Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyarankan kepada Pemerintah untuk melakukan restrukturikasi terhadap lembaga pengawas internal (PI). Saran itu disampaikan setelah mengevaluasi peran PI yang sangat minim dalam mencegah, maupun ikut aktif terlibat dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Lebih lanjut, KPK menyatakan bahwa semenjak KPK dibentuk hingga saat ini, hanya ada dua laporan dugaan korupsi yang disampaikan oleh PI.
Rendahnya komitmen PI dalam memberantas korupsi dicerminkan dari hasil studi KPK terhadap integritas sektor publik tahun 2007 yang menyimpulkan bahwa 11 departemen atau instansi pemerintah hanya memiliki skor integritas di bawah rata-rata. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari buruknya pengawasan yang dilakukan oleh PI. Karena seharusnya PI berada pada ujung tombak pemberantasan korupsi di lembaga pemerintah.
Demikian halnya, peranan PI nyaris tidak nampak dalam upaya menciptakan tertib anggaran negara. Dari hasil audit BPK semester 1 2008, ditemukan setidaknya 1,96 triliun penggunaan dana daerah yang tidak disertai dengan bukti yang memadai. Terdapat Rp 15,98 triliun hak atas aset tanah yang tidak jelas pengelolaan dan inventarisasinya sehingga rawan dikorupsi (dipindahtangankan).
Temuan lain yang bisa dirinci lebih lanjut, terdapat kekurangan volume atau kelebihan pembayaran yang merugikan keuangan daerah minimal sebesar Rp 77,39 miliar. Penyertaan modal pemerintah daerah pada BUMD tanpa bukti kepemilikan sebesar Rp 446,94 miliar. Pengelolaan anggaran daerah tanpa mekanisme APBD sebesar Rp 626,27 miliar. Juga ada pemberian bantuan kepada instansi vertikal yang tak sesuai ketentuan sebesar Rp 51,4 miliar.
Sebenarnya PI secara konseptual memiliki peran yang vital. Paling tidak ada tiga fungsi utama yang seharusnya dimainkan oleh PI, sebagaimana dikutip dalam buku panduan berjudul “internal control” yang diterbikan oleh London Stock Exchange (1999). Pertama, PI memainkan peran penting didalam organisasi pemerintah untuk memastikan bahwa tujuan-tujuan organisasi telah tercapai dengan maksimal. PI juga dituntut untuk memberikan kontribusinya sebagai penyelamat atas aset publik yang dikelola oleh lembaga pemerintah.
Kedua, PI berfungsi untuk menfasilitasi efektifitas dan efisiensi dari pelaksanaan program pemerintah, membantu memastikan reliabilitas pelaporan lembaga pemerintah, baik ke dalam maupun ke luar, serta membantu badan-badan pemerintah untuk mematuhi peraturan yang berlaku dalam rangka penerapan prinsip-prinsip good governance.
Ketiga, PI memastikan efektifitas kontrol finansial, termasuk didalamnya memelihara catatan keuangan yang layak.PI juga memiliki peran untuk mendorong penggunaan catatan keuangan yang benar, tepat dan up to date serta keterbukaan yang lebih luas atas informasi keuangan kepada masyarakat. Mereka juga memiliki peran untuk mendeteksi adanya kecurangan atau pelanggaran, sekaligus melakukan tindakan pencegahan.
Masalah Mendasar PI
Mengacu pada peran vital PI diatas, tentunya kita kemudian bertanya, mengapa PI gagal dalam menjalankan, paling tidak secara minimal fungsi yang seharusnya mereka jalankan? Ada beberapa analisis yang bisa diajukan untuk menilai mandulnya PI.
Pertama, masih tumbuh kembangnya watak birokrasi Indonesia yang sangat feodal. Hubungan antara atasan dan bawahan dalam kultur birokrasi pemerintah masih sering dianalogikan sebagai hubungan antara orang tua dan anak. Dalam relasi semacam ini, atasan adalah orang tua yang memberikan pengayoman terhadap para bawahannya. Hubungan yang demikian tidak demokratis telah memicu kelumpuhan fungsi kontrol, sehingga wajar PI tidak bisa atau dilarang menemukan adanya penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pimpinan lembaga.
Watak birokrasi semacam ini mengasumsikan bahwa atasan atau pimpinan tidak pernah melakukan kesalahan. Jika pimpinan melakukan kekeliruan, hampir tidak ada sistem yang dapat mencegah, atau memberikan teguran atas hal itu. Dengan begitu, praktek kecurangan, pelanggaran aturan dan korupsi menjadi kian subur karena leluasanya atasan atau pimpinan lembaga menjalankan kekuasaan yang dimiliki. Model birokrasi semacam ini sangat bertolak belakang dengan asumsi dasar atas terjadinya sebab-sebab korupsi.
Sebagaimana kita ketahui, dalam berbagai literatur dan penelitian, diyakini korupsi terjadi karena adanya kekuasaan yang tidak dikendalikan. Ini artinya, yang sangat berpotensial untuk melakukan korupsi adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan besar. Dalam konteks lembaga birokrasi, mereka inilah yang berada pada pucuk pimpinan lembaga pemerintah. Oleh karena itu, jika watak birokrasi feodal menjadi wajah lembaga pemerintah, temuan BPK, hasil riset soal penerapan good governance tidak akan banyak perubahan di masa-masa ke depan.
Kedua, dalam literatur ilmu manajemen, kontrol internal memang menjadi bagian dari fungsi manajerial. Artinya, pengawasan internal merupakan salah satu instrumen bagi pengambil keputusan untuk memastikan roda organisasi berjalan dengan baik. Konsepsi semacam ini mengandaikan atau lebih tepat, bermanfaat pada lembaga yang mengejar keuntungan (profit oriented), bukan pada lembaga pemberi pelayanan umum seperti badan-badan pemerintah (birokrasi-politik).
Lembaga swasta, atau perusahaan memiliki kepentingan untuk terus melipatgandakan keuntungan, ekspansi usaha serta bertahan dalam lingkungan eksternal yang demikian ekstrem perubahannya. Watak dari lembaga pencari untung adalah adanya reward and punishment yang jelas.
Pimpinan perusahaan dituntut untuk inovatif, kreatif sekaligus efisien dalam menggunakan sumber daya organisasi. Karena jika gagal, maka dengan mudah pimpinan perusahaan atau direktur akan diganti dengan orang lain yang lebih mampu. Dengan demikian, berjalan atau tidaknya pengawasan internal merupakan bagian dari tanggungjawab manajerial, sekaligus berhubungan dengan prestasi perusahaan.
Hal semacam inilah yang tidak ditemukan dalam lembaga pemerintah. Sebagaimana kita ketahui, pengawas internal merupakan fungsi yang dikendalikan dan bertanggungjawab kepada pimpinan lembaga tersebut. Sehingga ketika pengawas internal diletakkan dalam subordinasi pimpinan lembaga, maka yang terjadi adalah kooptasi atas peranan pengawasan itu sendiri. Hampir tidak ada lembaga kontrol internal di badan pemerintah yang berdaya, atau dapat menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik disebabkan karena masalah ini.
Dengan melihat masalah mendasar PI, tentu saja langkah penting yang seharusnya diambil oleh Pemerintah adalah melakukan restrukturisasi kelembagaan atas eksistensi PI itu sendiri. PI memang tidak dibentuk hanya sekedar untuk memberikan hukuman, akan tetapi lebih kepada melakukan pencegahan atas berbagai kemungkinan korupsi yang terjadi di lembaga pemerintah.
Restrukturisasi artinya menempatkan PI dalam posisi yang lebih independen terhadap pimpinan badan pemerintah, sehingga dapat meminimalisir adanya pembungkaman terhadap fungsi kontrol. Sekalipun tanggungjawab PI diantaranya adalah kepada pimpinan badan pemerintah, akan tetapi secara bersamaan, PI dapat dan memiliki wewenang untuk menjalankan pengawasan terhadap seluruh struktur, baik pada tingkat manajerial atas, menengah maupun bawah tanpa bisa diintervensi. Dengan menempatkan PI diluar jalur komando pimpinan lembaga, kemungkinan adanya kendali atas hasil kerja PI dapat diminimalisir.
****
Tulisan dimuat di harian Jawa Pos, Jumat, 9 Januari 2009
No comments:
Post a Comment