Tuesday, July 29, 2008

paradoks Asas Keterbukaan Parlemen


Secara mengejutkan, dua momen penting rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan KPK dan Kejaksaan Agung RI yang terakhir dilakukan secara tertutup. Padahal kedua lembaga mitra kerja Komisi III DPR RI ini sedang memiliki pekerjaan rumah besar. KPK sedang menangani perkara suap yang melibatkan berbagai anggota DPR, sementara Kejaksaan Agung RI setelah kasus suap Ayin-jaksa UTG harus segera melakukan percepatan reformasi internalnya. Bukan hanya itu, karena dari hasil sadapan KPK, diketahui kasus suap ini tidak hanya melibatkan UTG semata, akan tetapi sudah menyeret beberapa nama Jaksa Agung Muda, yang kemudian harus disingkirkan oleh Jaksa Agung, Hendarman Supandji atas desakan publik.

Dengan dua hajatan besar tersebut, seharusnya pertemuan antara Komisi III DPR RI dengan aparat penegak hukum dilakukan secara terbuka. Supaya publik mengetahui sejauh mana perkembangan penanganan perkara suap di parlemen itu diselesaikan KPK, sekaligus seserius apa Kejaksaan Agung telah melakukan langkah-langkah darurat untuk membenahi citranya.

Tak dapat dihindari jika kemudian pertemuan tertutup itu memunculkan banyak spekulasi. Salah satu yang paling mencuat adalah isu intervensi politik DPR terhadap KPK. Kebenaran akan hal ini masih perlu dikonfirmasi, akan tetapi motif Komisi III DPR RI untuk melakukan pertemuan tertutup juga tidak dapat diterima nalar sehat.

Secara teoritis, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat harus mengembangkan prinsip-prinsip good governance dalam setiap pelaksanaan fungsi dan kewenangannya. Hal ini berarti, DPR harus menerapkan paling tidak tiga hal, yakni prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas dan prinsip partisipasi. Ketiga prinsip ini penting untuk diterapkan sebagai mekanisme kontrol publik atas kerja parlemen. Apalagi di satu sisi, DPR baru saja mengesahkan UU Kebebasan Informasi Publik (KIP). Oleh karenanya, menjadi sangat lucu jika pertemuan Komisi III DPR RI dengan aparat penegak hukum justru dilakukan secara tertutup. Bukankah ketertutupan itu adalah awal terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme?

Ketertutupan Komisi III DPR dalam membahas perkembangan pemberantasan korupsi dengan KPK dan Kejaksaan Agung RI menandakan bahwa DPR tidak memiliki respon yang baik terhadap tuntutan transparansi. Seharusnya dalam kondisi dimana DPR sedang babak belur karena mencuatnya berbagai kasus suap yang melibatkan anggotanya, DPR mengambil inisiatif untuk memperbaiki citranya.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III dan KPK yang dilakukan secara tertutup:

Pertama, Komisi III DPR dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum. Pasal 3 UU 30 Tahun 2002 tentang KPK: "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun"

Pasal ini menegaskan sifat kewenangan KPK yang independen dan tidak dapat diintervensi pihak manapun, termasuk DPR. Persoalan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan merupakan bagian terpenting dari kewenangan KPK. Artinya, jika Komisi III DPR masuk pada persoalan substansi dan teknis penyidikan, baik pengembangan tersangka atau sejenisnya, maka Komisi III telah melakukan perbuatan yang melanggar independensi KPK. Atau dalam bahasa lain, DPR telah melakukan intervensi. Lain halnya jika KPK mengharapkan adanya dukungan politik dari DPR untuk memberantas korupsi, khususnya yang melibatkan anggota dewan itu sendiri.

Pasal 20 ayat (1) UU KPK menyebutkan: " Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan."

Pasal ini mengatur secara jelas, pertanggungjawaban KPK hanya dapat dilakukan secara terbuka. Selain dapat dianggap melanggar pasal 3 UU KPK, tindakan Komisi III DPR juga dinilai bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UU KPK.

Berdasarkan UU KPK tersebut secara jelas dinyatakan bahwa pertanggungjawaban KPK adalah menyampaikan laporannya kepada publik secara terbuka dan bukan semata segelintir anggota Komisi III DPR RI, dalam hal ini adalah Komisi III DPR RI. Karena bagaimanapun, anggota Komisi III DPR tidak dapat disebut sebagai perwakilan rakyat dalam pengertian sesungguhnya. Anggota Komisi III DPR adalah entitas politik yang memiliki kepentingan dan agenda tersendiri yang bisa atau bahkan sering keluar dari konteks kepentingan publik.

Kedua, Tindakan Komisi III DPR bertentangan dengan semangat UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Padahal UU baru saja dihasilkan oleh DPR itu sendiri. UU ini menyebutkan pada prinsipnya setiap informasi bisa diakses publik, kecuali yang bersifat sangat rahasia, seperti: data intelijen, data yang membahayakan keamanan negara, kebijakan moneter, nama dan identias pelapor yang wajib dilindungi, dan data teknis penyelidikan. Jika DPR beralasan bahwa rapat tertutup itu sesuai dengan Tata Tertib DPR, ada kelemahan mendasar dalam nomenklatur ini, yakni tiadanya syarat pengecualian yang secara rinci disebutkan sehingga tidak menimbulkan multitafsir.

Ketiga, alasan mengapa pertemuan dilakukan secara tertutup seperti untuk memahami kinerja lembaga itu lebih mendalam- merupakan alasan yang terkesan dicari-cari dan justru merusak citra DPR dimata publik. Diluar kasus korupsi yang tengah melilit para anggota dewan, Komisi III justru memperkeruh keadaan dengan mengadakan rapat tertutup dengan KPK.

Ada kesan yang timbul bahwa DPR melakukan intervensi terhadap proses penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK. Apalagi KPK sedang aktif menangkap dan memproses beberapa anggota DPR. Hal ini juga dapat menimbulkan kecurigaan dari masyarakat bahwa ada 'main mata' atau 'kongkalingkong' antara KPK dan Komisi III DPR dan dapat menjadi preseden buruk serta mengancam independensi KPK.

Di luar kasus Bulyan Royan, DPR juga menyoroti kasus aliran dana BI yang proses hukumnya belum selesai. Sejak awal tampak bahwa persoalan aktor/pelaku menjadi perhitungan sendiri dalam mengusut sebuah kasus korupsi. Dalam kasus aliran dana BI/YPPI, KPK masih sebatas menjerat lima orang, yakni Burhanudin Abdullah, Oey dan Rusli S dari kalangan BI, serta Hamka Yamdu dan Anthony dari DPR.

Padahal dokumen dan bukti yang ada, serta berbagai fakta yang berkembang dalam pemeriksaan para tersangka menunjukan masih ada aktor lain yang seharusnya ikut diseret KPK. Jika proses hukum tidak beranjak maju, ada kekhawatiran bahwa KPK telah terjebak pada penghukuman terbatas pada aktor-aktor yang tidak memiliki proteksi politik. Padahal konsep penegakan hukum hanya mengenal prinsip imparsialitas.

Oleh karena itu, kedepan pembahasan kebijakan publik yang melibatkan DPR dengan mitra kerjanya harus dilakukan secara terbuka. Parlemen sebagai penyusun UU KPK juga perlu menghormati independensi KPK sebagai lembaga penegak hukum. Sebaliknya, DPR sudah semestinya merubah paradigma dengan mengubah beberapa pasal dalam tata tertib DPR yang mengekang prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Hanya dengan cara-cara diatas DPR dapat dianggap memiliki kemauan politik dalam memberantas korupsi, sekaligus menyokong secara politik agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Bukan justru mengekangnya.

****

Adnan Topan Husodo

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

No comments: