Seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sudah diselesaikan oleh Panitia Seleksi KPK, telah menghasilkan 10 nama. Panitia Seleksi sendiri sudah menyerahkan nama-nama tersebut kepada Presiden, sesuai dengan mekanisme pemilihan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Presiden kemudian akan menyerahkan 10 nama tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat, khususnya Komisi III, untuk dilakukan fit and proper test. Idealnya, Komisi III akan memilih 5 terbaik dari 10 nama yang disampaikan Presiden sebagai pemimpin KPK. Tapi apakah sedemikian mudah skenarionya?
Pada awalnya, ada harapan besar kepada Panitia Seleksi KPK untuk dapat menempatkan 10 kandidat terbaik. Terutama karena sifat akomodatif Panitia Seleksi terhadap masukan yang datang dari berbagai kelompok masyarakat. Sejak awal keinginan panitia untuk melibatkan masyarakat dalam memberikan masukan atas proses seleksi memberikan sebuah optimisme bahwa penyaringan pemimpin KPK jilid II akan lebih baik hasilnya jika dibandingkan komposisi pemimpin KPK jilid I.
Namun, nyatanya, proses yang baik tidak selamanya menghasilkan pilihan yang diharapkan. Di antara 10 nama pilihan Panitia Seleksi itu ternyata tersimpan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan harapan publik bahwa pemberantasan korupsi akan semakin efektif.
Masalah ini dimulai dari sebuah persepsi yang sangat keliru, jika tidak dibilang abai, bahwa komposisi pemimpin KPK mengandaikan adanya kuota. Kuota atau dalam bahasa lain disebut politik afirmasi terutama kuat bercokol dalam benak beberapa anggota Panitia Seleksi yang berangkat dari penafsiran atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat dalam penjelasan UU KPK. Adanya unsur pemerintah diperkuat oleh Pasal 21 ayat 4 UU dimaksud, yang mengatakan bahwa pemimpin KPK adalah penyidik dan penuntut umum yang kemudian ditafsirkan sebagai kejaksaan dan kepolisian.
Karena adanya kuota tersebut, dalam proses seleksi calon pemimpin KPK jilid II, di antara 10 nama kandidat harus ada yang berlatar belakang kepolisian dan kejaksaan. Persoalannya menjadi sangat kontradiktif mengingat pertimbangan dasar bagi Panitia Seleksi dalam memilih kandidat adalah pada track record atau rekam jejak.
Dengan adanya kuota, mau tidak mau Panitia Seleksi sebenarnya telah menempatkan catatan rekam jejak calon sebagai pertimbangan yang tidak terlalu penting. Pilihannya kemudian hanya sebatas, mana yang paling baik di antara satu jaksa dan jaksa yang lain, di antara satu polisi dan polisi yang lain.
Jika kesemuanya memiliki catatan buruk, Panitia Seleksi KPK harus mengambil yang terbaik di antara yang paling buruk. Proses seperti inilah yang kemudian menyisakan petaka bahwa ada beberapa kandidat yang memiliki catatan jejak rekam buruk tapi tetap dimajukan sebagai kandidat.
Sebenarnya, jika Panitia Seleksi konsisten dengan alat saring yang bernama rekam jejak, 10 nama terbaiklah yang muncul. Kondisi ideal ini akan menyulitkan Komisi III DPR RI, yang akan melakukan fit and proper test, untuk bermanuver. Namun, dengan hasil Panitia Seleksi saat ini, kemudian ada yang mempercayai bahwa Komisi III akan memilih yang paling baik di antara 10 nama yang disodorkan Panitia Seleksi, lebih baik segera bangun dari mimpi indahnya.
Selain persoalan kuota yang melahirkan kecemasan publik, tampaknya Panitia Seleksi juga tidak tuntas dalam melihat kebutuhan KPK ke depan. Hasil evaluasi terhadap kinerja KPK jilid I telah dengan gamblang menjelaskan bahwa tidak ada satu pun aparat penegak hukum yang kasusnya diproses oleh KPK selama kurun waktu penegakan hukum. Sulit untuk mengatakan bahwa hal itu bukan karena faktor adanya unsur jaksa dan polisi dalam komposisi pemimpin KPK.
Jika kita coba kembali merujuk pada semangat dasar lahirnya KPK, dari sana alasan lahir untuk menolak unsur jaksa dan polisi sebagai pemimpin KPK. Sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan UU KPK, lahirnya KPK merupakan langkah progresif untuk menempatkan pemberantasan korupsi pada lembaga yang independen dan memiliki kewenangan extraordinary, mengingat pemberantasan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum lainnya tidak berjalan efektif. Bahkan lebih jauh pemberantasan korupsi oleh kejaksaan dan kepolisian telah melahirkan bentuk korupsi lainnya, yakni judicial corruption.
Karena itu, salah satu mandat utama KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat 1 UU KPK, adalah melakukan pemberantasan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Hal ini menjadi suatu langkah yang paling penting jika dalam kurun waktu tertentu target yang harus dicapai oleh KPK adalah mengembalikan efektivitas penegakan hukum. Tapi, jika sampai berakhirnya tugas pemimpin KPK jilid I tidak ada upaya apa pun untuk membersihkan institusi penegak hukum lain, sebenarnya KPK dapat dianggap gagal dalam menjalankan misi besarnya.
Jikapun ada unsur dari kejaksaan dan kepolisian yang dianggap paling baik untuk menjadi pemimpin KPK, itu juga merupakan langkah yang salah. Untuk saat ini, orang-orang seperti itu justru sangat dibutuhkan oleh korpsnya sendiri dalam rangka membenahi kondisi internal kejaksaan dan kepolisian. Jika orang-orang terbaik dari kejaksaan dan kepolisian justru harus ditempatkan di KPK, hal itu sama artinya dengan memperpanjang masa bagi bercokolnya budaya koruptif di institusi mereka sendiri.
Apalagi kemudian jika yang dipilih adalah bukan orang terbaik dari mereka. KPK yang memiliki target besar untuk memberantas korupsi secara extra ordinary hanya akan kembali mengalami nasib sama, atau bahkan lebih buruk, ketimbang kinerja pemimpin KPK jilid I. Dalam konteks ini, pertanggungjawaban Panitia Seleksi KPK sebagai pihak yang dipercaya Presiden untuk menyaring kandidat adalah membuat KPK jilid II jauh lebih efektif dibandingkan dengan KPK jilid I.
Namun, tampaknya kini yang terjadi justru sebaliknya. Panitia Seleksi KPK telah memberikan bola liar kepada Komisi III DPR RI untuk memilih kandidat yang sesuai dengan selera politik mereka. Kita tidak menganggap bahwa semua anggota Komisi III memiliki agenda politik tertentu, tapi dalam fit and proper test nanti yang akan menang adalah yang paling kuat, bukan yang paling baik.
Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
(Tulisan dimuat pada Koran Tempo, Selasa, 2 Oktober 2007)