Monday, July 30, 2007

Peran Strategis Komisi Pemberantasan Korupsi

Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hukum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial-ekonomi dan politik yang memprihatinkan.

Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang tinggi, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi. Secara langsung ataupun tidak, keadaan di atas disebabkan oleh korupsi yang sudah telanjur mewabah. Korupsi telah membuat lumpuh sebagian besar daya dan kekuatan yang dimiliki bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan.

Selama ini, program pemberantasan korupsi melalui pendekatan konvensional telah divonis gagal dalam mengurangi tingginya korupsi yang terjadi. Kegagalan demi kegagalan dalam memberantas korupsi menumbuhkan sebuah keyakinan bahwa, dalam sebuah sistem tempat korupsi telah menjadi endemik, mekanisme penegakan hukum yang biasa hanya akan menutupi pejabat negara yang korup.

Institusi penegak hukum konvensional yang bertindak menegakkan hukum semakin tidak berdaya dalam mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang kian kompleks. Bahkan institusi-institusi tersebut telah menjadi bagian dari mata rantai korupsi yang merajalela. Karena itu, kehadiran KPK seharusnya merupakan sebuah jawaban bagi deadlock-nya upaya melawan korupsi.

Akan tetapi, berdasarkan hasil evaluasi ICW terhadap kinerja institusi KPK selama kurun waktu 2003-2007 dalam memberantas korupsi, terdapat berbagai kelemahan yang ditemukan. Salah satu yang mendasar adalah tidak mencukupinya basis analisis untuk melihat akar dan problematika korupsi itu sendiri. Sehingga desain kebijakan dan program pemberantasan korupsi yang dikembangkan oleh KPK dirasa kurang efektif, efisien, relevan, dan berkelanjutan.

Dalam analisis berbagai pakar, Indonesia saat ini berada pada tipologi korupsi ketika state capture type of corruption telah mendominasi ruang-ruang kebijakan publik, sementara korupsi birokrasi juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dua keadaan ini menyebabkan kita disandera oleh sistem yang teramat korup (UNDP, 2002). Atau, dengan kata lain, tidak dapat berbuat apa pun untuk membenahi persoalan korupsi yang sudah sedemikian pelik.

Sementara itu, di sisi yang lain, KPK masih berkutat pada penanganan korupsi yang bertipologi petty administrative corruption. Karena itu, proses hukum atas kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK tidak memiliki dampak yang berarti, karena hilangnya nilai strategis dari sebuah kasus korupsi yang ditangani. Nilai strategis itu dilihat dalam dua pendekatan, yakni sumber korupsi yang selama ini menjerat bangsa Indonesia dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik, serta dampak langsung pemberantasan korupsi dalam bentuk pembenahan sistem yang rentan terhadap korupsi setelah penegakan hukum dilakukan.

State capture bisa dilihat pada aktor utama pelaku korupsinya, yakni pejabat politik, pejabat negara, dan kalangan swasta/pengusaha yang berkolusi menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan negara/publik. Aktor inilah yang menciptakan sebuah kondisi negara yang terus-menerus tersandera oleh ketidakberdayaan sosial-ekonomi dan politik.

Di samping karena kerugian negara dan masyarakat yang dapat mencapai triliunan rupiah, state capture telah menciptakan monopoli dalam penguasaan dan alokasi sumber daya ekonomi publik. Melalui praktek komunikasi dan lobi secara informal, tertutup dengan contact person di level tinggi, state captors bekerja mempengaruhi kebijakan publik yang dapat menguntungkan aktor-aktornya. Pendek kata, dalam korupsi bertipologi state capture, kebijakan publik merupakan arena transaksi dan sumber akumulasi kekayaan.

Namun, sayangnya, hingga saat ini, pun setelah KPK lahir, aktor-aktor state capture masih tetap tidak tersentuh. KPK masih sebatas menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, pejabat eselon, dan pemimpin proyek--yang sebagian besar korupsinya terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Barangkali sektor ini memang rawan terhadap korupsi. Tapi berbagai sektor lain, tempat sumber ekonomi publik yang demikian besar dikelola, seharusnya menjadi pilihan-pilihan yang strategis untuk dihantam.

Memang KPK tidak didesain untuk menegakkan hukum korupsi di semua lini. Karena itu, seharusnya pilihan dalam membidik sebuah kasus korupsi harus didasarkan pada pertimbangan strategisnya. Terutama pada titik di mana kejaksaan dan kepolisian memiliki hambatan politik untuk menanganinya. Jika KPK menangani perkara korupsi yang sederajat dengan kualitas perkara milik kejaksaan dan kepolisian, hal ini justru hanya akan menimbulkan naiknya ongkos dalam memberantas korupsi.

Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki spektrum politik besar, sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi dan pelayanan publik, mekanisme supervisi dan koordinasi harus dioptimalkan. Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang ditangani kejaksaan dan kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus mengawasi secara serius proses penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan penanganan kasus-kasus korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian, menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.

Selama ini tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat penambahan jumlah kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian setelah mekanisme supervisi dan koordinasi dilakukan KPK, tapi hal itu tidak mengurangi praktek korupsi dalam penanganan kasus korupsi. Karena itu, untuk mendorong proses penegakan hukum pada tingkat kejaksaan dan kepolisian, KPK seharusnya memulai upaya pemberantasan korupsi dengan melakukan pembersihan pada tubuh aparat penegak hukum. Upaya membersihkan kejaksaan dan kepolisian akan sangat membantu KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang sedemikian banyak.

Namun, sayangnya, hingga menjelang berakhirnya masa tugas pemimpin KPK periode 2003-2007, belum ada satu pun aparat penegak hukum yang diproses, kecuali Suparman selaku penyidik KPK sendiri. Padahal mustahil mendorong program pemberantasan korupsi di tubuh kejaksaan dan kepolisian seandainya upaya-upaya pembersihan tidak segera dilakukan. Demikian juga halnya lingkup pengadilan, yang seharusnya menjadi prioritas mengingat semua proses hukum akan bermuara di tangan para hakim.

Karena itu, ke depan sudah seharusnya pemimpin KPK terpilih harus benar-benar memiliki perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan korupsi harus becermin pada tipologi korupsi yang mendominasi. Bukan sekadar menjalankan tugas dan kewajiban memberantas korupsi sebagaimana mandat undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.

Disalin dari koran Tempo, Senin, 16 Juli 2007

Sunday, July 08, 2007

Sosok Pimpinan KPK ke Depan

Kekhawatiran banyak pihak bahwa dalam setiap proses rekrutmen pimpinan KPK akan ada intervensi politik untuk sementara dapat dipatahkan. Komposisi pansel pimpinan KPK saat ini boleh dikatakan sudah cukup mencerminkan tingkat integritas yang tinggi, keterwakilan dari berbagai latar belakang profesional, kepercayaan publik atas anggota pansel dan ketokohan yang diakui secara luas oleh masyarakat. Demikian pula sikap yang sangat terbuka dari pansel pimpinan KPK untuk meminta masukan, saran dan pengawasan penuh dari masyarakat merupakan nilai lebih yang perlu didukung semua pihak.

Di luar kekhawatiran di atas, yang sudah terjawab, muncul kekhawatiran baru, yakni sepinya minat anggota masyarakat untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK. Tidak seperti pada proses seleksi pimpinan KPK yang pertama di mana pelamar mencapai angka 500, saat ini diperkirakan hingga akhir masa pendaftaran jumlah yang melamar hanya 200 hingga 250 orang. Sedikitnya para pelamar yang mengajukan diri ke pansel pimpinan KPK disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, pansel kurang mensosialisasikan telah dimulainya pendaftaran. Hal ini menyebabkan informasi yang diterima masyarakat tidak mencukupi. Dalam situasi seperti ini, pansel pimpinan KPK seharusnya melakukan langkah-langkah darurat, yakni proaktif mendorong para pihak yang dianggap kredibel dan layak menjadi pimpinan KPK untuk segera mendaftarkan diri. Hal ini mengingat masa pendaftaran yang semakin mendekati akhir. Sementara untuk melakukan perpanjangan pendaftaran akan sangat sulit karena UU membatasi hanya 14 hari masa kerja.

Dalam bayangan penulis, jika anggota pansel yang jumlahnya 15 orang, yang terdiri dari berbagai latar belakang pengetahuan, pendidikan serta keahlian, seandainya masing-masing dapat mengajak 5 anggota masyarakat untuk mendaftar, masalah jumlah pelamar yang sedikit dapat teratasi. Demikian halnya persoalan kualitas calon pimpinan KPK yang seandainya didorong oleh anggota pansel paling tidak dapat dimaksimalkan mengingat kualitas anggota pansel yang juga mumpuni.

Kedua, kekhawatiran banyak anggota masyarakat yang menurut penulis layak menjadi calon pimpinan KPK terletak pada mekanisme pemilihan yang sedikit banyak akan ditentukan oleh proses fit and proper test di DPR RI. Persoalan ini tidak dapat dianggap sederhana karena dalam pemilihan pimpinan KPK yang pertama, salah satu kandidat yang dikenal luas oleh masyarakat memiliki kemampuan luar biasa untuk memberantas korupsi justru tidak lolos dalam fit and proper test. Pertanyaannya kemudian, dalam melakukan fit and proper test, apa sebenarnya ukuran-ukuran objektif yang digunakan oleh DPR untuk menilai masing-masing calon?

Akan tetapi lebih dari itu adalah sosok dan komposisi pimpinan KPK yang memiliki visi luas, perspektif tajam, keberanian luar biasa, kemampuan dalam kerja sama dan mewakili berbagai latar belakang pengetahuan mengingat kian kompleksnya korupsi yang terjadi, di tengah-tengah produk hukum pemberantasan korupsi yang mengekang dan memiliki banyak celah-celah kelemahan.

Kelas Kakap

Dari hasil evaluasi ICW terhadap program dan kebijakan pemberantasan korupsi KPK 2004-2007, terdapat beberapa sisi kelemahan. Kelemahan itu terkait dengan beberapa isu, yakni penindakan, pencegahan, koordinasi dan supervisi serta asset recovery. Keempat hal itu merupakan item penilaian untuk melihat upaya-upaya yang telah dilakukan dan hasil pemberantasan korupsi yang sudah diperoleh.

Dari aspek penindakan, KPK belum dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa kasus korupsi yang ditangani merupakan kasus berkategori kelas kakap. Tentu saja yang dimaksud kelas kakap adalah kasus korupsi yang terjadi pada sektor perbankan -termasuk BLBI-, kasus di istana negara, kasus korupsi yang melibatkan politisi, kasus korupsi di tubuh institusi militer dan jajaran aparat penegak hukum sendiri. Mendekati 4 tahun masa kerjanya, belum ada satupun anggota DPR yang diproses secara hukum karena melakukan korupsi. Demikian hanya belum ada satupun aparat penegak hukum yang diperiksa, kecuali penyidik KPK sendiri (Suparman).

Demikian pula nilai kerugian yang ditangani oleh KPK sebenarnya setara dengan apa yang telah dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Hitungan ICW menunjukan bahwa 51 persen kerugian negara yang diperiksa oleh KPK berada pada interval 1 hingga 20 miliar rupiah. Kasus-kasus tersebut sebagian besarnya adalah kasus korupsi pengadaan barang dan jasa. Dalam tipologi korupsi, pengadaan barang dan jasa adalah model yang paling konvensional. Pendek kata, kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK belum setara dengan kewenangan luar biasa yang dimilikinya, sekaligus setingkat dengan harapan masyarakat.

Pencegahan yang dilakukan oleh KPK dapat dievaluasi pada program besarnya, yakni Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Sepanjang periode pimpinan KPK sekarang, tidak banyak perubahan yang terjadi. Contohnya adalah program LHKPN, yang maksud awalnya untuk mengendalikan tingkat korupsi pejabat negara karena adanya daya paksa untuk transparan mengenai asal-usul kekayaan dan jumlah total kekayaan yang dimiliki.

Hingga saat ini KPK masih berkutat pada problem ketidakpatuhan pejabat negara untuk menyampaikan LHKPN. Angka peningkatannya pun tidak signifikan. Pada tahun 2001, tingkat kepatuhan pejabat negara yang menyampaikan laporan hanya mencapai 41, 57%. Hingga tahun 2006, pejabat negara yang melaporkan LHKPN hanya mencapai 56,11%. Ini artinya hampir setengahnya dari pejabat negara kita masih mengabaikan kewajiban itu setelah 5 tahun program LHKPN dilaksanakan. Di samping problem kepatuhan, yang lebih signifikan adalah masalah kebenaran laporan tersebut. Ke depan, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membuat program LHKPN menjadi lebih bertaji, sekaligus menimbulkan kekhawatiran pejabat negara untuk melakukan korupsi.

Dalam kalkulasi cost and benefit untuk memberantas korupsi, KPK juga masih merugi. Tingkat pengembalian kerugian negara yang telah disetorkan kepada kas negara selama 3 tahun masa penindakan hanya mencapai angka Rp 50,04 miliar. Dibandingkan dengan ongkos program pemberantasan korupsi yang mencapai Rp 247,68 miliar, jumlah asset recovery tersebut masih pada tingkat yang memprihatinkan.

Di luar kelemahan-kelemahan tersebut, masih ada dua kabar gembira. Pertama, sepanjang program penindakan kasus korupsi oleh KPK, seluruh perkara yang dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi telah divonis bersalah. Kedua, sebagai penerapan mekanisme penindakan yang ketat, sejak dijadikan sebagai tersangka, tanpa pandang bulu, KPK langsung melakukan penahanan.

Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan disalin dari harian Suara Pembaruan, Minggu, 8 Juli 2007