Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi selama kurun waktu sejak kelahirannya telah membawa kerisauan dari berbagai pihak. Kegelisahan itu ditunjukkan dengan berbagai reaksi yang mengarah pada pemandulan hingga yang paling ekstrem: pembubaran eksistensi KPK. Tujuan dibentuknya KPK memang dimaksudkan untuk memberantas korupsi secara lebih efektif, efisien, dan independen, dengan melihat sejarah penegakan hukum oleh aparat konvensional yang identik dengan kegagalan. Harapannya, dengan menggunakan instrumen baru berupa lembaga pemberantas korupsi yang lebih kuat wewenangnya dan independen dari kekuatan politik mana pun, KPK dapat mengatasi hambatan hukum dan politik dalam pemberantasan korupsi.
Dengan ukuran yang paling sederhana, KPK perlahan telah menjawab tantangan di atas. Dari kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK, tampak jauh lebih berbobot daripada kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum lainnya. Satu per satu pejabat publik yang selama ini mustahil diproses secara hukum karena melakukan korupsi dapat diseret oleh KPK. Bahkan wilayah pemberantasan korupsi KPK sudah menjangkau sampai lingkaran Istana, paling tidak dapat dilihat saat Aulia Pohan sebagai besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap Bank Indonesia. Dinding kekuasaan politik seperti parlemen pun mulai dirambah oleh KPK. Beberapa anggota parlemen pusat telah ditetapkan sebagai tersangka maupun terdakwa dalam berbagai kasus korupsi (suap dan pemerasan).
Demikian halnya profesionalisme KPK dalam penindakan kasus korupsi telah meminimalisasi kemungkinan dibebaskannya para terdakwa korupsi di Pengadilan Tindak Pidana korupsi. Catatannya hingga saat ini dapat dikatakan sempurna karena belum ada satu pun kasus korupsi yang dilimpahkan KPK ke Pengadilan Tipikor divonis bebas oleh majelis hakim.
KPK juga dapat membentuk citra positif lembaga pemberantas korupsi, melalui penegakan integritas pegawai KPK yang cukup ketat. Penerapan kode etik pegawai KPK bahkan kadang dianggap oleh sebagian orang keterlaluan. Bayangkan, orang KPK memilih tidak minum atau makan hidangan yang disediakan panitia acara apabila diundang sebagai narasumber di suatu tempat. Meskipun terkesan berlebihan, yang harus kita hormati adalah semangat untuk menghindari konflik kepentingan dan berbagai praktek permisif lainnya yang dapat menjatuhkan seseorang dalam kubangan korupsi.
Karena bekal itu pulalah, berkaca pada berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK, satu per satu kekuasaan politik, birokrasi, dan bisnis yang selama ini kedap dengan proses hukum harus menghadapi realitas penegakan hukum yang telah bergeser ke arah yang positif. Mereka inilah yang sekarang melakukan apa yang sering dikenal sebagai "corruptor fightback" (pukulan balik koruptor).
Gejala pukulan balik koruptor mulai kelihatan dalam berbagai manuver yang muncul, baik dalam skala sporadis maupun sistemik. Gerakan menentang balik penegakan hukum KPK dapat dilihat, misalnya, dari pernyataan anggota Dewan yang menginginkan KPK dibubarkan tanpa ada alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Demikian halnya wacana yang didorong oleh beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan amendemen terhadap Undang-Undang KPK.
Upaya menghentikan laju pemberantasan korupsi KPK tidak hanya berhenti sampai di sini. Yang paling moderat adalah membatasi usia KPK dengan alasan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc. Dalilnya, sepanjang aparat penegak hukum konvensional sudah mampu memulihkan kondisinya dari masa sakit karena korupsi yang panjang, maka menurut kelompok ini, KPK tidak lagi diperlukan. Demikian halnya upaya pengajuan judicial review untuk memangkas wewenang KPK kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan oleh terdakwa korupsi. Sudah puluhan kali upaya menjegal KPK dilakukan dengan mengajukan judicial review ke MK. Akhir dari perjalanan judicial review UU KPK ke MK memang relatif menguntungkan KPK, sekaligus tragis.
Dengan dibatalkannya Pasal 53 UU KPK mengenai eksistensi Pengadilan Tipikor, berarti pemerintah bersama DPR harus membuat UU tersendiri mengenai pengadilan ini. Makna positifnya, sinisme banyak pihak, termasuk para pengacara koruptor bahwa Pengadilan Tipikor berada di bawah "kendali" KPK, dapat dihindari. Dengan demikian, kecurigaan bahwa penegakan hukum korupsi yang dilakukan oleh KPK dan Pengadilan Tipikor adalah satu paket bisa dihindari. Begitu pula putusan Pengadilan Tipikor atas berbagai kasus korupsi yang ditanganinya juga akan dianggap lebih independen dari pengaruh KPK.
Tapi hal tersebut juga bisa berakibat tragis tatkala UU Pengadilan Tipikor yang menjadi mandat putusan MK atas judicial review UU KPK harus dibentuk selambat-lambatnya pada 19 Desember 2009. Persoalannya, ketika menyangkut penyusunan UU, otoritas sepenuhnya ada di DPR, yang saat ini tengah disorot dengan ketat oleh publik karena berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK. Tentu saja keadaan ini tidak menguntungkan KPK karena sangat mungkin DPR memiliki dendam kesumat karena berturut-turut kasus korupsi yang ditangani KPK terkait dengan kasus korupsi di DPR.
Dengan kondisi semacam ini, masa depan KPK menjadi sangat tidak menentu. Hitung-hitungannya sangat sederhana. Andai DPR mengabaikan putusan MK dengan tidak menetapkan UU Pengadilan Tipikor sesudah deadline yang telah ditetapkan, tamatlah riwayat penindakan KPK. Hal ini karena, di dalam UU KPK, penuntutan atas kasus korupsi yang ditangani KPK hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Tipikor, bukan pengadilan umum.
Saat ini fenomena untuk membekukan KPK sudah mulai menampakkan wujudnya. Paling tidak, kita dapat mengukurnya dari respons DPR yang sangat lamban dalam membahas RUU Pengadilan Tipikor. Padahal pemerintah sudah beberapa waktu lalu telah menyerahkan draf RUU tersebut kepada Komisi III DPR. Alasan yang dikemukakan DPR bermacam-macam, dari alasan bahwa mereka sudah memiliki agenda legislasi yang padat, masa reses yang dihadapi anggota Dewan, hingga waktu penyusunan RUU Pengadilan Tipikor yang dipandang masih cukup.
Akan muncul dua kemungkinan atas upaya menetralisasi KPK. Pertama, Komisi III DPR benar-benar akan mendiamkan draf RUU Pengadilan Tipikor tanpa pembahasan sampai batas waktu putusan MK. Konsekuensi dari keadaan ini sangat jelas, yakni KPK akan kehilangan tempat untuk mengajukan penuntutan atas kasus-kasus korupsi yang ditanganinya.
Skenario pertama ini sangat mungkin karena masa tugas DPR periode 2004-2009 hanya tersisa tujuh bulan lamanya. Dari waktu yang sedikit itu, akan tersita banyak untuk menghadapi pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum 2009, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden. Konsentrasi wakil rakyat yang begitu besar pada kegiatan Pemilu 2009 akan membuyarkan optimisme bahwa, dengan masa yang tersisa, UU Pengadilan Tipikor dapat diwujudkan.
Kedua, penyusunan RUU Pengadilan Tipikor akan dikejar dengan menanggalkan kualitas legislasinya. Pengertiannya, Komisi III DPR tetap menjalankan perintah MK sesuai dengan jadwal, tapi menghiraukan isu substantif dalam UU tersebut. Perlu diketahui, keberhasilan KPK dalam menangani berbagai kasus korupsi juga sangat ditopang oleh putusan Pengadilan Tipikor. Jika rancang bangun Pengadilan Tipikor didasari oleh substansi UU Pengadilan Tipikor yang buruk, bisa jadi putusan para hakim di Pengadilan Tipikor kelak akan setali tiga uang dengan pengadilan umum.
Membinasakan KPK memang tidak harus langsung menusuk titik vitalnya, tapi bisa dengan menyandera fondasinya yang lain, yakni Pengadilan Tipikor. Apakah kita akan mengucapkan sayonara terhadap pemberantasan korupsi? Wallahualam.
Adnan Topan Husodo, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Tulisan disalin dari Koran Tempo, 23 Desember 2008
No comments:
Post a Comment