Tuesday, April 28, 2009

Membatasi Dana Kampanye Tanpa batas

Kejengkelan publik atas kinerja KPU yang payah dalam melaksanakan tiap tahapan pemilu bertambah satu. Setelah sebelumnya KPU lamban dalam memberikan pinalti kepada peserta pemilu yang tidak menyerahkan laporan rekening khusus dana kampanye dan saldo awal dana kampanye hingga batas waktu yang telah ditentukan, KPU membuat blunder baru, yakni mengeluarkan Peraturan KPU No 22/1999 tentang pedoman Audit Laporan Dana Kampanye dan Surat Edaran 612/KPU/III/2009 tentang Penjelasan Teknis Peraturan KPU No 1/2009.

Secara kronologis, masalah muncul setelah pada tanggal 25 Maret dan 27 Maret 2009, KPU diam-diam menerbitkan peraturan dan surat edaran baru. Kedua produk hukum KPU tersebut ditujukan bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) yang akan mengaudit laporan dana kampanye dan seluruh pimpinan Partai Politik tingkat pusat, KPUD Propinsi dan KPUD kabupaten/kota sebagai pegangan dalam melaporkan dan melakukan audit. Anehnya kemudian, peserta perorangan calon anggota DPD tidak diberikan informasi serupa, padahal calon DPD juga wajib melaporkan dana kampanye mereka.

Hasil bacaan terhadap peraturan dan surat edaran tersebut, ditemukan beberapa pengaturan yang materinya sangat membahayakan, terutama dari sisi akuntabilitas dana kampanye. Dalam lampiran A huruf 9 Peraturan 22/2009, disebutkan bahwa “jumlah sumbangan untuk setiap nama penyumbang untuk setiap transaksi sumbangan tidak boleh melebihi ketentuan pasal 131 dan 133 UU No 10 Tahun 2008.”

Demikian halnya dalam Surat Edaran 612, yakni pada poin 4 huruf f yang menyebutkan bahwa “batasan sumbangan maksimal dana kampanye, baik untuk individu maupun badan usaha sebagaimana diatur dalam UU No 10 Tahun 2008 pasal 131 dan 133 berlaku untuk sumbangan per transaksi, bukan batasan sumbangan maksimal secara akumulasi.”

Dari pengertian diatas, bisa diterjemahkan jika batasan maksimal sumbangan dana kampanye peserta pemilu berlaku untuk setiap kali transaksi. Diasumsikan, jika terdapat penyumbang individu ataupun badan usaha yang menyumbang hingga sejuta kali, sepanjang setiap kali transaksi sumbangan nilainya tidak melebihi dari Rp 1miliar (pasal 131ayat (1) UU 10/2008) atau Rp 5 miliar (pasal 131 ayat (2) UU 10/2008), menurut KPU hal itu adalah sah. Pengertian ini juga berlaku bagi sumbangan dana kampanye calon DPD sebagaimana diatur dalam pasal 133 ayat 1 dan ayat 2 UU yang sama.

Penafsiran KPU terhadap pengaturan batas maksimal sumbangan dana kampanye pada pasal 131 dan pasal 133 UU 10/2008 teramat konyol karena yang sebenarnya dimaksud UU adalah batas maksimal yang bersifat akumulatif. Seharusnya KPU melihat bahwa tujuan pembatasan sumbangan dana kampanye adalah untuk menciptakan iklim kompetisi pemilu yang lebih adil bagi setiap peserta pemilu.

Pengertian baru yang bertolakbelakang dengan maksud pasal 131 dan 133 bisa dipastikan membawa komplikasi yang memperburuk kualitas penyelenggaraan pemilu. Jika batas maksimal sumbangan dana kampanye berlaku tiap kali transaksi, maka sudah bisa dipastikan ancaman terhadap pemilu kian nyata.

Harus dipahami aturan mengenai batasan maksimal sumbangan dana kampanye pertransaksi hanya akan memperlebar jurang antara peserta pemilu yang berlimpah uang dengan yang tidak. Pincangnya sumber daya yang dimiliki antara masing-masing peserta pemilu membuat proses pemilu menjadi tidak fair dan kompetitif.

Pasalnya peserta pemilu yang mampu mengakses banyak dana kampanye dapat dengan mudah membelanjakan dana tersebut untuk kepentingan memenangi pertarungan, baik melalui cara legal maupun ilegal seperti politik uang. Sementara peserta pemilu 'duafha' hanya akan jadi bulan-bulanan di tengah-tengah hiruk-pikuk kampanye pemilu. Hanya peserta pemilu kaya raya yang bisa mengggunakan media massa dan instrumen kampanye lainnya karena kemampuan tak terbatas untuk membayar. Letak ketidakadilan pemilu adalah jika arena kampanye hanya dikuasai oleh segelintir peserta pemilu yang disokong oleh dana tak terbatas.

Batasan sumbangan maksimal pertransaksi juga dapat mendorong sumbangan dana kampanye menjadi tidak terkontrol karena pada prinsipnya batasan sumbangan maksimal dana kampanye menjadi tidak berlaku. Siapapun, baik perusahaan maupun individu dapat menyumbang tanpa batas sepanjang dalam tiap kali transaksi, sumbangannya tidak melebihi Rp 1 miliar untuk individu dan Rp 5 miliar bagi badan usaha. Peraturan KPU ini akan membuka peluang yang legal bagi penyumbang besar untuk menggelontorkan dana mereka kepada peserta pemilu yang prospektif. Dengan demikian, dapat disimpulkan jika aturan main yang dibuat oleh KPU justru telah meniadakan aturan mengenai batasan sumbangan dana kampanye itu sendiri.

Jika idealnya pemilu adalah ajang untuk memilih pejabat publik yang kredibel, amanah dan berpihak pada kepentingan publik, maka dalam konteks batasan sumbangan maksimal pertransaksi sebagaimana KPU atur justru membuka kesempatan besar bagi peserta pemilu untuk 'disandera' oleh penyumbang besar. Tanpa adanya batasan sumbangan maksimal dana kampanye yang bersifat akumulasi, pengusaha sangat kaya di Indonesia bisa 'membeli' partai politik untuk menjaga kepentingan mereka kedepan.

Pintu yang seharusnya tertutup rapat kini justru dibuka lebar-lebar oleh KPU. Batasan sumbangan maksimal pertransaksi pada akhirnya hanya akan meningkatkan manipulasi laporan dana kampanye peserta pemilu. Jika pada pasal 131 dan 133 UU No 10/2008 pengertian mengenai batas sumbangan dana kampanye maksimal adalah untuk satu kali periode pemilu (akumulasi), sesungguhnya hal ini akan menyulitkan bagi peserta pemilu untuk melakukan manipulasi dana kampanye, meskipun tetap dimungkinan terjadi.

Akan tetapi dengan pengertian baru yang diciptakan oleh KPU, pelaporan dana kampanye akan menjadi sangat mudah dimanipulasi mengingat setiap orang atau perusahaan yang sama, dapat menyumbang lebih dari satu kali sepanjang tidak melebihi batasan per transaksi sebagaimana diatur KPU.

Latar belakang munculnya peraturan inilah yang kemudian perlu dicermati. Sekarang telah berkembang hipotesis bahwa produk hukum KPU diatas sebenarnya merupakan 'pesanan' dari partai politik tertentu yang mendapatkan benefit dari terbitnya peraturan ini. Jika menggunakan kalkulasi untung-rugi, memang yang akan dituntungkan dari berlakunya peraturan batas maksimal sumbangan dana kampanye pertransaksi adalah partai politik tertentu yang didukung dana banyak.

Bisa jadi peraturan ini terbit untuk memberikan justifikasi legal atas pelanggaran terhadap batasan maksimal sumbangan dana kampanye sebagaimana maksud pasal 131 dan 133 UU No. 10/2008 yang sudah terjadi.

Sebagaimana kita tahu, belanja iklan kampanye maupun belanja kampanye pada periode Juli 2008 hingga bulan ini sungguh sangat mencolok jumlahnya, terutama untuk partai politik tertentu. Bisa jadi sebenarnya mereka telah menerima sumbangan dana kampanye yang melebihi batas maksimal, sehingga membutuhkan ketentuan baru yang melegalkan. Pertanyannya sekarang, akan dibawa kemana nasib bangsa ini jika KPU sudah tidak independen?

****
Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Disalin dari Jawa pos, 14 April 2009

No comments: