Dalam politik, posisi uang teramat penting, tapi tidak menentukan. Ibarat pelumas mesin, uang adalah energi untuk menggerakkan partai. Tanpa uang, partai politik tidak akan berbuat banyak. Ini bukan kesimpulan yang bermakna rakus, akan tetapi sebuah realitas yang sudah diterima secara universal dalam dunia politik.
Walau begitu, berdemokrasi juga tidak harus menelan ongkos yang mahal. Demokrasi yang bergelimang uang adalah demokrasi yang tidak sehat. Demokrasi yang baik adalah ketika yang memiliki modal besar dengan yang pas-pasan dapat bersaing secara sehat. Di sini, aturan dalam kompetisi politik adalah masalahnya. Ketika kemenangan dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka aturan main dalam sistem demokrasi dapat dibeli.
Praktek beli suara, beli kursi, dan beli pengaruh dalam politik menjadikan uang bukan lagi sebagai penyokong, tetapi sudah menjadi persoalan besar. Pertautan kepentingan antara aktor politik dan pelaku ekonomi dimulai dengan praktek jual beli posisi. Aktor politik yang butuh kemenangan akan dipasok oleh pelaku ekonomi dengan jumlah dana yang biasanya tidak sedikit sebagai modal untuk berkompetisi.
Posisi politik yang telah direbut melalui pembelian suara (money politics) pada akhirnya akan dipakai untuk mengembalikan modal, sekaligus mengkapitalisasinya melalui instrumen kebijakan negara. Pada akhirnya, negara bukan lagi sebagai representasi dari kepentingan publik yang luas, tetapi mengerucut hanya sebatas sarana memperluas kekuasaan, baik politik maupun ekonomi. Tujuan akhirnya, kekuasaan politik yang telah diraih dapat dipertahankan, dan pada saat yang bersamaan, kekuasaan ekonomi mengalami ekspansi.
Masalahnya, kepentingan politik-bisnis yang mengendarai demokrasi prosedural (baca: pemilu) semakin kuat cengkeramannya dalam situasi masyarakat pemilihnya tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hanya dengan bergerak melalui penyebaran uang ke berbagai kelompok masyarakat yang rentan, kekuatan politik-bisnis dapat menguasai negara, dan mengendalikan kebijakannya.
Sayangnya, kelompok rentan masih dalam jumlah yang relatif besar, jika tidak bisa dibilang dominan. Cara-cara berpolitik yang tidak kreatif, miskin inovasi, tidak komunikatif dalam menyampaikan ide dan janji, dapat terus bertahan jika sisi permintaan (demand side) dari masyarakat tidak berubah. Partai politik dan politisinya tidak akan banyak melakukan kerja politik, kecuali sekadar menggelontorkan uang.
Meningkatkan Kualitas Permintaan
Analisis supply and demand interaction dalam ekonomi sebagai sarana menemukan titik kesetimbangan baru dapat digunakan dalam dunia politik. Ketika ada pembiaran, dan justru menganggap pemberi uang sebagai sinterklas yang datang pada saat kampanye dan pemilu, maka usaha untuk menempatkan demokrasi sebagai mekanisme sirkulasi kekuasaan yang sehat mendapatkan ancaman yang sesungguhnya.
Meningkatkan kualitas sisi permintaan dalam politik adalah proyek demokrasi yang mendesak. Pendidikan pemilih adalah salah satu cara yang diambil, tetapi merasionalkan pemilih butuh energi yang banyak dan usaha yang terus-menerus. Bukan hanya karena musuh dari demokrasi itu sendiri adalah uang, tetapi money politics adalah candu yang menciptakan halusinasi massal.
Selebihnya, pemilih harus belajar dari masa lalunya. Masa uji bagi penguasa baru yang dipilih melalui pemilu adalah lima tahun. Jika selama itu pemimpin yang diberi amanat tidak bijak dalam menjalankan tanggung jawabnya, maka candu money politics dapat digunakan untuk melupakannya, meski hanya sesaat. Mewaspadai datangnya candu ini sama pentingnya dengan mengingat kembali janji kampanye para politisi.
Hasilnya, demand side dalam politik sudah mulai bergerak, mulai menerjang kekuatan uang, sekaligus sejarah mesin politik. Makna filosofisnya, yang berpengalaman berkuasa belum tentu yang paling baik. Maka, di beberapa daerah di Indonesia, politisi incumbent kian banyak yang tumbang dalam pemilihan kepala daerah. Sampai Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla mengingatkan kepada para kadernya untuk mengubah cara-cara konvensional dalam menghadapi pemilihan kepala daerah.
Secara implisit, permintaan Kalla merupakan refleksi atas kegagalan Golkar dalam banyak pemilu daerah. Terakhir, yang menyesakkan, Golkar tumbang di Jawa Barat oleh koalisi PAN-PKS yang mengusung wajah-wajah muda sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Demikian juga halnya dengan kekalahan Golkar di Jawa Tengah. Padahal, Jawa Barat adalah lumbung suara bagi Golkar selama ini. Apakah ini artinya pemilih mulai bosan dengan gaya politik mesin kekuasaan tua? Bisa jadi kebosanan itu dipicu oleh tak kunjung datangnya perubahan yang diharapkan, sebagaimana ketika janji-janji kampanye diucapkan.
Pada konteks ini, uang tidak lagi memiliki daya yang cukup untuk memenuhi hasrat berkuasa. Jika benar klaim Ahmad Heryawan-Dede Yusuf bahwa mereka hanya mengeluarkan anggaran tak lebih dari Rp 800 juta, maka jalan untuk memulai berdemokrasi secara lebih murah telah dibuka. Lantas, kekuatan apa yang dapat menandingi uang dalam pemilu?
Barangkali kerja politik yang terus menerus adalah kuncinya. Semangat untuk memobilisasi pemilih merupakan cermin dari kuatnya ideologi partai politik yang menancap dalam sanubari pendukungnya. Sumbangan sukarela dari pendukung partai dan kandidat telah memperkuat infrastruktur partai politik itu sendiri.
Sebaliknya, uang yang telah lama menjadi model konvensional pemenangan pemilu telah merusak ideologi partai. Pembelian suara mendorong motivasi berpolitik sekadar untuk mendapatkan keuntungan dan malas menjalankan kerja politik. Pendukung partai pada akhirnya juga mengalami demoralisasi. Korupsi kemudian menjadi praktek yang biasa terjadi dalam membelanjakan dana politik.
Adnan Topan Husodo, Koordinator Departemen Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Disalin dari Koran Tempo, 8 Juli 2008
No comments:
Post a Comment