Friday, February 12, 2010

Menggaji Pejabat secara Adil

DALAM kurun waktu 2009 dan awal 2010, pemerintah berturut-turut menggagas program yang sangat tidak populis. Mulai pembelian mobil dinas mewah bagi para pejabat negara, rencana pembelian pesawat kepresidenan, renovasi pagar istana, hingga yang terakhir, ide menambah kocek pejabat publik kita melalui kebijakan menaikkan gaji pejabat negara.

Meskipun usul kenaikan gaji 20 persen belum diimplementasikan, tekad menambah pundi-pundi bagi pejabat negara itu sepertinya belum surut. Ini mengingat hingga kini Presiden SBY tak pernah menginstruksikan adanya penundaan atau pembatalan. Artinya, kemungkinan urungnya rencana menaikkan gaji pejabat tinggi yang santer beberapa waktu lalu merupakan strategi untuk meredam kritik publik. Jika sorotan publik atas usul itu mereda, sangat mungkin eksekusi kenaikan gaji akan dilakukan.

Disinformasi Publik

Alasan utama pemerintah merencanakan kenaikan gaji bagi pejabat publik hingga 20 persen adalah soal rendahnya jumlah gaji pokok yang diterima. Bahkan, SBY sendiri berujar, sudah lima tahun gaji dirinya dan para menteri tidak pernah naik.

Disebutkan, kenaikan gaji untuk pejabat itu untuk mengurangi korupsi. Sesungguhnya antara korupsi dan rendahnya gaji pejabat negara tidak memiliki hubungan yang kasualistik. Pasalnya, motif korupsi pejabat negara lebih karena faktor greed atau keserakahan, dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan pegawai rendahan.

Jika alasannya gaji pejabat negara di Indonesia masih rendah, pertanyaannya, apakah yang diterima pejabat negara setiap bulan hanyalah gaji semata? Lalu, bagaimana pendapatan lain-lain yang secara rutin diterima oleh mereka? Pada titik ini, pemerintah sepertinya tidak jujur dalam menyampaikan informasi.

Meskipun yang disampaikan pemerintah hanyalah usul kenaikan gaji pokok, dalam sistem hitungan penggajian di mana pun, kenaikan gaji pokok akan membawa konsekuensi pada naiknya tunjangan, baik tunjangan jabatan maupun tunjangan fungsional. Ini artinya, yang akan dinaikkan oleh pemerintah sebenarnya adalah seluruh penerimaan bagi pejabat negara, bukan semata-mata gaji pokoknya.

Demikian halnya, secara etis, pejabat yang berkuasa tidak diperbolehkan mengeluarkan kebijakan menaikkan gaji untuk dirinya sendiri. Jika Presiden SBY beralasan bahwa gajinya sudah tidak naik dalam kurun waktu 5 tahun, dalam negara yang sudah mengadopsi nilai-nilai atau aturan mengenai konflik kepentingan, justru terdapat larangan bagi pejabat yang bersangkutan untuk membuat kebijakan yang memberikan keuntungan ekonomi bagi diri sendiri. Jika pun ada rencana kenaikan gaji, pejabat sebelumnyalah yang menyusun dan mengesahkan.

Pendapatan Lain-Lain

Hitung-hitungan kasar ICW menyimpulkan bahwa meskipun jumlah gaji pokok pejabat negara dikategorikan kecil, sumber-sumber income lain sangatlah besar. Untuk satu bulan saja, seorang menteri bisa menikmati tak kurang Rp 140 juta dana kerumahtanggaan yang diperoleh dari berbagai alokasi, baik yang resmi maupun yang abu-abu (grey area).

Ambil contoh menteri dalam negeri yang bisa menggunakan dana taktis dari sumber upah pungut secara bebas dan tanpa disertai pertanggungjawaban pengeluaran yang otentik. Demikian halnya temuan ICW 2008 dalam kasus penerimaan tak resmi menteri agama dari sumber Dana Abadi Umat (DAU) dan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) senilai Rp 700 juta.

Sumber di atas belum termasuk dana operasional para menteri yang secara resmi memang dilegalkan oleh peraturan atau keputusan menteri keuangan. Artinya, jika pemerintah menghendaki perbaikan pada sistem penggajian pejabat publik, sisi-sisi gelap penerimaan pejabat publik terlebih dahulu harus diungkap dan dibenahi.

Langkah Penting Pemerintah

Oleh karena itu, wacana menaikkan gaji pejabat negara harus diletakkan dalam kerangka reformasi birokrasi. Artinya, dengan memperbaiki sistem penggajian pejabat publik, diharapkan pendekatan dalam menaikkan gaji pejabat publik akan lebih komprehensif. Demikian pula, akan tercapai sebuah pengelolaan anggaran yang efisien, efektif, transparan, serta akuntabel.

Jika pemerintah ingin menaikkan gaji pejabat publik, perlu diambil langkah untuk mengkaji secara lebih mendalam sumber-sumber penerimaan yang selama ini dinikmati secara leluasa oleh para pejabat negara dan memberikan kontribusi bagi bocornya anggaran negara atau rendahnya tingkat penerimaan pendapatan negara. Daftar penerimaan abu-abu dan ilegal itu harus secepatnya ditutup dengan aturan tegas melalui larangan menerima dan sanksi bagi yang sengaja menerima/menggunakannya.

Setelah itu, pemerintah dapat menyusun langkah memperbaiki sistem penggajian dengan berlandaskan pada tiga komponen penting, yakni penerimaan pokok, penerimaan tunjangan atas dasar tingkat tanggung jawab, dan penerimaan tunjangan atas dasar kinerja. Pemerintah tidak bisa lagi menerapkan sistem tradisional penggajian yang hanya mengedepankan aspek senioritas. Maksudnya, semakin senior seorang pejabat negara, semakin tinggi pendapatannya.

Dengan tiga komponen dasar penggajian di atas, konsep perbaikan pendapatan bagi pejabat publik diselaraskan dengan tujuan mendorong peningkatan kinerja dan output kerja. Dengan demikian, naik tidaknya dan besar kecilnya pendapatan yang diterima pejabat negara tidak lagi ditentukan oleh sebuah dasar yang tidak jelas, melainkan diletakkan dalam kerangka membangun birokrasi yang efesien, efektif, dan profesional. (*)

*). Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Tulisan disalin dari harian Jawa Pos, 10 Februari 2010

Mentradisikan Upeti Pejabat

Ketika Gamawan Fauzi, menteri dalam negeri, menegaskan bahwa honor yang diterima oleh para kepala daerah dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) merupakan hal yang wajar dan sah, penulis sama sekali tidak percaya.

Pasalnya, Gawaman Fauzi adalah sosok yang selama ini dikenal luas sebagai seorang mantan bupati Solok berprestasi, terutama dalam bidang pembenahan birokrasi.
Penulis masih ingat dalam sebuah kunjungan singkat ke Kabupaten Solok, salah satu hal yang menjadi program unggulan Gamawan adalah pemangkasan honorarium pejabat publik di luar pendapatan gaji resmi. Untuk menyeimbangkan kebijakan, Gamawan lantas menaikkan gaji pegawai negeri di sana di atas rata-rata. Para pegawai juga diminta menandatangani pakta integritas yang isinya kurang lebih bersedia dipecat jika masih melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Mungkin seperti kata orang, lain ladang lain belalang, lain tempat lain pula sikap. Bahkan, seorang teman sampai berseloroh, barangkali pada saat menjadi Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi juga menerima honor dari BPD Sumbar. Makanya, pernyataannya di media belakangan memberikan lampu hijau atas kebijakan pemberian honor bagi kepala daerah. Ingin rasanya seloroh nakal ini bisa langsung disampaikan ke yang bersangkutan.

Tak bisa kita bayangkan, jika pemberian honorarium bagi kepala daerah menggunakan dalih sebagai penanggung jawab pengelolaan keuangan daerah, berapa BUMD di satu kabupaten/kota/provinsi yang bisa memberikan honor serupa kepada kepala daerah bersangkutan sebagai komisaris. Meskipun diatur bahwa besaran honorarium hanya sekitar Rp 2 juta, tetapi jika semua BUMD juga menyediakan alokasi honorarium yang nilainya sama, tak terbayangkan berapa jumlah yang bisa diterima oleh kepala daerah setiap bulannya di luar gaji resmi. Padahal di luar itu, kepala daerah masih ditunjang oleh dana operasional dari APBD untuk menjalankan tugasnya dengan nilai yang tak kalah besar.

Konflik Kepentingan

Logika dasar dari seorang pejabat publik yang ditunjuk atau dipilih oleh rakyat secara langsung adalah mengelola sumber daya untuk diberdayakan secara maksimal bagi kepentingan publik. Oleh karena itu, pejabat publik atau pegawai negeri mendapatkan gaji atau pendapatan setiap bulan yang bersumber dari anggaran negara/daerah. Jika gaji resmi sudah dialokasikan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai pejabat publik atau pegawai negeri, tentu akan menjadi ganjil jika pejabat terkait masih bisa memperoleh sumber-sumber pendapatan dalam bentuk honorarium atau 'fee'.

Harus diingat bahwa dalam mengelola sumber daya publik, melekat di dalamnya kekuasaan yang sewaktu-watu bisa disalahgunakan. Oleh karena itu, sebuah aturan yang secara resmi telah disahkan untuk memberikan legitimasi atas pemberian sesuatu bagi pejabat publik bukan berarti lantas dianggap legal.

Ingat contoh kasus upah pungut yang sekarang masih diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaimana seorang menteri dalam negeri mengeluarkan keputusan untuk menarik upah dari kegiatan pemungutan pajak yang sebagian dari upah pungut itu juga dialokasikan untuk dirinya sendiri selaku menteri.

Kita mesti ingat dengan kecenderungan korupsi yang dilegalkan. Artinya, seorang pejabat publik dengan kekuasaan yang dimilikinya bisa menciptakan sedemikian rupa aturan yang menguntungkan dirinya sendiri atau keluarganya sehingga seolah-olah semua yang dinikmatinya adalah sah menurut hukum. Ini tentu saja pandangan yang menyesatkan mengingat situasi itu mengarah pada konflik kepentingan.

Secara umum, konflik kepentingan terbagi ke dalam dua level, yakni konflik kepentingan yang potensial dan konflik kepentingan yang aktual. Pengertiannya, konflik kepentingan yang potensial terjadi ketika seorang pejabat publik mengambil sebuah tindakan/kebijakan yang dapat memberikan pengaruh finansial kepada dirinya, keluarga, ataupun kegiatan usaha yang berhubungan dengan dirinya. Sementara, konflik kepentingan yang aktual terjadi ketika seorang pejabat publik mengambil sebuah kebijakan/keputusan yang akan memberikan pengaruh finansial bagi dirinya, keluarga, ataupun kegiatan usaha yang terkait atau terafilisasi dengan dirinya.

Dengan demikian, pengambilan keputusan atau kebijakan oleh pejabat publik harus sedemikian rupa tidak boleh mengandung dimensi keuntungan bagi dirinya sendiri ataupun lingkarannya. Inilah hal tersulit dalam konteks memberantas korupsi mengingat wilayah ini justru sering kali dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan material tanpa harus distempel sebagai seorang koruptor.

Aturan Tegas

Argumentasi mendagri bahwa larangan penerimaan honorarium bagi kepala daerah atau pejabat publik pada umumnya justru kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi perlu dicermati lebih jauh. Jika logikanya penghapusan honorarium akan meningkatkan penerimaan di bawah meja atau ilegal, sebenarnya tanpa harus dihapus pun, di luar honorarium, pejabat publik kita kerap menerima sesuatu yang ilegal. Oleh karena itu, mereka lebih suka menyembunyikan aktual kekayaan yang dimiliki ketimbang melaporkannya dalam LHKPN mengingat akan sulit menjelaskan dari mana asal muasal kekayaan itu diperoleh.

Logika pengaturan bagi pejabat publik tidak bisa disamakan dengan logika pengaturan bagi pegawai negeri yang berkategori kecil. Bagi pejabat publik, nilai seberapa pun gaji tak secara otomatis memutus mata rantai korupsinya.

Hal ini mengingat pejabat publik, apalagi yang mendapatkan kekuasaannya karena melalui proses pemilihan seperti kepala daerah, membutuhkan sumber daya terus-menerus untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya. Berbeda halnya dengan pegawai negeri rendahan yang mencari sumber-sumber penerimaan alternatif karena minimnya gaji resmi yang mereka terima.

Oleh karena itu, menyelesaikan persoalan honorarium harus dimulai dengan perumusan aturan tegas mengenai hal ini. Jika kita coba bandingkan dengan aturan mengenai konflik kepentingan secara umum, honorarium bagi pejabat publik, apalagi yang dipilih melalui pemilu adalah larangan. Bahkan, di hampir sebagian negara bagian di Amerika Serikat, misalnya, menerima honorarium dari penulisan artikel atau sebagai narasumber pun dilarang. Aturan semacam ini diarahkan untuk mendorong pejabat publik yang memiliki nilai-nilai integritas dan akuntabilitas, serta menghindari terjadinya konflik kepentingan, baik yang laten mapun aktual.

Langkah KPK untuk membenahi republik ini perlu didukung, bukan justru ditentang. Membuat mekanisme yang lebih baik bagi sistem remunerasi bagi pegawai negeri merupakan langkah yang lebih elegan dibandingkan memperbolehkan para pejabat publik kita tetap menerima sesuatu, baik dalam bentuk honor maupun 'fee'.

Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator ICW

Tulisan disalin dari harian Republika, 10 Februari 2010

Mencegah Pembusukan KPK

“Kemesraan”FerryWibisono, Direktur Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan Wisnu Subroto, mantan Jamintel Kejaksaan Agung RI yang juga saksi dalam kasus Anggodo, di lift KPK mungkin tak akan pernah terungkap di muka publik seandainya mereka berdua tidak tepergok oleh salah satu anggota ICW.

Karena tertangkap basah itulah ihwal pertemuan keduanya menjadi persoalan besar yang berujung pada tuntutan pemecatan Ferry. Desakan publik itu sebenarnya lumrah karena KPK merupakan lembaga penegak hukum yang harus menjunjung tinggi etika pegawai dan pimpinannya.Di lain pihak, kewenangan besar KPK akan sangat mungkin disalahgunakan oleh para pejabatnya jika kejadian yang sarat dengan pelanggaran kode etik tidak disikapi secara memadai. Pemakluman,apalagi sekadar ucapan maaf yang keluar dari mulut pejabat KPK yang tertangkap basah melakukan pelanggaran kode etik,merupakan sinyal merah bagi integritas KPK secara keseluruhan.

Dari kacamata kode etik yang mengatur sikap dan perilaku pegawai dan pimpinan KPK,ada satu pasal yang menyebutkan bahwa pegawai KPK dilarang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan terdakwa, tersangka atau calon tersangka atau keluarganya atau pihak lain yang terkait, yang penanganan kasusnya sedang diproses KPK, kecuali pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah jabatan. Membaca kasus Ferry, jelas bahwa pelanggaran kode etik ini telah terjadi, sekurang-kurangnya jika dilihat dari dua hal. Pertama, Ferry bukanlah pegawai yang karena jabatannya ditugasi untuk menangani kasus tersebut.

Jabatan Ferry sebagai Direktur Penuntutan KPK tidak ada kaitan sama sekali dengan kasus suap yang dilakukan tersangka Anggodo di mana Wisnu juga diduga keras terseret. Dalam konteks itulah KPK memanggil Wisnu sebagai saksi terkait dengan kasus suap Anggodo. Dalam posisi Ferry sebagai pejabat di KPK, pertemuan yang akrab di lift KPK dengan saksi kasus suap membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya pembocoran informasi penyelidikan. Kedua, pertemuan antara Ferry selaku pejabat KPK yang tidak melekat mandat pada dirinya dengan Wisnu selaku saksi yang sangat mungkin bisa menjadi tersangka dalam sebuah proses penanganan kasus yang tengah ditangani KPK bisa dianggap telah melecehkan aturan main yang selama ini diterapkan.

Perlakuan khusus kepada seorang saksi oleh pejabat KPK merefleksikan pengabaian yang luar biasa atas kode etik yang mengikat bagi semua orang yang bekerja di KPK. Pertanyaannya, apakah baru sekali ini saja Ferry memberikan keistimewaan kepada saksi atau pihak yang terkait dengan kasus yang sedang ditangani KPK? Berikutnya, bagaimana jika keakraban Ferry dengan Wisnu tidak diketahui sama sekali oleh publik meskipun hal itu terjadi di Kantor KPK? Jika kedua pertanyaan di atas hanya diselesaikan dengan ucapan minta maaf, bisa disimpulkan pimpinan KPK telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.

Ironi

Sebenarnya dugaan terjadinya pelanggaran kode etik di KPK bukan kali ini saja terjadi.Pada saat Antasari Azhar menjadi Ketua KPK,ICW bahkan menemukan paling tidak 17 dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukannya.Kasus itu sendiri telah dilaporkan kepada pimpinan KPK sejak Agustus 2009. Akan tetapi, hingga hari ini tidak ada keputusan apa pun di tingkat pimpinan KPK untuk mengusut dan memberikan penalti atas dugaan pelanggaran tersebut.

Munculnya kasus serupa dalam konteks pertemuan Ferry dengan Wisnu bisa dianggap merupakan bentuk pengingkaran yang mulai ditunjukkan pegawai KPK lantaran lunaknya pimpinan KPK dalam mengambil keputusan. Logikanya mudah, seketat apa pun aturan kode etik itu dibuat,tetapi jika dalam tingkat pengusutan dan pemberian sanksi tidak pernah tegas,kode etik itu hanya akan menjadi teks biasa yang tidak lagi menakutkan. Hal ini sekaligus memunculkan ironi karena pada saat yang bersamaan, pimpinan KPK menggembor- gemborkan prinsip etik yang lain.

Menolak dijemput dalam sebuah undangan pertemuan, tidak minum air dari panitia acara, menolak pemberian suvenir atau buah tangan yang nilainya sangat kecil adalah beberapa contoh sikap disiplin yang sering mencengangkan publik. Pasalnya, publik merasa bahwa KPK memang benarbenar memiliki aturan yang sangat ketat. Akan tetapi hal yang dianggap luar biasa oleh publik itu menjadi tidak ada artinya sama sekali jika dalam kasus yang lebih membahayakan KPK, dalam bobot pelanggaran kode etik yang lebih berat, pimpinan KPK justru lembek dalam mengambil keputusan. Atau jangan-jangan, pimpinan KPK selama ini sekadar tebar pesona belaka supaya publik yakin bahwa di KPK tidak ada pelanggaran kode etik yang dimaklumi.

No Tolerance Zone

Mengambil sikap yang tegas atas kesalahan yang tidak disengaja pun akan lebih baik daripada memberikan peluang bagi terulangnya kasus serupa. Oleh karena itu,sangat penting bagi pimpinan KPK untuk menegakkan no tolerance zone bagi tumbuhnya bibit-bibit pembangkangan,penistaan, pengabaian,dan penghancuran atas integritas KPK. Keliru besar jika pimpinan KPK menganggap bahwa apa yang terjadi dalam kasus Ferry dan Wisnu merupakan bentuk kesalahan ringan.

Kesalahan dalam memberikan respons akan membuka celah bagi terjadinya pembusukan di KPK. Bagaimana mungkin jika pegawai yang satu sangat diminta untuk mematuhi semua kode etik, termasuk untuk hal-hal yang sederhana, tetapi pada saat yang lain pejabat KPK yang sangat telak melakukan pelanggaran kode etik berat justru dimaafkan? Pimpinan KPK perlu menyadari bahwa pemakluman bukan hanya akan menjatuhkan disiplin pegawai KPK, tetapi merendahkan kewibawaan pimpinan KPK sebagai representasi KPK secara kelembagaan. KPK telanjur menjadi idola publik di Indonesia. Kinerjanya dalam memberantas korupsi telah diacungi jempol oleh berbagai kalangan, termasuk warga dunia.

Bahkan KPK juga dijadikan model bagi negara-negara Asia lain yang ingin memberantas korupsi secara lebih baik. Demikian pula rasa cinta publik Indonesia terhadap KPK ditunjukkan dalam berbagai bentuk. Demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah atas kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK memberikan bukti yang sangat konkret betapa rindunya masyarakat Indonesia terhadap lembaga semacam ini. Pimpinan KPK mungkin perlu mempertimbangkan dengan sangat matang dalam mengambil keputusan terhadap kasus Ferry. Publik hanya meminta sikap tegas dari pimpinan KPK untuk mengembalikan Ferry ke tempat asalnya di Kejaksaan Agung RI.

Akan menjadi persoalan besar jika sikap pimpinan KPK justru ambigu dan ragu-ragu karena hal ini hanya akan menyakiti rasa cinta publik kepada KPK. Membiarkan duri tumbuh dalam daging berarti membiarkan KPK busuk secara perlahan-lahan. Harus disadari bahwa ancaman terhadap KPK bukan hanya dari luar, tetapi juga datang dari diri mereka sendiri.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)


Tulisan disalin dari Harian Seputar Indonesia, 13 Februari 2010