Pengadilan adalah gerbang terakhir upaya mencari keadilan. Akan tetapi, hakim bersama-sama dengan aparat penegak hukum lain pun telanjur diyakini menjadi bagian dari sindikat mafia peradilan.
Rusaknya hukum di negeri ini merupakan sebuah cerminan nyata dari kehancuran integritas aparat penegak hukumnya. Meskipun tidak ada kasus jual-beli perkara yang terungkap, bau anyir kebobrokan para hakim terendus kencang. Seperti angin, eksistensinya tidak pernah bisa terlihat kasatmata, tetapi kehadirannya dapat kita rasakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penegak hukum yang diandalkan publik pernah mencoba membongkar kasus mafia peradilan di pengadilan.Tidak tanggung-tanggung, operasi itu diarahkan ke pusat kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung (MA) RI.Akan tetapi upaya itu gagal karena bocornya informasi terkait rencana operasi besar tersebut.
KPK pun hanya bisa mencokok pegawai MA saja,sementara the big fish-nya melenggang bebas.Hingga periode 2010, KPK sama sekali belum mendapatkan tangkapan bagus di lingkungan pengadilan. Upaya KPK perlu didukung dan harus menjadi agenda prioritas mengingat tiadanya kasus korupsi yang melibatkan hakim menjadi salah satu alasan pembenaran bahwa di lingkungan pengadilan tidak ada praktik suap-menyuap. Oleh karena itu,satu-satunya cara untuk meyakinkan otoritas politik bahwa korupsi di pengadilan telah menjamur adalah dengan mengungkap korupsi di wilayah itu.
Fenomena Koruptor Bebas
Satu hal yang selalu menjadi pertanyaan besar adalah mengapa hakim bisa dengan mudah membebaskan terdakwa korupsi, sementara untuk kasus-kasus kecil, mereka bisa dengan mudah menjeratnya? Ini bukan sebuah fenomena yang kebetulan, tetapi ada suatu sistem yang berjalan dengan tidak transparan dan akuntabel. Sistem koruptif yang telah mencabikcabik martabat serta keluhuran hakim sebagai pemegang palu kebenaran. Data pemantauan ICW pada 2009 menunjukkan ada yang tidak beres dalam proses peradilan kasus korupsi.
Sebanyak 100 hakim yang tersebar di berbagai daerah dan tingkat pengadilan yang berbeda telah memberikan vonis bebas bagi para terdakwa korupsi. Lebih dari itu, 6 hakim lainnya telah menjatuhkan vonis hukuman percobaan bagi pencuri uang negara. Sebuah putusan yang sangat bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo UU 20/2001) mengingat peraturan tidak pernah memberikan pilihan atas hukuman percobaan bagi koruptor. Selain jumlah hakim, dari 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia, sebanyak 224 terdakwa (59,26%) divonis bebas/lepas oleh pengadilan.
Hanya 154 terdakwa (40,74%) yang akhirnya divonis bersalah. Meski diputuskan bersalah, bobot vonisnya dapat dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi.Terdakwa yang divonis di bawah 1 tahun penjara sebanyak 82 terdakwa (21,69%), 1–2 tahun 23 terdakwa (6,08%), 2–5 tahun 26 terdakwa (6,88%) dan 5–10 tahun 6 terdakwa (1,59).Hanya ada 1 terdakwa yang divonis di atas 10 tahun (0,26%). Acap kali independensi hakim menjadi sebuah dasar bagi putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika keadilan sekaligus melukai perasaan keadilan publik.
Padahal jika kita kaji dalam perspektif politik hukum, tersembunyi sebuah kenyataan yang tak terlihat bahwa kekuasaan, baik uang maupun kedudukan, dapat menjadi faktor penentu putusan pengadilan. Bisa dikatakan, hakim yang bersih dengan UU yang banyak kelemahannya sekalipun bisa menjatuhkan vonis yang adil dibandingkan dengan UU yang sangat baik akan tetapi berada di tangan hakim yang kotor.
Di Balik Vonis Bebas
Dalam kasus korupsi, vonis hakim akan langsung berhubungan dengan perasaan keadilan publik. Hal itu bukan hanya karena,per definisi, korupsi sama artinya dengan merampok uang publik, tetapi karena dampak dari tindak pidana korupsi telah merenggut hak-hak dasar warga masyarakat. Jika korupsi sudah dianggap sebagai extra-ordinary crime, seharusnya cara membaca kualitas kejahatan ini tidak bisa disamakan dengan kejahatan jalanan (street crime).
Mencurigai bahwa di balik vonis bebas ada praktik jual-beli perkara tentu tidak boleh disalahkan. Akan tetapi belum tentu juga seluruh kecurigaan itu benar. Dalam beberapa hal, faktor kecakapan hakim dalam memahami persoalan korupsi menjadi kendala bagi lahirnya sebuah putusan yang berkualitas. Jika masalah di atas dipadukan dengan rendahnya komitmen dalam memberantas korupsi, sangat mungkin vonis-vonis bebas bagi koruptor akan terus lahir.
Demikian halnya,hakim secara objektif tidak bisa sepenuhnya disalahkan jika memutuskan vonis bebas.Ada kalanya, kenakalan dalam menangani perkara sudah dimulai sejak di tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan aparat penegak hukum lainnya. Artinya, ada celah lain yang bisa menciptakan vonis bebas di luar otoritas kekuasaan pengadilan. Dalam beberapa hasil eksaminasi publik yang dilakukan ICW terhadap putusan kasus korupsi, lemahnya dakwaan jaksa atau bahkan tidak digunakannya alat bukti yang kuat––meskipun tersedia–– pada persidangan kasus korupsi menjadi salah satu pemicu bebasnya koruptor.
Jalan Keluar
Meskipun berbagai faktor sangat memengaruhi bebas tidaknya terdakwa korupsi di pengadilan, benteng yang kuat dari hakim dapat menutup celah-celah tersebut.Oleh karena itu, syarat utama bagi lahirnya sebuah putusan hakim yang adil adalah integritas seorang hakim itu sendiri.
Hakim bisa memberikan teguran kepada jaksa jika tuntutan dan alat bukti tidak memadai, hakim bisa meminta jaksa melengkapi dakwaan, dan hakim bisa mencari berbagai macam inspirasi kebenaran meskipun dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi jalannya persidangan yang adil. Sosok hakim yang berintegritas baru bisa dilahirkan dalam sebuah lingkungan yang mendukung. Mudahnya hakim bertemu dengan pihak-pihak beperkara, kepermisifan yang sangat tinggi terhadap berbagai macam penerimaan yang dikategorikan gratifikasi, lemahnya pengawasan internal,dan longgarnya nilai-nilai integritas di lingkungan pengadilan merupakan faktor penunjang bagi terjadinya mafia kasus.
Dengan demikian, perlu diambil sebuah langkah yang mungkin tidak terlalu besar,tetapi memberikan dampak menyeluruh bagi kebiasaan lama yang cenderung koruptif. Meningkatkan dan memperketat kode etik yang mengandung nilai-nilai integritas, akuntabilitas, dan transparansi sebagai pejabat publik merupakan langkah mendesak yang harus diambil otoritas pengadilan.Pendeknya,dibutuhkan pelembagaan nilai-nilai antikorupsi yang kuat pada setiap tingkatan pengadilan sehingga memupuskan peluang bagi terjadinya kolusi.MA sebenarnya bisa meniru bagaimana KPK membangun nilainilai tersebut.
Dengan nilai-nilai antikorupsi yang ketat,sanksi yang tegas dan pengawasan yang memadai, tingkah laku hakim akan bisa dikendalikan. Terakhir, lingkungan pengadilan harus didesak untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik melalui berbagai macam kebijakan disclosure. Artinya, keterbukaan dan akses informasi publik di lingkungan pengadilan harus menjadi bagian dari sistem akuntabilitas atas kerjakerja penegakan hukum yang dilakukan para hakim.
Harus diingat bahwa korupsi akan selalu nyaman dalam ruang yang remang-remang. Memberikan penerang pada setiap proses pengambilan keputusan publik adalah penawar penyakit korupsi yang tidak bisa dibantah lagi.(*)
Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan disalin dari Harian Seputar Indonesia, 22 Januari 2010
1 comment:
Hello!
You may probably be very curious to know how one can manage to receive high yields on investments.
There is no initial capital needed.
You may begin earning with a sum that usually is spent
for daily food, that's 20-100 dollars.
I have been participating in one project for several years,
and I'll be glad to let you know my secrets at my blog.
Please visit blog and send me private message to get the info.
P.S. I make 1000-2000 per day now.
http://theinvestblog.com [url=http://theinvestblog.com]Online Investment Blog[/url]
Post a Comment