejabat publik. Artinya, dalam aturan main mengenai kewajiban pelaporan harta kekayaan bagi pejabat negara, publik musti diberikan hak untuk dapat mengetahui secara detail laporan tersebut.
Hak akses publik ini merupakan sebuah dimensi yang penting mengingat secara teknis, KPK tidak akan mungkin dapat mempelajari dan melakukan audit terhadap seluruh laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Masukan dari masyarakat atas kejanggalan harta kekayaan yang dilaporkan, atau adanya harta kekayaan yang dimiliki tapi tidak dilaporkan oleh pejabat bersangkutan menjadi penting artinya bagi upaya untuk menegakkan LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi yang efektif.
Satu hal lain yang tidak mungkin dapat dilepaskan dari aturan utuh mengenai kewajiban pelaporan harta kekayaan pejabat publik adalah hukum mengenai pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik merupakan sebuah cara yang paling mudah untuk memastikan bahwa harta kekayaan yang dimiliki oleh pejabat tertentu tidak atau berasal dari tindak kejahatan (korupsi). Di Korea Selatan, untuk melindungi privasi pejabat publiknya, aturan mengenai pembuktian terbalik juga dilengkapi dengan kriminalisasi atas pelapor jika yang dilaporkan itu tidak benar. Maksudnya, pejabat yang bersangkutan dapat melaporkan balik pelapor jika kedapatan pelaporan itu tidak akurat sama sekali. Ini adalah win win solution atas banyaknya celah dan kelemahan dalam aturan deklarasi aset kekayaan pejabat publik kita.
Jika ini diterapkan, publik pastinya tidak akan keberatan sama sekali jika klausul mengenai pemidanaan bagi pelaporan yang salah itu diterapkan. Sekarang tinggal bagaimana anggota DPR baru dan Presiden merespon usulan atau inisatif publik untuk menggagas konsep aturan mengenai pemberantasan korupsi yang komprehensif. Jika komitmen penguasa dalam memberantas korupsi tinggi, niscaya kedua hal ini tidak memberatkan sama sekali.
Disalin dari Koran Tempo, 28 Januari 2010
Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW
No comments:
Post a Comment