Dengan berat hati kita harus menerima kenyataan bahwa Indonesia masih dianggap sebagai negara paling korup. Lembaga survei tersohor yang berbasis di Hong Kong, Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) baru-baru ini menyampaikan hasil penelitian mengenai peringkat korupsi negara-negara Asia. Indonesia dalam penilaian mereka masih sebagai negara ketiga terkorup di antara 13 negara Asia lainnya. Skor PERC untuk Indonesia pada 2008 adalah 7,98, lebih baik dibanding tahun 2007 yang mencapai 8,03.
Kita boleh berbesar hati sekaligus prihatin dengan hasil ini. Peningkatan skor pada survei PERC merupakan berita yang menggembirakan, namun dalam waktu yang bersamaan, Indonesia masih dianggap sebagai negara korup. Peningkatan yang dapat dikatakan belum signifikan ini tentu saja tidak harus membuat kita merasa dipermainkan oleh survei. Melalui metodologi tersendiri, hasil sebuah survei perlu diterima secara kritis sebagai karya akademis yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Oleh karena itu, sangat baik jika kita lantas bercermin dengan jujur, lalu bertanya mengapa negara ini masih tetap dianggap sebagai negara korup? Jawabannya barangkali dapat kita telisik dengan cara melakukan evaluasi terhadap kebijakan pemberantasan korupsi yang telah berjalan, karena pilihan-pilihan, sekaligus sikap politik pemerintah dalam memberantas korupsi merupakan penentu arah keberhasilannya.
Kebijakan Antikorupsi
Harus diakui jika kebijakan antikorupsi yang kita ambil masih setengah hati. Meskipun ada lonjakan yang mengejutkan dalam proses hukum kasus-kasus korupsi, terutama yang ditunjukkan oleh KPK, tetapi hal itu tidaklah cukup. KPK hanyalah salah satu saja dari instrumen dalam memberantas korupsi, di luar institusi negara lain yang memiliki tanggung jawab yang sama. Ketika beban pemberantasan korupsi hanya diletakkan pada satu lembaga, maka sudah dapat dipastikan bahwa hasil yang dicapai tidak akan efektif.
Apalagi jika yang terjadi sebaliknya, sebagaimana kasus dugaan suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) beberapa waktu lalu. Pada saat KPK bekerja keras melakukan penegakan hukum kasus korupsi, aparat penegak hukum lainnya justru menelikung usaha itu. Tak ada irama yang sama dalam memberantas korupsi membuat usaha memulihkan penegakan hukum sulit untuk dilakukan.
Jika penanganan perkara korupsi masih menjadi komoditas bagi para aparat peradilan nakal, proses hukum hanya dianggap sebatas arena transaksi. Ketidakpercayaan terhadap proses hukum pada akhirnya berimplikasi pada ketidakpercayaan pada pemerintah. Hubungannya jelas, penegakan hukum sekaligus pembersihan hukum dari virus korupsi hanya dapat diselesaikan melalui usaha keras pemerintah. Tanpa itu, mustahil kita dapat bergerak lebih maju untuk mengembalikan citra hukum yang sudah sedemikian parah. Pertanyaannya, sudah sejauh mana pemerintah sebenarnya mau melakukan langkah darurat untuk membersihkan peradilan dari penyakit akut korupsi? Hingga saat ini, tidak ada gebrakan yang serius, bahkan terkesan usaha pemulihan penegakan hukum diserahkan bebannya kepada KPK saja.
Oleh karena itu, barangkali sangat wajar jika para ekspatriat yang menjadi responden survei PERC memandang Indonesia masih sebagai negara yang kotor. Jangan dilupakan bahwa yang berurusan dengan hukum di negeri ini bukan saja penduduk Indonesia. Mereka yang berada di belahan dunia lain juga berurusan dengan hukum di sini.
Di segmen yang lain, kebijakan pemberantasan korupsi juga tak jelas arahnya. Sikap politik para pejabat tinggi negara justru mencerminkan sikap anti terhadap agenda pemberantasan korupsi. Sikap abai terhadap pelaksaan peraturan perundang-undangan dan kewajiban lainnya yang melekat pada jabatan publik yang dipegangnya tercermin dalam beberapa peristiwa. Tragisnya, pengabaian itu justru dilakukan oleh penguasa yang memiliki mandat besar dalam memberantas korupsi.
Mari kita sedikit bernostalgia dengan cerita, bagaimana Kejaksaan Agung menolak mentah-mentah rencana audit investigasi BPK RI untuk menelurusi uang pengganti yang selama ini dikelola Kejaksaan. Rencana itu muncul karena simpang-siurnya data mengenai jumlah dana pengganti dan sulit dikonfirmasi kebenarannya. Pada saat yang lain, Ketua MA, Bagir Manan juga menjegal rencana BPK untuk mengaudit rekening liar yang ternyata banyak bergentayangan di MA. Dari nalar yang pa-ling sederhana pun, agaknya susah menerima fakta bahwa ternyata kedua institusi pemberantas korupsi itu jauh dari sikap antikorupsi.
Kita juga ternyata tidak cukup kuat merawat kekuatan antikorupsi yang baru saja ditumbuhkan. Gebrakan Komisi Yudisial dalam mendorong perbaikan citra para hakim ternyata berbuntut pada pengebirian. Melalui judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, 31 hakim agung di Mahkamah Agung menggugat kewenangan KY dalam memeriksa para hakim. Gayung bersambut, majelis hakim MK mengabulkan gugatan itu.
KY yang lahir sebagai mandat reformasi menemui "ajal" dalam usianya yang masih sangat belia. Lucunya, yang "membunuh" KY adalah para hamba hukum yang memiliki tanggung jawab besar untuk membersihkan lembaga peradilan. KY sendiri makin terpuruk karena setelah itu KPK menangkap basah salah satu anggota KY yang diduga menerima suap. Integritas KY sebagai pengawas para hakim pun tercoreng.
Nasib KPK jauh lebih baik dibandingkan KY. Meskipun sudah dibidik dengan judicial review ke MK hingga tujuh kali, stamina KPK masih tetap prima. Kewenangan besar yang dimiliki KPK menjadi sasaran empuk gugatan. Mekanisme judicial review ke MK untuk menguji negative law telah dibajak oleh gerakan kontra antikorupsi untuk melakukan perlawanan. Kekuatan kelompok ini sangat besar karena didukung oleh dana tak terbatas dan para pengacara yang superhebat. Mereka ini adalah "korban" dari gerakan antikorupsi yang tidak ingin situasi mengalami perubahan. Karena bagi mereka, status quo adalah syarat agar korupsi dapat berjalan langgeng.
Kita pun terpuruk dari sisi birokrasi. Pelayanan publik yang menjadi tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi tak kunjung beranjak baik. Memang ada satu-dua wilayah administrasi yang kebetulan memiliki penguasa yang kuat political will-nya untuk merombak besar-besaran kualitas pelayanannya, sehingga kelompok marginal beruntung dapat memperoleh layanan gratis di sektor pendidikan dan kesehatan. Penduduknya juga memperoleh kepastian dalam pelayanan, baik dari sisi waktu, proses, prosedur, dan biaya. Sayangnya, gerakan itu bukan sesuatu yang masif karena tidak digerakkan oleh kekuatan pemimpin politik nasional. Itu hanya sebatas inisiatif segelintir penguasa lokal.
Oleh karena itu, hasil survei PERC bukanlah usaha menyudutkan Indonesia. Sebaliknya hendak mengingatkan, bahwa masih banyak yang harus dibenahi oleh bangsa ini. Kita harus patut berterima kasih, masih ada pihak yang peduli dengan bersihnya Indonesia. Tidak pada tempatnya kita mengecam publikasi itu. Lebih baik kita kembali berefleksi, apa yang sebenar- nya telah kita lakukan untuk membenahinya.
Oleh: Adnan Topan Husodo
Penulis adalah Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan disalin dari Suarapembaruan, Minggu, 9 April 2008
No comments:
Post a Comment