Tuesday, April 28, 2009

Menghukum Caleg Bermasalah

Mulusnya pelaksanaan pemilu, sejak dilakukan pertama kalinya secara demokratis pada tahun 1999 telah membuka harapan baru bagi terciptanya sirkulasi politik yang lebih sehat. Bahkan lima tahun setelahnya, Indonesia melakukan lompatan besar dalam berdemokrasi.

Pemilu 2004 dilakukan dengan mekanisme yang lebih menjamin kekuatan mandat politik melalui pemilihan langsung, baik dalam pemilihan calon presiden dan wakilnya, maupun proporsional terbuka bagi calon anggota parlemen. Sementara pada pemilu 2009 ini, kemajuan makin pesat tatkala proporsional murni diterapkan untuk menentukan caleg terpilih melalui suara terbanyak.

Yang perlu diingat, pemilu sebenarnya hanyalah salah satu alat untuk menilai demokratis atau tidaknya kekuasaan yang lahir. Demokrasi itu pada dasarnya memiliki makna yang lebih dalam, bukan sekedar prosedur memilih pejabat publik belaka. Bahwa hasil pemilu akan legitimate jika ada jaminan sistem yang demokratis, akan tetapi demokrasi itu sendiri bukanlah melulu hanya soal pemilu.

Cita-cita demokrasi adalah memberikan peluang yang lebih baik bagi mayoritas warga negaranya untuk mendapatkan hidup dan sumber penghidupan yang lebih baik, meningkatkan kesejahteraannya menuju masyarakat yang adil dan makmur. Demokrasi juga berarti adanya jaminan perlindungan sosial dari negara terhadap kemungkinan pelanggaran hak-hak asasi dasar warganya (Thomas Meyer, 2005). Makna luhur demokrasi inilah yang masih harus digali di Indonesia.

Pencarian terhadap esensi demokrasi itu menjadi sangat penting karena dalam kehidupan berpolitik yang diklaim sudah demokratis seperti sekarang, banyak fakta yang ironis kita temukan. Penduduk berkategori miskin semakin meningkat, angka pengangguran kian tinggi, kualitas lingkungan dan ekosistem sebagai penyangga kehidupan warga negaranya terus memburuk, korupsi politik merajalela, aksi kekerasan antar kelompok kian menguat (primordialisme) dan persatuan-kesatuan bangsa tambah pudar. Demokrasi (baca: pemilu) nyatanya tidak dengan sendirinya membawa harapan yang lebih baik.

Hal ini tentu saja bisa dipahami karena diluar mekanisme sirkulasi kekuasaan melalui pemilu dan pengakuan negara atas hak berpolitik warga negaranya melalui lembaga politik semisal mendirikan partai politik, aktor politik adalah sisi yang sangat menentukan. Oleh karenanya, demokrasi bukanlah sebuah nilai yang paripurna, akan tetapi harus dihidupkan oleh para pelakunya.

Istilah pembajakan demokrasi merupakan sebuah petunjuk bahwa ada yang tidak beres dengan para aktor politik di negeri ini (Demos, 2005). Jika benar demokrasi telah dibajak, maka gugur anggapan bahwa bangsa ini sedang dinahkodai oleh para abdi negara yang akan membawa kapal besar bernama Indonesia menuju kesejahteraan. Seperti tragedi kapal Titanic, kapal yang megah, besar, tapi tenggelam dihantam gumpalan es, jika tidak diselamatkan, Indonesia mungkin juga akan karam selama-lamanya.

Hamka Yamdhu, Al Amin Nasution, Anthony Zedra Abidin, Yusuf Emir Faisal, Sarjan Taher, Bulyan Royan dan Abdul Hadi Djamal adalah contoh nakhoda yang buruk. Mereka telah mengkhianati amanat rakyat yang diberikan pada Pemilu 2004 karena justru ditangkap KPK karena diduga menerima suap atau melakukan korupsi.

Orang-orang semacam itu bukanlah yang kita butuhkan. Mereka sudah tidak layak untuk menjadi wakil rakyat. Bahkan untuk menjadi pejabat publik yang tanpa melalui proses pemilihan umum-pun sudah tak berhak. Mereka dapat disejajarkan dengan maling ayam, maling ternak atau maling motor, bahkan derajatnya lebih rendah lagi.

Karena ulah mereka, politik selalu dianggap kotor, korup dan penuh kebusukan. Padahal politik adalah jalan mulia untuk melakukan banyak hal bagi bangsa ini. Dengan politik, kebijakan publik yang menghamba pada kepentingan rakyat dapat didorong. Melalui politik, kepentingan bangsa dan masyarakat dapat dilindungi.

Akan tetapi, dengan situasi seperti sekarang, bisa jadi pemimpin yang diam-diam bermasalah juga masih banyak yang bertengger di singgasana kekuasaan dan ingin lagi menjadi penguasa pada Pemilu 2009 ini. Puluhan ribu caleg tengah berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati pemilih. Jalan pintaspun dilakukan, mulai dari jual sabu-sabu, merampok, menipu, memalsukan dokumen negara, menyuap dan sebagainya.

Calon pemimpin dengan mentalitas korup semacam itu harus dicegah menjadi penguasa. Kita jangan lagi memberikan kesempatan bagi pemimpin kotor untuk menjabat dan mewakili kepentingan masyarakat luas. Sudah dipastikan, jika calon-calon legislatif dengan kriteria diatas yang berkuasa kelak, masyarakat akan menderita selama lima tahun kedepan.

Masalahnya barangkali bukan karena kita salah memilih. Tapi terlalu sedikit ketersediaan calon pemimpin yang baik. Mereka yang jujur, tanpa pamrih, melekat jiwa nasionalisme yang kuat dan hidup matinya demi Indonesia justru alergi untuk dipilih menjadi pemimpin. Bukan karena tidak bersedia, tapi jalan menuju kursi itu terlalu kotor, mahal dan sulit. Hingga hanya sedikit dari mereka yang mau menempuh jalan tersebut.

Oleh karena itu, yang sedikit itulah yang benar-benar harus ditemukan. Rekam jejaknya perlu dibeberkan, tindak tanduknya penting untuk dicatat, janji-janjinya harus diingat dalam-dalam, supaya ketika pemilu 2009 tiba, kita dapat memilih pemimpin yang tepat. Kita harus mulai menjadikan pemilu sebagai alat untuk menghukum para politisi yang telah menunggangi demokrasi untuk kepentingan dirinya sendiri.

Almarhum Harry Roesli telah mengingatkan kita, sebagaimana dalam syair lagunya yang dinyanyikan pada deklarasi Gerakan Nasional Jangan Pilih Politisi Busuk tahun 2004, “jangan-jangan pilih mereka, yang merampok uang negara, jangan-jangan pilih mereka, berpolitik untuk korupsi, ambil saja uang mereka, tapi jangan pilih mereka, (lebih baik) jangan ambil uang mereka, tapi jangan pilih mereka.”

****

Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 9 April 2009

No comments: