Monday, May 08, 2006

Membakar Kampung Maling

Lagi, upaya pemberantasan tindak kejahatan dicederai oleh tindakan koruptif aparat penegak hukum. Atmosfer penegakan hukum diselimuti awan hitam tak berbatas. Daya jangkaunya melebihi kemampuan angin kejujuran mengusirnya. Baru saja tuntutan aneh -tiga tahun untuk kepemilikan 20 kg sabu-sabu- dibuat oleh empat Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, tak lama kemudian pengadilan kasus Jamsostek ikut menyemarakkan. Ahmad Djunaedi terpidana kasus Jamsostek tiba-tiba menyanyi. Ia sudah menyerahkan dana ratusan juta rupiah untuk jaksa.

Slide hidup yang memampangkan kenyataan konkret diatas sayang sekali kerap kehilangan jati diri kebenarannya oleh karena minus fakta hukum. Tak ayal, sulit menyeret aparat penegak hukum ke suatu arena pembuktian bahwa mereka telah melakukan korupsi karena jejak kejahatannya hampir tidak pernah ditinggalkan. Yang tersisa adalah sumpah serapah para terdakwa, yang meskipun sudah membayar ongkos kebebasan, tetap divonis bersalah oleh pengadilan.

Mirisnya, daya dukung optimum yang seharusnya lahir dari kepemimpinan baru di institusi penegak hukum untuk memberantas korupsi di lingkungannya sendiri terasa jauh dari asa. Respon yang datar, bahkan cenderung defensif ketika menanggapi adanya indikasi pemerasan atau penyuapan yang melibatkan aparatur penegak hukum kental dengan spirit melindungi korps. Walhasil pemeriksaan internal terhadap mereka yang tersebut namanya menerima sogokan dalam penanganan perkara dilakukan dengan tertutup, diam-diam dan lemah akuntabilitasnya. Tak salah jika kemudian muncul istilah ’kampung maling’. Kalimat itu sejatinya hendak menegaskan bahwa institusi penegak hukum sudah sedemikian rusaknya.

Yang perlu menjadi catatan kritis, selama ini instrumen pengawas internal pada masing-masing lembaga peradilan tak kuasa mengikuti kegilaan perilaku koruptif aparat yang demikian kronis. Pendekatan oknum dalam melihat gejala korupsi di institusi penegak hukum sama sekali tidak dapat mengungkap praktek mafia peradilan yang berkembang sangat sistematis. Sebabnya perbuatan oleh oknum hanya dapat dialamatkan pada tindak kejahatan yang bersifat individual saja.

Namun ketika sebuah kejahatan sudah sedemikian luar biasa, dalam arti telah menjadi ritus dalam nafas sehari-hari lembaga penegak hukum, karena melibatkan hampir sebagian besar pegawai, maka cara-cara yang biasa untuk menangkalnya dapat dipastikan tak berdaya. Bukan hanya karena cara-cara biasa tidak memiliki cukup kemampuan untuk menghantamnya, akan tetapi cara-cara biasa nyatanya telah menjadi bagian dari mesin korupsi itu sendiri.

Oleh karena itu, proses pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas internal terhadap orang dalam yang nakal dapat dipastikan berujung kompromi. Satu per satu kasus dilihat sebagai kesalahan prosedur dan administrasi, sehingga mutasi adalah rekomendasi paling keras yang bisa dihasilkan. Mungkin benar kata seorang teman, aparat penegak hukum sangat berani melakukan korupsi karena mereka tahu betul bahwa merekalah yang akan mengadili diri mereka sendiri, bukan orang lain.

Lemahnya political will, mandulnya instrumen pengawasan internal dan gagapnya aturan hukum dalam merespon kejahatan mafia peradilan menjadi kombinasi faktor yang membuat korupsi di tubuh aparat penegak hukum sulit diberantas. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah gebrakan besar yang mengarah pada upaya untuk menyusun strategi pemberantasan korupsi di peradilan (judicial corruption) dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary).

Pendekatan extra-ordinary dalam memberantas mafia peradilan harus dimulai dari perubahan pandangan bahwa judicial corruption bukanlah kejahatan individual, biasa dan sporadis, namun sudah sangat massif, sistematis, terus menerus dan menyebabkan dampak kerusakan yang luar biasa. Kerusakan itu meliputi hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum, munculnya kebiasaan main hakim sendiri, sulitnya mendapatkan akses keadilan, sulitnya menjerat aktor utama dalam tindak kejahatan (korupsi), tiadanya kepastian hukum dan runtuhnya makna teks hukum karena apa yang ditulis sangat berbeda dengan apa yang terjadi.

Meskipun demikian, gebrakan untuk melibas mafia peradilan tidak cukup hanya berhenti pada perubahan pandangan. Selanjutnya perlu diikuti dengan tindakan dan aksi konkret yang dapat diarahkan pada beberapa aspek strategis kebijakan pemberantasan korupsi. Kebijakan yang berhubungan dengan problem struktural, yakni ranah kebijakan dimana aparat penegak hukum perlu mengalami pembersihan besar-besaran (sterilisasi) dengan memulai meletakkan ukuran-ukuran yang objektif (integritas dan profesionalisme) dalam proses rekrutmen, mutasi dan promosi. Menempatkan orang-orang bermasalah pada posisi strategis karena tidak mempertimbangkan rekam jejaknya hanya akan memperpanjang usia rezim mafia peradilan.

Karena posisi aparat penegak hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan fungsi lembaga negara, maka setiap cela yang muncul dalam penanganan perkara kejahatan maupun yang berhubungan dengan ketidaktaatan terhadap kewajiban tidak dapat direduksi hanya sekedar pelanggaran sepele. Disini letak keteladanan dari pimpinan institusi penegak hukum menjadi sangat menentukan. Oleh karena itu, tindakan tegas untuk mengandangkan aparat penegak hukum bermasalah tidak hanya bisa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan biasa, tapi perlu keberanian untuk menon-aktifkan siapapun yang sedang diperiksa sebagai wujud dari keseriusan dalam memberantas mafia peradilan.

Semua sudah faham jika jejak mafia peradilan nyaris tanpa bekas. Sementara konsepsi pemberantasan korupsi yang telah diatur dalam berbagai perundang-undangan saat ini dirasa sangat konservatif karena mandul dalam mengendus dan memidana pelaku judicial corruption. Yang paling mungkin untuk melacak adanya perbuatan korupsi dalam penanganan perkara adalah dengan mengukur harta kekayaan yang dimiliki. Sayangnya, mekanisme pelaporan harta kekayaan pejabat negara kepada KPK belum bisa menjadi instrumen yang efektif untuk meredam perilaku koruptif aparat penegak hukum. Hal ini karena tidak diikuti oleh sebuah mekanisme bahwa setiap temuan yang mencurigakan dari pelaporan harta kekayaan seharusnya dibuktikan sendiri oleh pemiliknya. Jika fungsi pembuktian secara hukum masih dibebankan kepada penyidik, maka dapat dipastikan bahwa praktek mafia peradilan akan terus berlanjut. Oleh karenanya, penerapan sistem pembuktian terbalik murni –bukan pembuktian terbolak-balik- harus menjadi satu bagian penting dalam memberantas mafia peradilan.

Bagian lain yang tak kalah penting adalah soal keberadaan saksi. Dalam berbagai kasus mafia peradilan yang terungkap, posisi saksi sangat signifikan. Bisa jadi saksi itu adalah korban atau pelaku, namun jika target pemberantasan korupsi diarahkan pada upaya membersihkan institusi penegak hukum, maka prioritas penanganan kasus harus diarahkan pada aparat penegak hukum itu sendiri. Sebaliknya, saksi harus mendapatkan perlindungan yang maksimal supaya dapat secara bebas membeberkan siapa-siapa saja aparat yang terlibat. Namun jika saksi masih dalam posisi tertekan, bahkan bisa dipidanakan karena pasal pencemaran nama baik misalnya, maka mimpi untuk membakar ’kampung maling’ sulit untuk dilakukan.