Pertama-tama kita perlu memberikan apresiasi yang mendalam terhadap putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yang telah menetapkan pemilihan caleg pemilu 2009 melalui suara terbanyak. Putusan ini merupakan jawaban atas judicial review terhadap UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, terutama pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e yang mengatur soal tata cara penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut.
Diluar pasal diatas, pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) sebenarnya juga menjadi sasaran judicial review. Akan tetapi, majelis hakim MK tidak mengabulkan permohonan pemohon sehingga aturan mengenai penyusunan bakal calon legislatif berdasarkan nomor urut serta kuota untuk caleg perempuan tetap berlaku.
Banyak yang menilai bahwa putusan MK atas penetapan caleg melalui suara terbanyak adalah sangat jitu, sekaligus juga memiliki spirit untuk meletakkan pondasi demokrasi elektoral yang lebih kokoh, terutama dari aspek penguatan demokrasi internal partai politik. Oleh karena itu, sudah semestinya semua pihak, termasuk partai politik tunduk pada putusan itu.
Sesungguhnya putusan MK telah dilandasi oleh logika yang kuat dan rasa keadilan yang konkret. Substansi kebijakan UU Pemilu mengenai penetapan pemenang caleg melalui nomor urut bertentangan dengan jiwa demokrasi. Apalagi dilain pihak, dalam UU Pemilu yang sama, anggota DPR memutuskan bahwa penetapan calon anggota DPD berdasarkan suara terbanyak.
Alangkah aneh dan lucunya aturan tersebut jika tetap diberlakukan, mengingat ada perbedaan penetapan calon terpilih dalam satu aturan pemilu yang sama. Dua mekanisme yang berbeda dalam aturan yang sama bukan saja kontradiktif dari sisi materi, melainkan juga mencerminkan buruknya proses legislasi itu sendiri.
Dengan ditetapkannya suara terbanyak sebagai cara penetapan caleg terpilih pada pemilu 2009 oleh MK, maka mekanisme nomor urut menjadi tidak relevan lagi. Apa yang kita bisa baca dari putusan MK juga mengandung makna bahwa dalam proses legislasi yang selama ini proses penyusunannya kental dengan nuansa oligharki elit partai politik, terdapat alat kontrol yang bisa dimanfaatkan publik untuk mengoreksinya, yakni melalui judicial review ke MK.
Putusan MK telah memberikan sinyal bahwa anggota DPR dan elit partai tidak semestinya lagi menyusun kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan yang semena-mena. Karena jika ada ketidakpuasan dari publik yang meluas, MK bisa dijadikan sarana untuk meninjau kembali kebijakan DPR.
Menguatkan Demokrasi Internal
Adanya upaya pengajuan judicial review ke MK atas pasal 214 yang menetapkan caleg terpilih berdasarkan nomor urut sebenarnya memprihatinkan. Pasalnya, partai politik yang seharusnya menjadi pilar demokrasi dan agen demokrasi justru mengalami krisis demokrasi. Ngototnya anggota DPR untuk menggunakan mekanisme nomor urut menyiratkan adanya masalah serius dalam demokrasi internal partai politik.
Aturan penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut juga berarti bahwa partai politik selama ini memiliki kekuasaan yang berada diatas mekanisme pemilu itu sendiri. Pasalnya, esensi pemilu seharusnya dilihat sebagai ajang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Dengan memilih peserta pemilu dalam pencoblosan, ini artinya pemilih telah memberikan amanah kepada caleg yang dipilih. Suara dari pemilih untuk caleg dalam prakteknya dapat diubah oleh partai politik karena adanya mekanisme nomor urut. Pada akhirnya, hasil final pemilu yang melahirkan anggota legislatif sebagai wakil rakyat tidak merefleksikan aspirasi pemilih secara keseluruhan, akan tetapi merupakan formasi yang ditentukan oleh partai politik.
Dengan putusan MK yang final dan mengikat, secara otomatis, formasi caleg tetap yang telah didaftarkan kepada KPU dengan nomor urut tidak lagi memiliki arti politis. Jika selama ini muncul pemahaman bahwa caleg nomor urut pertama hingga nomor urut tiga memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi wakil rakyat. Pada pemilu 2009, semua akan sangat ditentukan oleh suara terbanyak.
Sudah dapat dipastikan, putusan MK diatas sangat mengejutkan partai politik dan calegnya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa selama ini, penentuan nomor urut di internal partai politik telah dijadikan ajang transaksi ilegal. Fenomena seat buying menjadi kian marak karena calon legislatif jadi sangat ditentukan oleh nomor urutnya. Bagi siapapun yang bisa membeli nomor jadi dengan jumlah terbesar, sudah dapat dipastikan dialah yang akan menempati nomor tersebut.
Demokrasi internal di partai politik, khususnya dalam rekrutmen kader mereka sebagai calon pejabat publik menjadi tidak berjalan sama sekali. Kemacetan praktek demokrasi di dalam tubuh partai politik inilah yang juga telah menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam tubuh pemerintahan. Hubungan kausalitasnya sungguh jelas, karena sejak awal biaya politik untuk menduduki jabatan publik sudah teramat mahal, maka kekuasaan fomal dijadikan sarana untuk mengembalikan investasi politik, sekaligus mengembangkannya. Representasi dari gambaran ini kita dapat lihat dari terungkapnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, anggota DPR/D, serta pejabat politis lainnya.
Kader-kader partai politik yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan integritas seringkali tidak bisa terjaring sebagai calon karena kebanyakan dari mereka kekurangan 'gizi'. Mereka yang memiliki potensi untuk menjadi negarawan justru harus tersisih oleh demokrasi internal partai yang berbasis uang. Demokrasi oplosan yang ditumbuhkembangkan partai politik bukan hanya telah menjerumuskan partai politik sebagai manufaktur calon-calon koruptor, akan tetapi juga mengabadikan prinsip anti-demokrasi substansial.
Kerugian teramat besar pasti akan dirasakan oleh para caleg tetap yang telah mengeluarkan banyak biaya politik untuk mendapatkan nomor jadi. Karena nomor urut sudah tidak lagi berguna, maka ongkos politik yang telah dikumpulkan sudah dipastikan menguap begitu saja. Meratapi tentu saja bukan jalan keluarnya. Menagih kembali ke para calo atau elit partai yang 'berjualan' kursi juga mustahil.
Oleh karena itu, mau tidak mau, persiapan untuk menarik suara pemilih harus lebih matang. Jika sebelum putusan MK keluar para caleg nomor urut jadi bisa berleha-leha tanpa kerja keras untuk meyakinkan pemilih, mereka harus berpikir ulang untuk tetap diam. Penetapan suara terbanyak telah mendorong adanya kerja keras caleg untuk dapat meraih simpati dari pemilih dan kompetisi yang lebih sehat diantara caleg, baik di tingkat internal partai maupun antar caleg dari masing-masing peserta pemilu.
Perlu diingat, untuk meraih suara Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) bukanlah pekerjaan gampang. Catatan pemilu 2004, untuk seluruh caleg DPRD kabupaten/kota se Indonesia, hanya ada dua caleg yang dapat memenuhi angka BPP. Mereka adalah M. Hartomi Wibowo dan Muhammad Darsum. Kedua-duanya berasal dari Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Mungkin para caleg sekarang ini perlu belajar strategi dari mereka.
****
No comments:
Post a Comment