Sudah ada delapan anggota parlemen berlatar partai politik berbeda diproses secara hukum oleh KPK karena terlibat korupsi. Belum lagi anggota-anggota DPR yang muncul dalam proses hukum kasus korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan terpidana Rokhmin Dahuri yang kini tidak ditindaklanjuti KPK. Selain itu, kasus aliran dana Bank Indonesia yang sedang diproses KPK juga membuka deretan nama anggota DPR yang diduga kecipratan dana haram itu. Setidaknya demikian dokumen pemeriksaan tersangka Hamka Yamdu menyebutkan.
Meskipun kian banyak anggota DPR yang tertangkap tangan menerima uang haram, tetapi kondisi ini masih dipandang sebagai puncak gunung es dari korupsi yang sebenarnya terjadi di parlemen. Pasalnya, hampir pada semua kewenangan DPR, baik pada konteks pengawasan, penganggaran, maupun legislasi, semua rawan praktik korupsi.
Survei korupsi yang dilansir Transparency Internasional Indonesia menyebutkan, parlemen dan partai politik adalah lembaga paling korup sejak dua tahun berturut-turut.
Akar masalah korupsi
Pertanyaannya, apa akar masalah korupsi di parlemen? Mengapa parlemen yang lahir dari pemilu yang demokratis justru menjadi aktor utama korupsi? Jawabannya dapat ditemukan pada beberapa hal berikut.
Pertama, akuntabilitas politik DPR amat rendah. Hampir tidak ada mekanisme yang dapat menjamin akuntabilitas politik itu dijalankan. Saat ini, pertanggungjawaban kerja parlemen hanya sebatas laporan lima tahun yang dibuat satu kali menjelang masa jabatan mereka berakhir.
Dari sisi akuntabilitas anggaran, memang ada audit reguler yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi korupsi di parlemen justru tidak terlalu banyak terjadi pada wilayah anggaran mereka sendiri. Wilayah kerja korupsi parlemen lebih banyak dilakukan pada perdagangan kekuasaan dan wewenang, baik dalam fungsi pengawasan, penganggaran, maupun legislasi. Sayang, pada titik ini, justru parlemen tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
Kedua, mekanisme perekrutan politik di internal partai politik yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang. Kader yang bagus, memiliki integritas tinggi, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, kecil kemungkinan mendapat tempat. Sebaliknya, kader-kader yang buruk integritasnya, tetapi memiliki akses luas terhadap uang dan elite partai, akan menjadi calon kuat. Loyalitas antara partai politik dan kadernya diikat uang.
Ketiga, mahalnya ongkos politik. Bagi politisi yang kemudian menjadi pejabat publik dan menguasai sumber daya ekonomi, pertama-tama yang dilakukan adalah mengembalikan investasi politik yang telah dikeluarkan untuk menjadi pejabat publik, lalu menggunakan sumber daya publik yang dikuasai untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan. Maka, di sini korupsi menjadi mata rantai yang sulit diputus karena sudah dimulai sejak ranah partai politik.
Perbaikan jangka pendek
Karena itu, guna menghindari korupsi yang kian sistemik di parlemen, dalam jangka pendek, upaya perbaikan harus segera dilakukan.
Pertama, Ketua DPR dan jajaran elite di DPR tidak bisa tinggal diam dengan rentetan kejadian penangkapan anggota DPR. Tanggung jawab DPR secara kelembagaan adalah menciptakan sistem integritas untuk mengurangi korupsi yang terjadi. Karena itu, menerapkan sistem integritas menjadi suatu hal yang tidak lagi bisa ditawar-tawar untuk menciptakan pembaruan pada sistem kelembagaan parlemen sehingga memungkinkan terjadinya check and balances. Kekuasaan yang begitu besar di DPR tanpa diimbangi mekanisme akuntabilitas politik yang memadai telah membuka peluang terjadinya korupsi yang kian gawat.
Kedua, DPR harus lebih ketat merumuskan kode etik parlemen dengan sanksi dan mekanisme pemberian sanksi yang lebih efektif guna mengurangi perilaku menyimpang anggota DPR, sekaligus memberi efek jera. Akan amat sulit hanya mengandalkan KPK untuk memperbaiki kondisi di parlemen. Karena itu, mekanisme internal parlemen perlu didesain ulang untuk mendeteksi pelanggaran etik secara aktif.
Ketiga, menjelang Pemilu 2009, partai politik peserta pemilu harus merombak sistem perekrutan calon anggota legislatif dengan menempatkan integritas, kualitas, dan profesionalitas sebagai parameter utama. Para kader partai yang terlibat korupsi dan kejahatan lain diharapkan tidak dicalonkan lagi guna menghindari korupsi berkelanjutan di parlemen.
Adnan Topan Husodo Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Disalin dari harian Kompas, 8 Juli 2008
No comments:
Post a Comment