Tuesday, November 25, 2008

Ancaman terhadap Independensi KPK

Secara mengejutkan Markas Besar (Mabes) Polri pada 14 November 2008 menarik dua perwira polisi yang selama ini bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dasar penarikannya adalah telegram dari Kapolri Bambang Hendarso Danuri, Nomor TR/549/XI/2008, yang merujuk pada Surat Keputusan Kapolri Nomor SKEP/464/XI/2008 tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan Polri.

Mereka yang diambil melalui SKEP di atas adalah Brigadir Jenderal (Pol) Bambang Widaryatmo dan Ajun Komisaris Besar Polisi Akhmad Wiyagus. Kedua perwira polisi di atas mendapatkan tugas baru di Polri.Bambang Widaryatmo yang sebelumnya menjabat Direktur Penyidikan KPK mendapatkan tugas baru sebagai kepala Biro Litbang Polri. Adapun Akhmad Wiyagus yang di KPK menjabat direktur Pengaduan Masyarakat ditempatkan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat,sebagai kapolres.

Sebenarnya proses mutasi, pemindahan, atau promosi perwira di tubuh Polri adalah hal biasa. Rotasi jabatan merupakan bagian dari penyegaran sekaligus cara menempa calon pejabat Polri dengan berbagai pengalaman baru yang akan dihadapinya untuk memperkuat jiwa leadership.

Namun,karena ini berkaitan erat dengan tugas penindakan kasus korupsi di KPK yang tengah diemban oleh kedua perwira tersebut, kebijakan pencopotan dua ujung tombak KPK ini mengundang tanda tanya besar. Pasalnya jika ditelisik lebih dalam, proses pemindahan tersebut kental dengan berbagai kejanggalan di sana sini.

Tampaknya pada kasus mutasi Bambang dan Agus, alasan maupun pertimbangan pemindahan yang terkesan mendadak ini tidak jelas. Alasan mutasi di satu sisi dapat diterima jika dalam kondisi yang wajar. Akan tetapi, pada sisi yang lain mengandung makna penghukuman terhadap kedua orang tersebut.

Untuk memperjelas hal ini harus dipahami bahwa jabatan di KPK (sebagai direktur Pengaduan Masyarakat dan Direktur Penyidikan KPK) merupakan posisi yang strategis untuk mendongkrak karier seorang perwira polisi kelak. Biasanya, jika ada perwira polisi telah menjalani masa tugas di KPK, jabatannya di kepolisian akan melesat.Promosi atas orang-orang yang ditugaskan di KPK merupakan pola yang umum terjadi.

Masalahnya, keduanya ditarik ke posisi yang tidak strategis.Ada fakta sejarah yang bisa dirujuk, bahwa penyidik KPK yang berasal dari Polri umumnya mendapatkan promosi sebagai kapolres.Padahal penyidik KPK bukanlah jabatan struktural, beda dengan Direktur KPK yang merupakan jabatan struktural. Karena itu, patut dianggap bahwa keputusan Kapolri atas dua personelnya ini lebih tepat sebagai pembuangan, bukan promosi. ***

Pertanyaan selanjutnya, jika kedua orang ini telah dinilai memiliki sepak terjang yang bagus di KPK, mengapa justru mendapatkan demosi dari Kepolisian RI? Apakah yang melatarbelakangi keputusan tersebut sebenarnya? Kejanggalan lain yang bisa dilihat adalah keputusan di atas terkesan sangat terburu-buru.

Hal ini mengingat mereka sebenarnya belum lama menjabat direktur di KPK.Kecurigaan bahwa ada latar belakang tertentu yang menyebabkan keputusan mutasi cepat diputuskan juga dapat dicium dari tiadanya koordinasi dengan pimpinan KPK secara kolegial. Sistem pengambilan keputusan pimpinan KPK pada prinsipnya adalah kolegial.

Meskipun masingmasing pimpinan KPK mendapatkan tugas khusus berdasarkan kesepakatan bersama,tetapi untuk hal-hal yang strategis kepemimpinan kolektif seharusnya diterapkan. Jika kemudian penarikan itu telah ada persetujuan dari salah satu pimpinan KPK saja,tentu bisa ditebak pimpinan KPK dimaksud adalah pejabat yang membawahi bidang penindakan.

Keputusan strategis di KPK yang tidak diambil melalui mekanisme persetujuan kolektif sesungguhnya dapat menyebabkan lahirnya hak istimewa. Dalam posisi KPK yang memiliki wewenang besar dan acap harus berhadapan dengan kepentingan politik, hak istimewa itu akan sangat mudah disalahgunakan. Hal di atas akan menjadi ”preseden” buruk bagi KPK di masa datang.

Karena pihak di luar KPK, baik kepolisian, kejaksaan dan BPKP, dengan inisiatif sendiri atau usulan dari pihak lain dapat saja kemudian melakukan intervensi atau melumpuhkan posisi KPK pada sektor penindakan dengan modus menarik personel mereka di KPK secara mendadak. Sebagaimana diketahui, komposisi petugas penindakan KPK sebagian besar diisi oleh pegawai dari kepolisian,kejaksaan dan BPKP.

Bisa saja kemudian kita menduga bahwa penarikan ujung tombak penindakan KPK merupakan bagian dari skenario untuk menggagalkan penyelesaian berbagai kasus korupsi berkategori kakap. Dengan bahasa lain, mutasi kedua perwira Polri di KPK ini mungkin saja merupakan bagian dari skenario pihak-pihak tertentu untuk ”mengamankan” penanganan kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi eksekutif, legislatif,maupun pengusaha besar di Indonesia.

Jika benar keputusan menarik personel kepolisian di KPK bermotifkan kepentingan semacam ini, KPK sesungguhnya sedang diancam bahaya besar. ***

Masyarakat mungkin tidak terlalu mengetahui bahwa baik Bambang (selaku direktur Penyidikan) dan Wiyagus (baik sewaktu menjadi penyidik maupun setelah menjadi direktur Pengaduan Masyarakat) dianggap memiliki peran penting dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi kelas kakap.

Keduanya sesungguhnya merupakan aktor yang tidak terpisahkan dari keberhasilan KPK selama ini. Mereka juga memiliki peran penting dalam pengungkapan sejumlah kasus korupsi seperti kasus suap aliran dana Bank Indonesia, kasus suap alih fungsi hutan yang diduga melibatkan anggota Dewan dan Menteri Kehutanan,kasus korupsi pengadaan kapal di Departemen Perhubungan, serta pemeriksaan sejumlah kepala daerah (aktif maupun mantan) yang dinilai punya dukungan yang kuat dari sejumlah partai politik.

Sebagaimana diketahui, dalam kapasitasnya sebagai direktur Pengaduan Masyarakat KPK, Akhmad Wiyagus tengah menangani kasus yang dilaporkan Agus Condro terkait suap dalam proses pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia. Selain diduga melibatkan sebagian besar anggota partai politik tertentu sebagai penerima,kasus ini juga diduga melibatkan kalangan pengusaha kelas kakap sebagai penyandang dana dan tim sukses dalam proses pemilihan tersebut.

Proses mutasi ”dadakan”ini dapat dipastikan akan memengaruhi proses penuntasan kasus-kasus korupsi tersebut. Bukan mustahil prosesnya akan tersendat, atau hanya menjerat aktor lapangan saja atau bahkan menjurus pada penghentian kasus.

Karena itu, sudah semestinya pimpinan KPK secara keseluruhan segera mengambil tindakan cepat untuk menyelamatkan institusi KPK dari upaya ”pembusukan” dengan menciptakan sistem yang transparan dan objektif untuk mengatur sirkulasi jabatan sehingga tidak muncul kesewenang-wenangan dari segelintir pihak yang memiliki kekuasaan diskresional untuk menentukan nasib pegawai KPK di masa depan.(*)

Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Disalin dari Koran Seputar Indonesia, Rabu, 26 November 2008

Tuesday, November 11, 2008

Sulitnya Mengaudit Dana Kampanye

Sebagaimana telah diberitakan berbagai media massa, komisioner Komisi Pemilihan Umum mulai angkat bicara tentang kendala audit dana kampanye Pemilu 2009. Bahkan terkesan KPU sudah sampai pada kesimpulan bahwa audit dana kampanye tidak dapat dilakukan sebagaimana mandat Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. Sejujurnya pernyataan di atas dapat dikatakan terlambat. Hal ini mengingat jauh-jauh masa sebelumnya, berbagai organisasi profesi, baik Ikatan Akuntansi Indonesia maupun Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), telah menyampaikan gambaran akan potensi gagalnya pelaksanaan audit dana kampanye. Namun, respons yang ditunggu dari KPU tidak juga muncul. Saat pelaksanaan audit dana kampanye tinggal beberapa bulan lagi, tanggapan dari KPU baru kita dengar.

Terlepas dari masalah lambannya daya tangkap KPU untuk mendeteksi kemungkinan tahapan pemilu tidak berjalan dengan baik, pernyataan resmi KPU sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR, karena terdapat kemungkinan besar salah satu tahapan Pemilu 2009, yakni audit dana kampanye sulit dilaksanakan. Keseriusan dari KPU, pemerintah, dan DPR untuk mengambil langkah-langkah darurat akan sangat menentukan, apakah pelaksanaan audit dana kampanye akan berjalan sebagaimana aturan main atau gagal sama sekali.

Pertanyaannya, apa faktor yang memungkinkan pelaksanaan audit dana kampanye terganggu? Sejauh pengamatan penulis, terdapat dua masalah krusial yang sangat menghambat atau bahkan dapat menggagalkan kerja audit. Pertama, faktor yuridis-formal, di mana terdapat kewajiban dalam UU Pemilu yang sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi kerja teknis audit dana kampanye. Secara umum, UU Pemilu menggariskan beberapa hal, yakni adanya kewajiban bagi partai politik peserta pemilu, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota dan peserta pemilu perseorangan membuat dan menyerahkan laporan dana kampanye kepada kantor akuntan publik (KAP). Berikutnya, laporan dana kampanye tersebut wajib diaudit oleh KAP. Terakhir, KAP diberi alokasi waktu 30 hari oleh undang-undang untuk menyelesaikan audit terhadap seluruh laporan dana kampanye.

Mengacu pada aturan main di atas, secara teknis, pelaksanaan audit dana kampanye menjadi sulit dilakukan. penyebabnya, entitas laporan dana kampanye yang harus diaudit oleh KAP tidak sebanding dengan jumlah KAP yang tersedia. Menurut catatan kasar IAPI, berdasarkan mandat UU di atas, paling tidak terdapat 20 ribu entitas laporan keuangan dana kampanye yang harus diaudit oleh KAP berdasarkan pada jumlah partai politik peserta pemilu, mulai tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota dan peserta perorangan (calon Dewan Perwakilan Daerah).

Di sisi lain, jumlah KAP yang tersedia tidaklah banyak. Jumlah KAP yang bernaung dalam payung IAPI saat ini hanya 400-an KAP. Sangat mustahil 400-an KAP akan mampu mengaudit laporan dana kampanye dengan jumlah yang sangat banyak dan tersebar di berbagai provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, jumlah KAP yang sedikit itu diikuti oleh penyebarannya yang tidak merata karena di atas 50 persen berada di Jakarta.

Jika dilihat dari substansi peraturan, adanya kewajiban pelaporan dana kampanye pada masing-masing struktur partai politik peserta pemilu merupakan cara yang baik untuk mendorong hadirnya transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu. Hal itu juga dapat dibaca sebagai upaya UU untuk mendorong desentralisasi dan penyebaran atas pengendalian dan pertanggungjawaban dana kampanye di masing-masing bagian dalam organisasi partai politik. Dengan adanya aturan ini, ada tuntutan kepada pengurus partai politik di masing-masing tingkatan untuk lebih profesional dalam mengelola organisasinya. Karena itu, menjadi sangat dilematis karena tujuan dari UU yang benar harus dikacaukan oleh keterbatasan jumlah KAP.

Lebih lanjut, UU Pemilu hanya menyebutkan bahwa yang berwenang melakukan audit dana kampanye adalah KAP, bukan auditor lain, semisal BPKP atau BPK RI. Pagar yang sudah sangat jelas ini membuat upaya untuk menyiasati keterbatasan KAP menjadi mustahil ditempuh. Pasalnya, jika KPU menggunakan tenaga auditor dari BPKP atau BPK, pasti akan melanggar aturan main karena mandat untuk melakukan audit hanya dimiliki oleh KAP.

Masalah pelaksanaan audit dana kampanye menjadi lebih rumit, karena UU hanya memberikan waktu yang sangat terbatas, yakni 30 hari kepada KAP untuk menyelesaikan audit dana kampanye. Mengacu pada standar yang wajar, pelaksanaan audit umum (general audit) membutuhkan waktu paling tidak hingga empat bulan. Rentang waktu yang semakin panjang akan memungkinkan pelaksanaan audit dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, sekaligus menjawab esensi dari tujuan audit itu sendiri. Sedangkan waktu audit dana kampanye yang teramat pendek dapat dipastikan tidak akan menghasilkan laporan audit yang berkualitas, atau menemukan adanya pelanggaran terhadap aturan dana kampanye. Bisa dikatakan, audit dana kampanye yang demikian pada akhirnya untuk memenuhi aspek formalitas belaka.

Masalah di luar kendala yuridis-formal adalah infrastruktur audit dana kampanye yang tidak siap, terutama pada sisi KPU dan pengelola dana kampanye di tingkat peserta pemilu. Pelaksanaan audit dana kampanye akan menyulitkan jika KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak mengatur beberapa pedoman teknis yang dibutuhkan. Paling tidak, ada dua pedoman yang seharusnya disiapkan oleh KPU, yakni pedoman audit dana kampanye dan pedoman pelaporan dana kampanye. Pedoman yang pertama akan menjadi pegangan bagi para auditor, sedangkan pedoman kedua menjadi panduan bagi peserta pemilu. Hingga saat ini, KPU belum juga menyusun pedoman yang dimaksud.

Pada sisi kesiapan pengelola dana kampanye peserta pemilu, hal yang paling mencemaskan adanya jika mereka tidak dapat mengelola dan mengadministrasikan secara jujur dan benar berbagai dokumen yang dibutuhkan untuk pelaksanaan audit dana kampanye. Belajar dari pengalaman Pemilu 2004 dan pilkada di banyak daerah, laporan dana kampanye peserta pemilu menyiratkan kebohongan atau penipuan. Temuan adanya penyumbang fiktif, jumlah sumbangan yang tidak sesuai, tidak dicatatnya sumbangan, dan ditemukannya berbagai laporan dana kampanye yang tidak didukung oleh bukti yang memadai sangat mungkin terulang pada Pemilu 2009.

Jalan keluar

Dengan berbagai kendala yang berpotensi mengancam pelaksanaan audit dana kampanye, KPU dapat melakukan beberapa hal darurat. Karena kendala audit lahir dari faktor yuridis-formal, KPU harus secepatnya mengupayakan adanya terobosan hukum. Ada dua jalan yang dapat ditempuh oleh KPU. KPU dapat mendorong DPR atau pemerintah melakukan amendemen UU Pemilu terhadap beberapa pasal yang menyulitkan pelaksanaan audit dana kampanye. Karena masalahnya ada pada jurang angka yang tinggi antara entitas laporan dana kampanye dan ketersediaan KAP, usulan amendemen diarahkan terutama untuk memberi ruang bagi sumber daya auditor lain, seperti BPK atau BPKP, untuk dapat terlibat dalam melakukan audit, sekaligus desakan untuk memperpanjang waktu pelaksanaan audit dana kampanye.

Memang langkah ini secara politik akan lebih sulit, mengingat DPR sebagai lembaga politik tentu saja memiliki kepentingan terhadap kondisi lapangan yang tidak memungkinkan pelaksanaan audit dilakukan dengan benar. Di luar amendemen, KPU bisa saja menempatkan situasi ini sebagai darurat, sehingga Presiden bisa didesak membuat perpu yang secara substansial memiliki kesamaan gagasan dengan agenda amendemen UU Pemilu.

Pekerjaan rumah KPU selanjutnya adalah mempercepat lahirnya pedoman pelaksanaan audit dana kampanye dan pelaporan dana kampanye. Harus diingat bahwa kegiatan kampanye sebenarnya sudah berlangsung sejak beberapa bulan yang lalu. Peserta pemilu, baik partai politik maupun perorangan, pastinya sudah mulai mencari sumber-sumber pendanaan kampanye sekaligus membelanjakan dana kampanye mereka.

Tanpa diikuti oleh pedoman yang pasti dari KPU, laporan dana kampanye peserta pemilu tidak akan memenuhi kaidah dan standar pelaporan yang benar, sehingga menyulitkan KAP untuk melakukan audit. Tidak hanya itu, laporan dana kampanye peserta pemilu pada akhirnya tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Dengan kata lain, ada kemungkinan laporan dana kampanye dimanipulasi oleh peserta pemilu. *

Tulisan disalin dari Harian Tempo, Rabu, 12 November 2008

Wacana Pembentukan KPK Perwakilan

Sekarang berkembang wacana bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan membentuk KPK perwakilan. Mengenai kapan dan di mana saja KPK perwakilan akan dibentuk, belum ada informasi yang menjelaskan.


Jika memang rencana ini sudah matang, tentu tidak ada halangan yuridis-formal karena Undang- Undang (UU) No 30/2002 tentang KPK memungkinkan hal itu terjadi. Pasal 19 ayat (2) UU KPK menyebut KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Kabar ini tentu saja sangat menggembirakan, khususnya bagi masyarakat di berbagai belahan Indonesia yang selama ini menuntut dibentuknya KPK daerah.

Alasan utama yang paling sering disinggung adalah karena mereka tidak lagi dapat memercayai kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kasus-kasus korupsi. Harapan satu-satunya untuk dapat melihat keadilan ditegakkan bagi masyarakat kebanyakan hanya ada di tangan KPK. Berdirinya KPK dalam waktu cepat telah menumbuhkan kepercayaan publik atas pemberantasan korupsi.

Sepak terjang KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang melibatkan pejabat publik dianggap masyarakat mampu menghadirkan proses hukum yang sesungguhnya. Bukan penegakan hukum pura-pura, dagelan, apalagi proses hukum korupsi yang diselimuti oleh praktik korupsi. Kritik terhadap KPK memang tetap ada,namun hal itu lebih sebagai upaya publik mengawasi KPK supaya proses penegakan hukum tidak tebang pilih, diskriminatif, dan manipulatif.

Jika kabar KPK perwakilan mencerminkan besarnya harapan publik atas penegakan hukum di berbagai daerah, rencana itu sekaligus mencerminkan gagalnya aparat penegak hukum konvensional seperti kejaksaan dan kepolisian menempatkan agenda reformasi internal mereka sebagai aparat penegak hukum yang profesional, jujur, dan berintegritas. Masa menunggu KPK yang sudah cukup panjang ternyata tidak dijawab dengan pembenahan.

Pengambilalihan kasus oleh KPK dari aparat kejaksaan dan kepolisian belum cukup dijadikan pelajaran yang berguna.Bahkan usaha (jika memang ada dan sungguh-sungguh) untuk memperbaiki citra kejaksaan, misalnya, justru tercoreng oleh ulah beberapa jaksa nakal yang tertangkap basah melakukan ancaman dan pemerasan. Terakhir,Kepala Kejaksaan Negeri Tilamuta yang dicopot oleh Kejaksaan Agung karena beredar rekaman pembicaraannya yang mengancam, memeras, sekaligus menghina satuan penegak hukum lainnya.

Pengaruh Baik Adanya KPK Perwakilan

Dalam situasi aparat penegak hukum konvensional mengalami kemandekan dalam penanganan kasus korupsi, di sisi lain situasi politik menciptakan korupsi yang kian massif, tentu berharap agar kepolisian atau kejaksaan segera pulih adalah mimpi.

Desakan publik yang terus-menerus agar kejaksaan atau kepolisian menangani kasus korupsi secara serius diimbali dengan macetnya proses hukum. KPK perwakilan hadir untuk menjawab masalah di atas. Dengan modal integritas yang tinggi, profesionalisme yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, kehadiran KPK perwakilan bisa jadi akan dapat mengerem hasrat korupsi yang lahir dari kekuasaan tanpa kontrol.

Sebagaimana kita tahu, berbagai modus korupsi yang muncul di berbagai daerah, kebanyakan diotaki oleh kepala daerah atau anggota legislatif,dengan cara yang kasar dan terang-terangan.Tapi tidak ada daya yang cukup untuk menghentikannya, karena mandulnya fungsi penegakan hukum dari kepolisian dan kejaksaan.

Sebagai jawaban, kehadiran KPK perwakilan akan menciptakan suasana yang lebih ”menakutkan”, sehingga pejabat publik tidak lagi dapat dengan mudah menggelapkan uang negara untuk kepentingan pribadinya. Dana negara kelak akan lebih dapat dikontrol, sehingga pengalokasian dan penggunaannya akan sesuai harapan publik.

Dampak Negatif

Di luar pengaruh positif yang dapat diberikan atas kehadiran KPK perwakilan, tampaknya kita juga harus memikirkan dampak negatifnya, atau paling tidak kemungkinan terburuk yang bisa muncul.Terutama jika dikaitkan dengan visi dan misi KPK yang strategis.

Sebagaimana kita tahu,posisi dan peran KPK sebenarnya adalah trigger mechanism. Artinya, KPK didesain untuk mendorong dan memicu lahirnya semangat dan tradisi baru dalam penegakan hukum, khususnya bagi aparat penegak hukum konvensional. Salah satu latar belakang berdirinya KPK adalah karena aparat penegak hukum konvensional telah gagal dalam mengemban amanat konstitusi, yakni melakukan pemberantasan korupsi.

Kehadiran KPK dimaksudkan untuk memberikan teladan, contoh, dan model penegak hukum yang memiliki integritas,profesionalitas, dan independensi yang tinggi. Dengan hadirnya KPK perwakilan, ada kesan yang muncul bahwa KPK akan menggantikan posisi kejaksaan dan kepolisian. Padahal, sejatinya KPK tidak dimaksudkan untuk sampai pada titik ini.

KPK lebih banyak diharapkan dapat memberantas korupsi yang melibatkan pejabat negara dan aparat penegak hukum yang selama ini tidak dapat disentuh oleh aparat penegak hukum konvensional. Pendek kata, tujuan KPK dilahirkan, salah satu yang strategis, adalah memberantas korupsi yang memiliki hambatan politik dan hukum besar. Bukan untuk menangani semua kasus korupsi. Apabila KPK disibukkan dengan berbagai penanganan kasus korupsi, KPK akan menjadi tidak fokus, sehingga melupakan hal-hal yang strategis.

Menghadirkan KPK perwakilan juga berarti pertaruhan integritas.Sebuah kondisi yang sulit dipertahankan dalam level yang paling tinggi saat rentang kendali kian jauh.Dalam ilmu manajemen standar, rentang kendali akan sangat memengaruhi efektivitas dari kontrol itu sendiri. Dengan demikian, tantangan KPK perwakilan adalah bagaimana mereka dapat memastikan bahwa integritas dari orang-orang yang kelak akan mengisi jabatan KPK perwakilan dapat dijaga dengan baik.

Kasus AKBP Suparman, seorang mantan penyidik di KPK yang melakukan pemerasan terhadap saksi di bawah ancaman telah membuka kewaspadaan semua pihak bahwa setiap saat,siapa pun yang ada di KPK,akan dapat tergelincir,menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk korupsi.

Dengan posisi yang jauh dari kendali, pertanyaan mendasarnya, apakah integritas KPK perwakilan masih dapat dipertahankan sebagaimana orang-orang KPK yang saat ini ada? Memang salah satu formulasi untuk menyelesaikan masalah itu ada pada sistem seleksi di KPK. Sepanjang KPK masih terkungkung pada pemahaman bahwa penyidik KPK harus berasal dari unsur kepolisian dan kejaksaan, sulit bagi KPK untuk menemukan orang-orang yang memiliki integritas tinggi.

Pernyataan ini bukanlah dimaksud untuk menggeneralisasi bahwa semua aparat di kepolisian atau kejaksaan bermasalah.Akan tetapi, sistem dan kultur yang sudah dibangun di kedua lembaga penegak hukum tersebut telah menciptakan sebuah ancaman bagi eksistensi KPK ke depan. Kini,semua pertimbangan itu ada di tangan pimpinan KPK.

Jika memang mereka telah sepakat untuk membentuk KPK perwakilan, tentu beberapa pertimbangan di atas layak untuk diperhatikan. Jangan sampai kemudian pembentukan KPK perwakilan justru akan meruntuhkan citra KPK secara keseluruhan.(*)

Adnan Topan Husodo
Anggota Badan Pekerja ICW

Disalin dari harian Seputar Indonesia, Rabu, 12 November 2008