Tuesday, September 21, 2010

Akuntabilitas Studi Banding Dewan

BELUM usai kontroversi pembangunan gedung baru yang rencananya menelan anggaran Rp 1,6 triliun, anggota dewan yang terhormat kembali membuat kejutan dengan agenda kunjungan kerja ke luar negeri. Agenda ini terkuak oleh publik ketika Panja RUU Pramuka Komisi X berencana melawat ke Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Jepang.

Merujuk pada data yang dilansir Indonesia Budget Center (2010), total anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan studi banding ke luar negeri mencapai 162,9 miliar. Rinciannya, total anggaran kunjungan kerja terbagi ke dalam empat tupoksi dewan, yakni fungsi legislasi (Rp 73,4 miliar), kemudian fungsi pengawasan (Rp 45,9 miliar). Selanjutnya, fungsi anggaran (Rp 2,026 miliar) dan yang terakhir, fungsi membangun kerja sama internasional dan fungsi lain (Rp 41,4 miliar). Ini berarti, untuk semua pelaksanaan fungsi dan tugas pokok anggota dewan, terdapat komponen kunjungan ke luar negeri.

Ironisnya, peningkatan fantastis alokasi anggaran studi banding ke luar negeri dari 2005 yang hanya Rp 23,6 miliar menjadi Rp 162,9 miliar pada 2010 tidak berbanding lurus dengan kinerja anggota dewan. Dalam catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (2010), dari penilaian terhadap kinerja legislasi saja, untuk periode masa sidang III 2009-2010, DPR hanya bisa merampungkan pembahasan lima RUU, dari 70 RUU yang seharusnya dituntaskan hingga akhir 2010. Belum lagi secara kualitas, produk legislasi DPR rawan digugat oleh berbagai pihak, baik melalui instrumen judicial review maupun legislative review.

Kedok Plesiran?

Membayangkan anggota dewan tidak pernah sekali pun pergi ke luar negeri barangkali sulit. Apalagi, sudah timbul persepsi bahwa salah satu kementerengan sebagai wakil rakyat adalah bisa jalan-jalan ke luar negeri, khususnya dengan ''menumpang'' alasan studi banding atau kunjungan kerja.

Yang juga menarik, banyak di antara mereka justru ketika berada di luar negeri tepergok tengah berada di pusat-pusat perbelanjaan terkenal. Hingga di Paris, Prancis, terdapat butik terkenal yang secara khusus menyediakan pelayan toko yang pandai berbahasa Indonesia untuk melayani turis Indonesia, termasuk turis yang menggunakan jas berlogo garuda, serta datang dengan menggunakan anggaran negara.

Terlepas dari kemampuan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang pas-pasan, atau bahkan tidak bisa sama sekali, Eropa dan Amerika Serikat tetap menjadi target favorit untuk lokus studi banding. Penolakan dari Pemerintah Kanada terhadap permohonan studi banding Panja RUU Pramuka Komisi X seharusnya bisa dibaca sebagai ''kemuakan'' negara lain atas sikap pejabat publik kita.

Di luar soal gagah-gagahan, satu hal yang diburu dalam agenda ''studi banding'' ke luar negeri adalah besarnya uang saku yang bisa dikantongi. Untuk 2008 saja, uang saku untuk studi banding ke luar negeri bisa mencapai USD 500. Jika kegiatan tersebut dilakukan dalam waktu delapan hari, termasuk perjalanan dari Jakarta hingga kembali lagi ke Indonesia, uang saku yang bisa dikantongi adalah USD 4000 per anggota. Anggaran tersebut lebih mudah dihabiskan tanpa pertanggungjawaban karena skemanya menggunakan lunsum atau gelondongan.

Dua Akuntabilitas

Untuk mengurangi hasrat ke luar negeri anggota dewan yang lebih didominasi motif rekreasi dibandingkan mencari informasi penting bagi penguatan fungsi dan tugas pokoknya, studi banding harus setidaknya memenuhi dua jenis pertanggungjawaban, yakni akuntabilitas politik dan akuntabilitas administrasi-finansial.

Akuntabilitas politik berarti bahwa dalam setiap kegiatan studi banding ke luar negeri, setiap anggota dewan yang berangkat harus dapat mempertanggungjawabkan hasilnya. Informasi apa yang diperoleh, ke mana saja target spesifik studi banding, dengan siapa saja pertemuan dilakukan dan bagaimana rekam proses dari seluruh aktivitasnya harus bisa didokumentasikan secara benar sekaligus tecermin dalam setiap pelaksanaan fungsi dan tugas pokok mereka ketika kembali bertugas di Senayan.

Jika pertanggungjawaban ini tidak dilakukan, secara politik, anggota dewan yang berkunjung ke luar negeri harus dikenai sanksi, baik melalui mekanisme badan kehormatan maupun mekanisme internal partai politik.

Terakhir, akuntabilitas administrasi-finansial berarti bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan anggota dewan untuk keperluan studi banding ke luar negeri harus bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya. Jika memang komponen uang saku adalah untuk mengcover transportasi, akomodasi, dan uang makan, pertanggungjawaban administrasi harus melekat pada tiga item tersebut.

Karena itu, sudah saatnya dalam pertanggungjawaban administrasi-finansial kunjungan kerja ke luar negeri, diterapkan sistem actual cost, bukan lunsum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah salah satu institusi negara yang sudah menerapkan sistem anggaran aktual dalam setiap kegiatan perjalanan dinas, baik ke luar negeri maupun dalam negeri.

Konsekuensi dari penerapan anggaran aktual, tidak ada sisa uang saku yang bisa dikantongi anggota dewan karena negara hanya mendanai kegiatan aktual. Sementara item belanja, jalan-jalan ke berbagai tempat wisata selama di luar negeri pasti tidak akan ditunjang oleh negara. Jika ini diterapkan, bisa dipastikan jumlah kunjungan ke luar negeri akan berkurang drastis pada tahun-tahun selanjutnya.

Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 22 September 2010

Wednesday, September 15, 2010

Bukan Soal Bambang atau Busyro

Panitia Seleksi Pimpinan KPK telah mengumumkan dua calon terbaik pimpinan KPK, Bambang Widjojanto dan Busro Muqoddas, sekaligus menyerahkan dua nama di atas ke Presiden SBY.


Bisa dikatakan,seluruh proses seleksi berakhir dengan hasil sangat memuaskan karena nada miring atas kedua calon tidak muncul sama sekali. Pemilihan dua nama tersebut juga tidak melahirkan friksi internal di tingkat pansel karena mereka terpilih secara aklamasi. Hal ini berbeda dengan seleksi pimpinan KPK pada 2007 di mana munculnya nama Antasari Azhar telah memicu reaksi keras dari sebagian kalangan masyarakat. Dengan majunya Bambang dan Busyro ke tahap fit and proper testdi Komisi III DPR RI,harapan publik atas kedua calon pimpinan KPK ini kian menguat di tengah kondisi KPK yang sedang lesu darah.

Publik pun tak mempersoalkan siapa yang akan menjadi pimpinan KPK ke depan karena keduanya dianggap memiliki le-vel kualitas yang sama. Sebaliknya, dari kacamata kepentingan politik, majunya Bambang dan Busyro akan menyulitkan langkah politik DPR untuk meningkatkan posisi tawar.Bagaimanapun kedua sosok di atas memiliki karakter tegas, antikompromi,dan keras terhadap prinsip kebenaran sehingga sulit untuk diajak “bekerja sama”.

Sementara tabiat politik selalu ingin menjaga kepentingannya dari pengaruh maupun tekanan pihak mana pun, termasuk supaya para kader politiknya, baik yang berada di Senayan maupun di daerah luput dari upaya pembersihan KPK.Apalagi 26 anggota DPR yang terlibat dalam suap pemilihan Miranda Goeltom baru dilansir oleh KPK sebagai tersangka. Dengan lengkapnya formasi pimpinan KPK, kekhawatiran kalangan DPR atas sepak terjang KPK bisa kian menguat.

Angin Segar

Tampilnya Bambang dan Busyro sebagai calon terbaik pilihan pansel di sisi lain telah membawa angin segar bagi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.KPK yang saat ini dalam situasi lunglai karena masalah Bibit dan Chandra yang belum kunjung usai akan diberi suntikan darah segar baru. Tampilnya Bambang maupun Busyro sebagai pimpinan KPK diharapkan akan meningkatkan adrenalin pemberantasan korupsi yang kini tengah menghadapi ujian berat.

Terpilihnya Bambang dan Busyro sebagai kandidat terbaik pimpinan KPK juga telah menghapus masalah klasik di internal Pansel KPK yakni pro dan kontra mengenai harus tidaknya calon pimpinan KPK dari perwakilan penegak hukum. Dengan Bambang yang berlatar belakang aktivis dan pengacara, serta Busyro dari unsur akademisi sekaligus Ketua Komisi Yudisial, tanpa ada satu pun wakil dari penegak hukum (jaksa dan polisi),Pansel KPK tidak meninggalkan masalah krusial, sebagaimana ketika Pansel KPK pada 2007 meloloskan Antasari Azhar yang kontroversial selaku calon karena pertimbangan harus ada perwakilan penegak hukum.

Dua Langkah Menjegal

Indikasi bahwa Bambang dan Busyro akan melalui fit and proper test yang rumit di DPR sudah tergambar ketika wacana untuk menolak keduanya kini mulai bermunculan. Meskipun resistensi politik di Parlemen belum terlalu jelas, suara samar-samar yang bertiup dari Gedung Senayan dapat saja membuyarkan harapan publik luas atas agenda pemberantasan korupsi yang lebih baik di masa depan. Apalagi jika suara penolakan kepada dua calon pimpinan KPK tersebut menjadi dominan, dengan alasan merupakan hak konstitusional Parlemen.

Menolak Bambang dan Busyro memang merupakan cara “bunuh diri” Parlemen yang teramat sulit untuk dilakukan, tetapi tetap merupakan ancaman potensial yang layak diperhitungkan. Cara lain untuk “menjegal” dua calon pimpinan KPK pilihan pansel adalah dengan mengurangi masa jabatannya,dari empat tahun sebagaimana usulan pansel menjadi satu tahun saja.Secara politis, usulan satu tahun merupakan langkah untuk meminimalisasi pengaruh Bambang atau Busyro di KPK, sekaligus mengurangi imbas negatif bagi kepentingan politik yang ada karena sepak terjang Bambang ataupun Busyro kelak.

Dengan menjabat hanya satu tahun,sulit bagi keduanya, siapa pun yang nanti terpilih, untuk melakukan langkahlangkah radikal dalam agenda pemberantasan korupsi. Mengurai persoalan masa tugas satu tahun atau empat tahun memang sebuah tantangan tersendiri karena dalam UU KPK tidak diatur secara eksplisit dan detail mengenai periode jabatan pimpinan KPK pengganti. Undang- Undang KPK hanya menyebutkan jika ada pimpinan KPK dalam masa tugasnya harus diganti karena satu hal, mekanisme seleksinya mengikuti proses pemilihan pimpinan KPK sebagaimana biasanya.

Pertimbangan Praktis

Karena secara hukum tidak ditemukan rujukan yang jelas, seharusnya pertimbangan untuk menentukan satu tahun atau empat tahun periode pimpinan KPK terpilih didasarkan pada asas kemanfaatan publik luas. Jika periode kepemimpinan pimpinan KPK terpilih adalah empat tahun, ini sebuah kesempatan untuk melakukan estafet kepemimpinan KPK dengan cara yang lebih baik. Alasannya, jika semua pimpinan KPK diganti pada saat yang bersamaan, tentu bagi pimpinan KPK terpilih akan membutuhkan waktu yang lama untuk menjalankan organisasi karena faktor penyesuaian.

Sementara jika sudah atau masih ada nakhoda yang tetap tinggal di kapal besar bernama KPK, empat pimpinan KPK yang baru dapat melakukan proses internalisasi secara lebih mudah dan cepat. Masa kerja empat tahun bagi pimpinan KPK terpilih juga akan mengefektifkan alokasi anggaran negara yang sudah dikeluarkan untuk proses seleksi.Terhitung Rp2,5 miliar telah dianggarkan untuk memilih satu pimpinan KPK.Angka ini belum termasuk proses fit and proper test yang akan dilakukan Komisi III DPR RI.

Tentu saja ini bukanlah nilai yang kecil. Jika kemudian pimpinan KPK terpilih hanya bekerja untuk periode satu tahun, tentu saja angka Rp2,5 miliar adalah ongkos seleksi pejabat publik yang teramat mahal.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 16 September 2010

Wednesday, September 01, 2010

DPR dan Pemberantasan Korupsi

Dalam lingkungan politik yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi, mustahil korupsi bisa diatasi. Faktor politik bisa dikatakan sangat determinan dalam konteks mengatasi persoalan korupsi di negara mana pun.
Tanpa dukungan politik kuat, program pemberantasan korupsi akan menghadapi banyak hambatan karena mula-mula pemberantasan korupsi dimulai dari dukungan regulasi dan penguatan sistem antikorupsi yang memadai.
Sebaliknya, komitmen politik yang lemah mencerminkan tingginya tingkat korupsi pada level politik. Di sini masalah terasa berputar-putar karena faktor yang menentukan pemberantasan korupsi justru jatuh pada persoalan yang hendak diberantas.
Oleh karena itu, jebakan lingkaran setan kegagalan pemberantasan korupsi harus sedini mungkin dihindari. Ironisnya, wajah DPR yang 70 persen pendatang baru justru menunjukkan kecenderungan sikap politik DPR yang sangat konservatif, untuk tidak dibilang antipati terhadap pemberantasan korupsi.
Melemahkan agenda
Sikap antipati parlemen terhadap beberapa proposal reformasi regulasi yang tujuannya memperkuat agenda pemberantasan korupsi bukan hanya merefleksikan pasang surut komitmen politik wakil rakyat. Yang lebih mengkhawatirkan, adanya politisasi program antikorupsi oleh parlemen.
Bisa dikatakan, teriakan lantang anggota parlemen terhadap beberapa skandal besar, seperti Bank Century, tampak condong pada bobot kepentingan politiknya ketimbang spirit antikorupsi yang digelorakan oleh politisi Senayan. Tak heran jika sikap politik DPR terhadap agenda antikorupsi sering tidak konsisten.
Kelembagaan parlemen juga mudah jatuh pada pemanfaatan kepentingan pribadi para anggotanya, baik untuk membangun kerajaan bisnis keluarga melalui proyek-proyek titipan maupun sebagai alat untuk mempromosikan sikap loyal pribadi terhadap kekuasaan cabang lain, misalnya eksekutif. Apa yang disampaikan Ketua DPR RI Marzuki Alie kepada pers beberapa waktu lalu bahwa Aulia Pohan, besan Presiden SBY, bukanlah koruptor mencerminkan artikulasi kepentingan individual yang kental. Dengan pernyataannya, ia hendak menegaskan dukungannya terhadap keluarga besar Cikeas.
Fatalnya, pernyataan itu telah menyeret kelembagaan DPR RI dalam situasi yang bisa disebut sebagai ”penyalahgunaan” jabatan karena posisinya sebagai Ketua DPR RI. Wacana bahwa Aulia Pohan bukanlah koruptor membawa implikasi sangat serius, terutama pada konteks otonomi kekuasaan yudikatif. Bisa disebut, Ketua DPR RI telah melakukan serangan yang frontal terhadap eksistensi kekuasaan yudikatif yang memiliki hak sepenuhnya untuk menempatkan seseorang itu koruptor atau bukan.
Jika kekuasaan politik parlemen dapat menegasikan keputusan yudikatif yang independen, dampak lanjutannya adalah kekacauan pada konsep trias-politica yang kita anut. Rehabilitasi politik ala Ketua DPR RI terhadap Aulia Pohan memang kental aroma kepentingan pribadi, tetapi fenomena semacam ini tak bisa dianggap sepele karena Ketua DPR sudah membawa kelembagaan parlemen ke jalur yang kontra dengan lembaga penegak hukum korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anti terhadap reformasi
Sinyal buruk bagi agenda pemberantasan korupsi juga ditunjukkan parlemen dalam usul penguatan wewenang kelembagaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK untuk menangani kasus pencucian uang. Serangan black campaign anggota DPR terhadap rumusan revisi draf UU Pencegahan dan Pencucian Uang milik pemerintah adalah langkah awal menempatkan gagasan positif bernuansa reformis ke ide-ide yang terkesan sesat. Wacana mengenai hak impunitas, keinginan PPATK untuk dapat menyadap dan menahan seseorang adalah isu yang diembuskan sebelum draf revisi UU itu sendiri tuntas dibaca.
Selanjutnya, melalui Tim Perumus RUU Pencegahan dan Pencucian Uang yang telah menyelesaikan rapat kerja 20-22 Agustus 2010, upaya menjegal wewenang KPK dan PPATK agar dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan kembali dilakukan dengan mengembalikan wewenang itu hanya kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Tak ada alasan yang disampaikan, tetapi manuver politik melalui tim perumus merupakan sikap yang sulit diterjemahkan dalam logika kepentingan publik.
Sebagaimana kita tahu, institusi Kepolisian dan Kejaksaan selama ini tak mampu menunjukkan kinerja dalam menangani kejahatan pencucian uang. Berdasarkan data PPATK sampai April 2010, dari 2.442 transaksi keuangan mencurigakan yang ditemukan, sekitar 1.030 (42,18 persen) berasal dari korupsi.
Sebanyak 92 persen Laporan Hasil Analisis diserahkan ke Kepolisian dan hanya 8 persen yang diserahkan ke Kejaksaan. Namun, kasus yang diproses dan diputus menggunakan UU Nomor 15 Tahun 2002 dan UU No 25/2003 tentang Pencucian Uang sangat minim. Seperti dilaporkan PPATK, hanya 26 berkas putusan yang menggunakan UU Pencucian Uang sebagai dasar penghukuman.
Sangat mungkin resistensi parlemen terhadap usulan adanya akuntabilitas silang antara Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan PPATK sendiri karena kentalnya konflik kepentingan. Korupsi yang menggurita di parlemen akan sangat mudah dideteksi jika wewenang penyelidikan dan penyidikan kasus pencucian uang diserahkan juga ke KPK. Demikian pula, ada indikasi kuat kasus dugaan pencucian uang yang dilaporkan PPATK ke penyidik Kepolisian dan Kejaksaan selama ini justru jadi ajang mafia hukum.
Persekongkolan politik dengan penegak hukum memang sebuah labirin yang sampai hari ini masih sulit ditembus. Tak heran jika agenda pemberantasan korupsi justru sering terganjal oleh kepentingan politik.

Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW
Kompas, 2 September 2010