Friday, February 12, 2010

Mentradisikan Upeti Pejabat

Ketika Gamawan Fauzi, menteri dalam negeri, menegaskan bahwa honor yang diterima oleh para kepala daerah dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) merupakan hal yang wajar dan sah, penulis sama sekali tidak percaya.

Pasalnya, Gawaman Fauzi adalah sosok yang selama ini dikenal luas sebagai seorang mantan bupati Solok berprestasi, terutama dalam bidang pembenahan birokrasi.
Penulis masih ingat dalam sebuah kunjungan singkat ke Kabupaten Solok, salah satu hal yang menjadi program unggulan Gamawan adalah pemangkasan honorarium pejabat publik di luar pendapatan gaji resmi. Untuk menyeimbangkan kebijakan, Gamawan lantas menaikkan gaji pegawai negeri di sana di atas rata-rata. Para pegawai juga diminta menandatangani pakta integritas yang isinya kurang lebih bersedia dipecat jika masih melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Mungkin seperti kata orang, lain ladang lain belalang, lain tempat lain pula sikap. Bahkan, seorang teman sampai berseloroh, barangkali pada saat menjadi Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi juga menerima honor dari BPD Sumbar. Makanya, pernyataannya di media belakangan memberikan lampu hijau atas kebijakan pemberian honor bagi kepala daerah. Ingin rasanya seloroh nakal ini bisa langsung disampaikan ke yang bersangkutan.

Tak bisa kita bayangkan, jika pemberian honorarium bagi kepala daerah menggunakan dalih sebagai penanggung jawab pengelolaan keuangan daerah, berapa BUMD di satu kabupaten/kota/provinsi yang bisa memberikan honor serupa kepada kepala daerah bersangkutan sebagai komisaris. Meskipun diatur bahwa besaran honorarium hanya sekitar Rp 2 juta, tetapi jika semua BUMD juga menyediakan alokasi honorarium yang nilainya sama, tak terbayangkan berapa jumlah yang bisa diterima oleh kepala daerah setiap bulannya di luar gaji resmi. Padahal di luar itu, kepala daerah masih ditunjang oleh dana operasional dari APBD untuk menjalankan tugasnya dengan nilai yang tak kalah besar.

Konflik Kepentingan

Logika dasar dari seorang pejabat publik yang ditunjuk atau dipilih oleh rakyat secara langsung adalah mengelola sumber daya untuk diberdayakan secara maksimal bagi kepentingan publik. Oleh karena itu, pejabat publik atau pegawai negeri mendapatkan gaji atau pendapatan setiap bulan yang bersumber dari anggaran negara/daerah. Jika gaji resmi sudah dialokasikan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai pejabat publik atau pegawai negeri, tentu akan menjadi ganjil jika pejabat terkait masih bisa memperoleh sumber-sumber pendapatan dalam bentuk honorarium atau 'fee'.

Harus diingat bahwa dalam mengelola sumber daya publik, melekat di dalamnya kekuasaan yang sewaktu-watu bisa disalahgunakan. Oleh karena itu, sebuah aturan yang secara resmi telah disahkan untuk memberikan legitimasi atas pemberian sesuatu bagi pejabat publik bukan berarti lantas dianggap legal.

Ingat contoh kasus upah pungut yang sekarang masih diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaimana seorang menteri dalam negeri mengeluarkan keputusan untuk menarik upah dari kegiatan pemungutan pajak yang sebagian dari upah pungut itu juga dialokasikan untuk dirinya sendiri selaku menteri.

Kita mesti ingat dengan kecenderungan korupsi yang dilegalkan. Artinya, seorang pejabat publik dengan kekuasaan yang dimilikinya bisa menciptakan sedemikian rupa aturan yang menguntungkan dirinya sendiri atau keluarganya sehingga seolah-olah semua yang dinikmatinya adalah sah menurut hukum. Ini tentu saja pandangan yang menyesatkan mengingat situasi itu mengarah pada konflik kepentingan.

Secara umum, konflik kepentingan terbagi ke dalam dua level, yakni konflik kepentingan yang potensial dan konflik kepentingan yang aktual. Pengertiannya, konflik kepentingan yang potensial terjadi ketika seorang pejabat publik mengambil sebuah tindakan/kebijakan yang dapat memberikan pengaruh finansial kepada dirinya, keluarga, ataupun kegiatan usaha yang berhubungan dengan dirinya. Sementara, konflik kepentingan yang aktual terjadi ketika seorang pejabat publik mengambil sebuah kebijakan/keputusan yang akan memberikan pengaruh finansial bagi dirinya, keluarga, ataupun kegiatan usaha yang terkait atau terafilisasi dengan dirinya.

Dengan demikian, pengambilan keputusan atau kebijakan oleh pejabat publik harus sedemikian rupa tidak boleh mengandung dimensi keuntungan bagi dirinya sendiri ataupun lingkarannya. Inilah hal tersulit dalam konteks memberantas korupsi mengingat wilayah ini justru sering kali dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan material tanpa harus distempel sebagai seorang koruptor.

Aturan Tegas

Argumentasi mendagri bahwa larangan penerimaan honorarium bagi kepala daerah atau pejabat publik pada umumnya justru kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi perlu dicermati lebih jauh. Jika logikanya penghapusan honorarium akan meningkatkan penerimaan di bawah meja atau ilegal, sebenarnya tanpa harus dihapus pun, di luar honorarium, pejabat publik kita kerap menerima sesuatu yang ilegal. Oleh karena itu, mereka lebih suka menyembunyikan aktual kekayaan yang dimiliki ketimbang melaporkannya dalam LHKPN mengingat akan sulit menjelaskan dari mana asal muasal kekayaan itu diperoleh.

Logika pengaturan bagi pejabat publik tidak bisa disamakan dengan logika pengaturan bagi pegawai negeri yang berkategori kecil. Bagi pejabat publik, nilai seberapa pun gaji tak secara otomatis memutus mata rantai korupsinya.

Hal ini mengingat pejabat publik, apalagi yang mendapatkan kekuasaannya karena melalui proses pemilihan seperti kepala daerah, membutuhkan sumber daya terus-menerus untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya. Berbeda halnya dengan pegawai negeri rendahan yang mencari sumber-sumber penerimaan alternatif karena minimnya gaji resmi yang mereka terima.

Oleh karena itu, menyelesaikan persoalan honorarium harus dimulai dengan perumusan aturan tegas mengenai hal ini. Jika kita coba bandingkan dengan aturan mengenai konflik kepentingan secara umum, honorarium bagi pejabat publik, apalagi yang dipilih melalui pemilu adalah larangan. Bahkan, di hampir sebagian negara bagian di Amerika Serikat, misalnya, menerima honorarium dari penulisan artikel atau sebagai narasumber pun dilarang. Aturan semacam ini diarahkan untuk mendorong pejabat publik yang memiliki nilai-nilai integritas dan akuntabilitas, serta menghindari terjadinya konflik kepentingan, baik yang laten mapun aktual.

Langkah KPK untuk membenahi republik ini perlu didukung, bukan justru ditentang. Membuat mekanisme yang lebih baik bagi sistem remunerasi bagi pegawai negeri merupakan langkah yang lebih elegan dibandingkan memperbolehkan para pejabat publik kita tetap menerima sesuatu, baik dalam bentuk honor maupun 'fee'.

Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator ICW

Tulisan disalin dari harian Republika, 10 Februari 2010

No comments: