Tuesday, December 02, 2008

Memerangi Konflik Kepentingan

Riuh-rendah suspensi saham Bumi Resources di BEJ berujung pada dugaan bahwa intervensi pemerintah merupakan biang keladinya. Ditengarai, ada perintah dari pusat kekuasaan terhadap otoritas bursa saham untuk menunda perdagangan saham Bumi yang melibatkan campur tangan pejabat negara. Jika kemudian salah satu pejabat yang disebut-sebut itu adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan Djalil, hal itu tidaklah terlalu membingungkan.

Pasalnya, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika ini menjadi salah satu pemegang saham Bumi Resources. Tentu saja, meskipun dalam kisaran yang kecil, kepemilikan saham di Bumi Resources sedari awal telah melahirkan potensi konflik kepentingan. Terutama karena keputusan atau tindakan yang diambil sebagai Menteri Negara BUMN sulit dipisahkan dari kepentingan pribadinya untuk menyelamatkan saham Bumi dari penurunan nilai. Di samping itu, ada perintah langsung dari Menteri Negara BUMN yang disampaikan kepada beberapa BUMN untuk membeli saham Bumi.

Meskipun Menteri Negara BUMN sudah membantah langsung melalui media massa bahwa dia tidak mencampuradukkan posisinya sebagai Menteri Negara BUMN dengan kedudukannya sebagai pemegang saham di Bumi yang mayoritas pemilikannya dikendalikan oleh Aburizal Bakrie, Menteri Kesejahteraan Rakyat, tetaplah sulit untuk mengambil keputusan yang obyektif atas Bumi Resources. Lahirnya konflik kepentingan itu semakin kuat karena terdapat aturan mengenai pasar modal yang terindikasi sudah dilanggar.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 100 angka (4), diatur bahwa "Setiap pegawai Bapepam yang diberi tugas atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bapepam untuk melakukan pemeriksaan dilarang memanfaatkan untuk diri sendiri atau mengungkapkan informasi yang diperoleh berdasarkan undang-undang ini kepada pihak mana pun, selain dalam rangka upaya mencapai tujuan Bapepam atau jika diharuskan oleh undang-undang lainnya".

Dengan demikian, jika kita menggunakan aturan di atas sebagai acuan bagi pejabat negara untuk menjaga jarak atas keputusan yang diambil dengan konsekuensi keuntungan individu yang diperolehnya, pelanggaran itu sudah bisa dikatakan terjadi. Logika hukumnya sangat sederhana, jika Undang-Undang Pasar Modal telah mengatur secara jelas dan tegas bahwa pihak yang terkait dengan pihak lain yang ditunjuk saja sudah tidak boleh atau dilarang memanfaatkan informasi untuk dirinya sendiri, apalagi pihak tertentu yang posisinya adalah pejabat negara. Terlebih lagi, posisinya itu terkait langsung dengan otoritas dan wewenang yang diberikan undang-undang untuk mengelola saham milik rakyat di BUMN.

Kita bisa menggunakan analogi sederhana dengan menyatakan bahwa posisi Menteri Negara BUMN tak ubahnya seperti manajer investasi. Tetapi saham yang dikelolanya adalah saham rakyat Indonesia yang diproyeksikan kepada pemerintah melalui BUMN. Mengacu pada aturan main selanjutnya, UU Pasar Modal Pasal 35 huruf (a) telah menegaskan bahwa "Perusahaan efek atau penasihat investasi dilarang menggunakan pengaruh atau mengadakan tekanan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah".

Karena nasabah dalam pengertian tulisan ini adalah rakyat, apa yang menjadi kepentingan nasabah dari BUMN itulah yang harus diperjuangkan oleh manajer investasi yang notabene adalah Menteri Negara BUMN. Dan kepentingan rakyat sebagai nasabah BUMN itu tidak lain adalah berharap mendapatkan dividen yang tinggi dari saham di BUMN, sehingga dana tersebut dapat menjadi stimulus fiskal di APBN yang penggunaannya kemudian dapat mengalir bagi kepentingan rakyat pula.

Pertanyaan prinsipiilnya: apakah dengan dibelinya saham Bumi oleh BUMN akan ada keuntungan dividen yang dapat disetor kepada negara? Perlu diperhatikan bahwa saat ini ekonomi dunia sedang dilanda kesulitan cash flow dan negara Indonesia bukan negara yang cukup kaya untuk bisa bertahan dari krisis global. Di samping itu, Bumi faktanya masih memiliki tunggakan royalti ke negara (sekitar US$ 201,6 juta). Royalti dan dividen adalah uang rakyat, sehingga seharusnya masuk ke APBN.

Mengingat konflik kepentingan adalah embrio korupsi politik, sudah seharusnya Indonesia mulai memikirkan secara lebih serius untuk mengatur hal ini. Isu konflik kepentingan bukan sekadar soal bagaimana mengatur etika pejabat publik, tetapi harus dilihat dampak dari chaos-nya hubungan pejabat publik dengan kepentingan pribadi yang diwakilinya secara terselubung maupun terbuka yang dapat menyebabkan negara dan kebijakan publik yang diambil hanya mengabdi pada kepentingan tertentu.

Fenomena state capture of corruption adalah bukti nyata menjamurnya konflik kepentingan, karena adanya pembiaran terhadap potensi itu. Ketika praktek itu terjadi, tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat membendungnya karena, secara legal-formal, masalah itu tidak pernah dirumuskan dalam aturan. Meskipun keputusan pejabat publik yang dapat menguntungkan kalangan tertentu atau dirinya sendiri secara telanjang dapat kita saksikan, sulit untuk melakukan tindakan legal untuk melarangnya, apalagi memberikan sanksi.

Sebenarnya larangan adanya konflik kepentingan bagi pejabat publik/negara yang berdampak negatif pada keuangan/perekonomian negara merupakan suatu ketentuan yang diakui secara universal. Sebagaimana misalnya baru-baru ini kita saksikan di media massa, Yayasan Bill Clinton direncanakan akan diaudit sehubungan dengan akan dipilihnya Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri untuk periode pertama kepemimpinan Barack Obama.

Ketentuan konflik kepentingan diatur dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC), khususnya Pasal 7 ayat 4 dan Pasal 8 ayat 5. Pemerintah Indonesia sendiri sebagai negara peserta konvensi telah meratifikasinya dengan UU No. 7 Tahun 2006. Pasal 7 ayat 4 UNCAC menyebutkan bahwa "Setiap negara peserta wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasionalnya, berusaha keras mengadopsi, memelihara, dan memperkuat sistem-sistem yang meningkatkan transparansi dan mencegah konflik-konflik kepentingan".

Selanjutnya, Pasal 8 ayat 5 UNCAC berbunyi "Setiap negara peserta wajib berusaha keras untuk di mana cocok dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, menetapkan tindakan-tindakan dan sistem yang mewajibkan pejabat-pejabat publik membuat pernyataan-pernyataan kepada otoritas-otoritas yang tepat mengenai antara lain kegiatan-kegiatan mereka di luar pekerjaan, investasi-investasi, aset-aset, dan hadiah-hadiah atau keuntungan-keuntungan yang berarti, yang dapat menimbulkan konflik kepentingan".

Sejauh pengamatan penulis, ketentuan atau prinsip di atas belum juga diadopsi oleh Undang-Undang Anti-Korupsi yang saat ini berlaku di Indonesia. Seharusnya, sebagai konsekuensi telah diratifikasinya UNCAC, kita memiliki kewajiban untuk memasukkan ketentuan tersebut dalam UU Anti-Korupsi sebagai prinsip dasar antikorupsi. Lambannya semangat mengadopsi ketentuan dasar Konvensi PBB Anti-Korupsi dapat dianggap sebagai minimnya komitmen pemerintah Indonesia dalam menerapkan standar internasional antikorupsi.

Karena itu, supaya pemerintah Indonesia tidak dianggap lalai dalam mendorong perbaikan legal framework antikorupsi yang berstandar internasional, perlu ada tindakan cepat dari pemegang otoritas, baik presiden, DPR, maupun para pembantunya, untuk menempatkan isu konflik kepentingan sebagai rumusan hukum nasional. Harus diingat bahwa, pada awal Januari 2009, PBB akan melakukan evaluasi tahunan terhadap tingkat kepatuhan negara peserta konvensi antikorupsi. Tentu kita tidak ingin pemerintah Indonesia dipandang rendah dalam mengimplementasikan komitmen Konvensi Anti-Korupsi PBB.

Menurut penulis, sembari menunggu terbitnya RUU Anti-Korupsi yang baru, pemerintah memiliki otoritas dalam lingkup yang lebih kecil untuk mengatur atau menyusun regulasi, semisal peraturan presiden mengenai larangan konflik kepentingan. Meskipun aturan itu pada akhirnya hanya mengikat sebagian dari pejabat negara, khususnya kalangan eksekutif, tindakan itu sekaligus menunjukkan adanya komitmen besar dari Presiden untuk meletakkan dasar-dasar yang lebih baik bagi sistem dan etika pejabat publik di Indonesia, sehingga dapat menghindarkan diri dari tindakan abuse of power. Bukankah memulai dari yang kecil tapi konkret adalah bagian dari strategi pemberantasan korupsi juga? *

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan ini disalin dari koran Tempo, Rabu, 3 Desember 2008

No comments: