Tahapan Pemilu 2009 kini memasuki proses uji publik atas daftar sementara calon legislator. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu telah mengumumkan daftar sementara ini melalui berbagai media, baik cetak, elektronik, maupun website resmi KPU. Banyak kritik yang disampaikan atas metode pengumuman itu, terutama karena informasi mengenai calon legislator tidak terlalu detail sehingga menyulitkan publik untuk menilai dan menelusuri, sekaligus dianggap sekadar upaya menggugurkan kewajiban KPU belaka.
Padahal sejatinya tahapan ini merupakan tahapan krusial, ketika partisipasi publik seluas mungkin dapat dimaksimalkan untuk memotong para calon legislator bermasalah. Berharap KPU menyaring persyaratan administratif semua calon legislator yang didaftarkan oleh partai politik peserta pemilu hampir bisa dikatakan mustahil. Karena itu, peran masyarakat luas untuk menyampaikan data, informasi, dan masukan mengenai calon legislator bermasalah seharusnya diakomodasi seefektif mungkin oleh KPU.
Dari penelusuran mandiri yang dilakukan oleh LSM pemantau pemilu, paling tidak ada beberapa masalah calon legislator yang ditemukan. Masalah pertama adalah ditemukannya beberapa calon legislator yang terdaftar pada lebih dari satu partai. Praktek ini tak hanya melanggar persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008, tapi juga mengisyaratkan adanya perilaku mengadu untung. Jika di satu partai dirinya tidak lolos, masih terbuka kemungkinan mendapatkan kursi di partai yang lain.
Masalah pelanggaran syarat administratif berikutnya adalah indikasi penggunaan ijazah palsu oleh calon legislator, sehingga dapat memenuhi syarat minimum sebagaimana UU Pemilu telah mengaturnya. Persoalan ini sebenarnya bisa dibawa ke ranah pidana umum, karena sudah masuk adanya unsur pemalsuan terhadap dokumen yang diterbitkan oleh negara.
Persoalan yang tidak kalah pelik adalah tetap lolosnya para calon legislator yang sedang menjalani proses hukum, baik yang menyandang status sebagai tersangka maupun terdakwa kasus korupsi. Ihwal yang terakhir ini cukup problematis bagi KPU, karena UU Pemilu Pasal 12 huruf (g) mengenai persyaratan DPD maupun Pasal 53 huruf (g) mengenai persyaratan DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota menyebutkan bahwa calon legislator akan gugur dengan sendirinya jika terbukti pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Dengan demikian, jika partai politik tetap mencalonkan kandidat DPR maupun DPRD padahal diketahui mereka masih tersangkut oleh kasus pidana yang belum dalam status berkekuatan hukum tetap, sangat sulit bagi KPU untuk menggugurkannya. Pagar yang secara eksplisit menyatakan demikian membuat KPU, seprogres apa pun mereka, tidak dapat berbuat lebih jauh, kecuali mengikuti aturan main yang telah dibuat.
Berbagai masalah calon legislator yang ditemukan oleh kelompok masyarakat sipil yang bergiat dalam pemantauan pemilu di atas mencerminkan masalah serius dalam tubuh partai politik. Kesan yang timbul adalah bahwa partai politik tidak memiliki mekanisme yang ketat dan sistem yang akuntabel serta transparan dalam melakukan perekrutan calon legislator.
Hal ini merupakan sebuah dilema dalam berdemokrasi di Indonesia. Partai politik sebagai lembaga demokrasi pada saat ini justru menunjukkan gejala antidemokrasi. Partai politik, yang seharusnya memupuk para kader pemimpin bangsa yang mumpuni, justru melahirkan para calon pemimpin yang kebanyakan bermasalah.
Jika kita coba lucuti lebih jauh perkaranya, kita dapat menunjuk bahwa persoalan terbesar partai politik di Indonesia adalah karena kuatnya rezim oligarki. Kekuatan segelintir orang yang menjadi “pemilik sah” partai politik berpadu dengan berbagai kepentingan dari kelompok hitam yang memiliki kekuatan uang, membuat korupsi dalam tubuh partai politik sendiri tidak dapat dihindari.
Fenomena maraknya seat buying dalam proses perekrutan calon legislator menunjukkan hal tersebut. Sehingga siapa pun mereka, dari mana pun asalnya, apa pun yang akan dikerjakan kelak ketika menjadi pejabat publik, memiliki peluang besar untuk menjadi calon legislator jika ditopang oleh kecukupan uang. Nomor kursi atau nomor urut calon legislator menjadi ajang yang menggiurkan bagi elite partai untuk mendapatkan biaya politik.
Tak dapat dimungkiri bahwa penilaian terhadap calon legislator di lingkup internal partai juga menyertakan isu senioritas, loyalitas, dan skema kaderisasi. Namun, unsur adanya transaksi jual-beli kursi adalah hal yang tidak dapat dilepaskan dari proses rekrutmen itu sendiri. Hal ini akan tampak nyata dari berbagai gejolak dan konflik internal partai manakala proses penentuan nomor urut memasuki tahap final.
Kekecewaan, sakit hati, dan marah dari para calon legislator dan pendukungnya sering kali bukan karena masalah yang dapat dinilai argumentasinya, melainkan lebih pada soal bahwa mereka telah mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit tapi mendapatkan nomor urut calon legislator yang rawan kalah. Ketergantungan pada nomor urut sekaligus juga menandakan tiadanya kesiapan para calon legislator untuk bertarung head to head*dengan rival mereka dalam suasana yang demokratis, kecuali hanya berlindung dan berharap dari raupan suara partai politik itu sendiri.
Setting aturan pemilu yang dibuat oleh DPR juga menunjukkan fenomena kuatnya oligarki dalam tubuh partai politik. Siapa pun yang waras pasti akan tidak setuju jika dalam waktu yang bersamaan ada calon legislator menyandang status tersangka atau terdakwa kasus korupsi, meski belum dijatuhi hukuman yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Persoalannya bukan pada asas praduga tak bersalah, melainkan dalam kompetisi politik yang menuntut ketatnya aspek moralitas dan kebersihan para pesertanya. Maka keterlibatan para calon legislator yang masih terkait dengan kasus hukum dengan sendirinya telah mengurangi esensi dari pemilihan pejabat publik itu sendiri (pemilu).
Bahwa kemudian partai politik tetap mempertahankan mereka yang dikategorikan bermasalah oleh publik, ini merupakan hal yang sangat mudah dijelaskan. Seperti kita tahu bahwa mereka yang saat ini diduga kuat terlibat dalam berbagai skandal suap merupakan bagian dari lapis atas di partai politik. Tentunya sangat mustahil jika elite partai menggusur dirinya sendiri karena masalah korupsi.
Karena itu, wajar jika bunyi atau aturan UU juga memberikan sedemikian rupa kemudahan dan ruang yang sangat longgar bagi calon legislator bermasalah untuk maju ke pertarungan pemilu. Berharap dari politikus itu sendiri pun sangat tidak mungkin. Sosok politikus elegan adalah hal yang sangat langka. Mundur dari pencalonan sebagai bentuk kesadaran bahwa dirinya tidak ingin mencemari pemilu merupakan sesuatu yang masih ajaib di Indonesia.
Dalam situasi yang demikian, mendobrak oligarki hanya dapat dilakukan oleh para pemilih yang kritis. Sepertinya harapan untuk mereformasi partai politik masih terbuka. Pemilu adalah ajang untuk mengevaluasi partai politik beserta calon legislatornya. Hancurnya suara dari para partai politik besar dalam berbagai pilkada sedikit banyak menunjukkan bahwa partai politik bermasalah akan kembali diberi pelajaran dalam Pemilu 2009. *
Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW
Tulisan disalin dari Koran Tempo, 22 Oktober 2008
blogger ini dibuat untuk mencatat, menulis, merekam dan menyampaikannya kepada siapapun mengenai apa-apa yang ada dalam pikiran, benak dan aktivitas, baik sebagai pribadi maupun sebagai pekerja sosial
Friday, October 24, 2008
Sunday, October 19, 2008
Menyelesaikan Agenda Reformasi Bisnis TNI
Sudah banyak tulisan atau penelitian yang secara khusus mengupas soal keterkaitan langsung antara peran ekonomi militer dengan berbagai tindak kejahatan, kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada bentuk pelanggaran HAM. Hampir semua kesimpulan kajian tersebut sepakat bahwa peran ekonomi militer, yang secara lebih khusus didefinisikan sebagai bisnis militer harus dilepaskan dari peran kelembagaan militer untuk mendorong semakin profesionalnya militer dalam memposisikan dirinya sebagai alat negara, bukan aktor ekonomi.
Selama ini, alasan klasik yang memberikan justifikasi atas praktek bisnis militer adalah untuk memenuhi kesejahteraan prajurit. Hal ini dikarenakan anggaran negara (APBN) tidak dapat menopang secara keseluruhan kebutuhan itu.
Namun dalam perjalanannya, alasan tersebut ditunggangi oleh berbagai kepentingan individual perwira dan jenderal TNI yang sangat diuntungkan dengan berbagai fasilitas, pendanaan yang melimpah dan posisi yang prestis sehingga usaha untuk mendorong adanya reformasi bisnis militer terkendala oleh berbagai rintangan internal. Jurang kesejahteraan yang lebar antara perwira dengan prajurit kian menegaskan hal itu.
Catatan dari penelitian dan analisis terhadap beberapa dugaan kasus korupsi yang dilakukan ICW pada kurun 2003 dan 2004 juga menemukan berbagai bentuk penyimpangan dalam praktek bisnis militer. Mulai dari penggunaan yang semena-mena dana yayasan untuk kepentingan pribadi (korupsi) dan adanya fasilitas khusus yang diberikan oleh perusahaan kepada perwira TNI yang kesemuanya berujung pada usaha memupuk kekayaan pribadi. Tak heran jika para perwira TNI hidup dalam kemewahan.
Jika selama ini bentuk bisnis militer dibagi kedalam tiga jenis, yang saat ini menjadi konsenterasi pemerintah untuk diselesaikan adalah bisnis formal militer yang mewujudkan dirinya dalam bentuk yayasan.
Sementara untuk jenis kedua bentuk bisnis lainnya, yakni bisnis mantan perwira dan perwira TNI serta bisnis abu-abu TNI selama ini tidak menjadi objek yang telah dijangkau oleh UU No 34 tahun 2004 tentang TNI. Padahal kemungkinan besar, yang selama ini melahirkan berbagai bentuk pelanggaran HAM adalah ekses dari praktek bisnis militer yang abu-abu atau illegal.
Paling kurang ada empat implikasi buruk jika praktek bisnis illegal TNI tidak diperangi. Pertama, lahirnya privatisasi rasa aman terhadap siapapun yang tinggal di Indonesia. Ketika TNI, kesatuan TNI atau anggota TNI telah menjadikan rasa aman sebagai komoditas, maka akan sangat sulit bagi warga negara untuk mendapatkan rasa aman secara cuma-cuma dari negara. Padahal tanggungjawab kelembagaan TNI sebagai alat negara adalah memberikan perasaan aman kepada siapapun tanpa ada pungutan biaya.
Kita tentu masih ingat skandal Freeport yang telah memberikan sejumlah US$ 4,7 juta pada tahun 2001 dan US$ 5,6 juta pada tahun 2002 kepada pemerintah Indonesia cq TNI dan Polri untuk membayar jasa keamanan di Papua.
Yang mengkhawatirkan, uang itu dibayarkan kepada Jenderal Mahadi Simbolon secara teratur dan secara pribadi, bukan kepada perwakilan pemerintah Indonesia (Laporan Global Witness Tahun 2005). Pertanyaannya, sejak kapan dan atas dasar apa Jenderal Mahadi Simbolon mewakili Pemerintah Indonesia menerima 'bantuan' dari PT Freeport?
Kedua, jatuhnya TNI sebagai institusi yang melindungi praktek-praktek kejahatan seperti pelacuran, narkotika, pembalakan liar dan lain sebagainya. Secara lebih ekstrem, anggota TNI juga kemudian dapat terlibat secara langsung sebagai aktor kejahatan yang sempurna. Di satu sisi mereka memiliki legitimasi untuk menggunakan kekerasan, di sisi lain mereka memberikan proteksi terhadap pelaku kejahatan atau bekerjasama dengan pelaku kejahatan.
Ketiga, praktek illegal dalam bisnis TNI telah membuat kontrol publik atas kebijakan TNI sangat lemah. Jika sebuah negara yang demokratis memiliki asumsi kekuasaan sipil sebagai pemegang kekuasaan, maka dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, representasi sipil dalam melakukan kontrol atas kebijakan TNI menjadi sangat minim karena TNI bisa mengupayakan sumber-sumber pembiayaan lain yang tidak dapat dijangkau oleh DPR lembaga politik maupun BPK sebagai auditor.
Keempat, terjadinya pergesekan yang termanifestasikan dalam bentuk konflik langsung antar aparat penegak hukum (TNI versus Polri). Eskalasi konflik dalam kurun waktu terakhir kian meningkat. Sebagian besar konflik itu dipicu oleh masalah yang ringan, akan tetapi jika kita gali lebih jauh, masalahnya adalah pada adanya klaim atas wilayah kekuasaan masing-masing satuan yang ujung-ujungnya adalah wilayah proteksi dan sumber setoran.
Bicara mengenai kontrol atas anggaran militer tidak semata-mata bicara mengenai berapa nilai atau jumlah yang bisa disediakan dan berapa yang digunakan. Akan tetapi juga berkaitan erat dengan output dan outcomes yang akan dicapai dari struktur pembiayaan yang ada. Dengan demikian, bicara mengenai kontrol anggaran TNI juga berarti berbicara mengenai bagaimana kekuasaan sipil dapat mengendalikan setiap kebijakan, strategi, arah dan operasi TNI secara kelembagaan.
Titik rawan bisnis militer justru ada pada wilayah abu-abu yang ilegal. Disamping telah meruntuhkan moralitas keprajuritan dan etika politik dalam pelaksanaan fungsi hankam TNI, praktek bisnis ilegal telah membuat eskalasi konflik yang kian meningkat antara TNI dan Polri. Meningkatnya tindak kejahatan dan berbagai konflik/ketakutan dapat dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dampak bisnis ilegal TNI selama ini.
Oleh karena itu, tidaklah cukup meletakan agenda reformasi bisnis TNI semata-mata pada wilayah bisnis formal sebagaimana perintah UU No 34 Tahun 2004. Menyelesaikan reformasi bisnis formal TNI adalah keharusan karena merupakan bagian dari mandat UU, akan tetapi jalan terjal menuju TNI yang profesional akan tetap dihadapi jika bisnis illegal TNI (yang sampai sekarang tidak pernah diakui oleh TNI secara kelembagaan) bukan menjadi agenda prioritas Pemerintah dan parlemen. Karena menghentikan praktek bisnis illegal TNI akan sangat strategis dalam mengembalikan supremasi otoritas sipil dalam mengendalikan sepak terjang TNI sebagai alat negara.
****
Oleh: Adnan Topan Husodo
Anggota Badan Pekerja ICW
Tulisan dimuat pada harian Seputar Indonesia, Sabtu, 18 Oktober 2008
Selama ini, alasan klasik yang memberikan justifikasi atas praktek bisnis militer adalah untuk memenuhi kesejahteraan prajurit. Hal ini dikarenakan anggaran negara (APBN) tidak dapat menopang secara keseluruhan kebutuhan itu.
Namun dalam perjalanannya, alasan tersebut ditunggangi oleh berbagai kepentingan individual perwira dan jenderal TNI yang sangat diuntungkan dengan berbagai fasilitas, pendanaan yang melimpah dan posisi yang prestis sehingga usaha untuk mendorong adanya reformasi bisnis militer terkendala oleh berbagai rintangan internal. Jurang kesejahteraan yang lebar antara perwira dengan prajurit kian menegaskan hal itu.
Catatan dari penelitian dan analisis terhadap beberapa dugaan kasus korupsi yang dilakukan ICW pada kurun 2003 dan 2004 juga menemukan berbagai bentuk penyimpangan dalam praktek bisnis militer. Mulai dari penggunaan yang semena-mena dana yayasan untuk kepentingan pribadi (korupsi) dan adanya fasilitas khusus yang diberikan oleh perusahaan kepada perwira TNI yang kesemuanya berujung pada usaha memupuk kekayaan pribadi. Tak heran jika para perwira TNI hidup dalam kemewahan.
Jika selama ini bentuk bisnis militer dibagi kedalam tiga jenis, yang saat ini menjadi konsenterasi pemerintah untuk diselesaikan adalah bisnis formal militer yang mewujudkan dirinya dalam bentuk yayasan.
Sementara untuk jenis kedua bentuk bisnis lainnya, yakni bisnis mantan perwira dan perwira TNI serta bisnis abu-abu TNI selama ini tidak menjadi objek yang telah dijangkau oleh UU No 34 tahun 2004 tentang TNI. Padahal kemungkinan besar, yang selama ini melahirkan berbagai bentuk pelanggaran HAM adalah ekses dari praktek bisnis militer yang abu-abu atau illegal.
Paling kurang ada empat implikasi buruk jika praktek bisnis illegal TNI tidak diperangi. Pertama, lahirnya privatisasi rasa aman terhadap siapapun yang tinggal di Indonesia. Ketika TNI, kesatuan TNI atau anggota TNI telah menjadikan rasa aman sebagai komoditas, maka akan sangat sulit bagi warga negara untuk mendapatkan rasa aman secara cuma-cuma dari negara. Padahal tanggungjawab kelembagaan TNI sebagai alat negara adalah memberikan perasaan aman kepada siapapun tanpa ada pungutan biaya.
Kita tentu masih ingat skandal Freeport yang telah memberikan sejumlah US$ 4,7 juta pada tahun 2001 dan US$ 5,6 juta pada tahun 2002 kepada pemerintah Indonesia cq TNI dan Polri untuk membayar jasa keamanan di Papua.
Yang mengkhawatirkan, uang itu dibayarkan kepada Jenderal Mahadi Simbolon secara teratur dan secara pribadi, bukan kepada perwakilan pemerintah Indonesia (Laporan Global Witness Tahun 2005). Pertanyaannya, sejak kapan dan atas dasar apa Jenderal Mahadi Simbolon mewakili Pemerintah Indonesia menerima 'bantuan' dari PT Freeport?
Kedua, jatuhnya TNI sebagai institusi yang melindungi praktek-praktek kejahatan seperti pelacuran, narkotika, pembalakan liar dan lain sebagainya. Secara lebih ekstrem, anggota TNI juga kemudian dapat terlibat secara langsung sebagai aktor kejahatan yang sempurna. Di satu sisi mereka memiliki legitimasi untuk menggunakan kekerasan, di sisi lain mereka memberikan proteksi terhadap pelaku kejahatan atau bekerjasama dengan pelaku kejahatan.
Ketiga, praktek illegal dalam bisnis TNI telah membuat kontrol publik atas kebijakan TNI sangat lemah. Jika sebuah negara yang demokratis memiliki asumsi kekuasaan sipil sebagai pemegang kekuasaan, maka dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, representasi sipil dalam melakukan kontrol atas kebijakan TNI menjadi sangat minim karena TNI bisa mengupayakan sumber-sumber pembiayaan lain yang tidak dapat dijangkau oleh DPR lembaga politik maupun BPK sebagai auditor.
Keempat, terjadinya pergesekan yang termanifestasikan dalam bentuk konflik langsung antar aparat penegak hukum (TNI versus Polri). Eskalasi konflik dalam kurun waktu terakhir kian meningkat. Sebagian besar konflik itu dipicu oleh masalah yang ringan, akan tetapi jika kita gali lebih jauh, masalahnya adalah pada adanya klaim atas wilayah kekuasaan masing-masing satuan yang ujung-ujungnya adalah wilayah proteksi dan sumber setoran.
Bicara mengenai kontrol atas anggaran militer tidak semata-mata bicara mengenai berapa nilai atau jumlah yang bisa disediakan dan berapa yang digunakan. Akan tetapi juga berkaitan erat dengan output dan outcomes yang akan dicapai dari struktur pembiayaan yang ada. Dengan demikian, bicara mengenai kontrol anggaran TNI juga berarti berbicara mengenai bagaimana kekuasaan sipil dapat mengendalikan setiap kebijakan, strategi, arah dan operasi TNI secara kelembagaan.
Titik rawan bisnis militer justru ada pada wilayah abu-abu yang ilegal. Disamping telah meruntuhkan moralitas keprajuritan dan etika politik dalam pelaksanaan fungsi hankam TNI, praktek bisnis ilegal telah membuat eskalasi konflik yang kian meningkat antara TNI dan Polri. Meningkatnya tindak kejahatan dan berbagai konflik/ketakutan dapat dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dampak bisnis ilegal TNI selama ini.
Oleh karena itu, tidaklah cukup meletakan agenda reformasi bisnis TNI semata-mata pada wilayah bisnis formal sebagaimana perintah UU No 34 Tahun 2004. Menyelesaikan reformasi bisnis formal TNI adalah keharusan karena merupakan bagian dari mandat UU, akan tetapi jalan terjal menuju TNI yang profesional akan tetap dihadapi jika bisnis illegal TNI (yang sampai sekarang tidak pernah diakui oleh TNI secara kelembagaan) bukan menjadi agenda prioritas Pemerintah dan parlemen. Karena menghentikan praktek bisnis illegal TNI akan sangat strategis dalam mengembalikan supremasi otoritas sipil dalam mengendalikan sepak terjang TNI sebagai alat negara.
****
Oleh: Adnan Topan Husodo
Anggota Badan Pekerja ICW
Tulisan dimuat pada harian Seputar Indonesia, Sabtu, 18 Oktober 2008
Tuesday, October 07, 2008
Kekuasaan Parlemen yang Tergadai
Tercatat hingga kini puluhan anggota DPR RI dari berbagai komisi telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat korupsi. Beberapa di antaranya bahkan tertangkap tangan saat menerima suap dari pihak ketiga. Jumlah ini sangat mungkin akan bertambah mengingat kasus dugaan suap yang menimpa Komisi IX DPR terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI kian terkuak. Terlebih setelah PPATK menyampaikan informasi mengenai 400 cek pelawat yang telah dicairkan oleh 41 anggota DPR, baik dicairkan sendiri maupun melalui pihak lain.
Dugaan kasus demi kasus korupsi yang menerpa lembaga perwakilan rakyat ini kian menegaskan hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang dalam waktu dua tahun (2006-2007) telah menyimpulkan DPR sebagai lembaga negara terkorup. Pada awalnya, politisi Senayan gerah dengan peringkat korupsi yang disematkan TII. Namun, suara sinis dari para anggota Dewan terhadap hasil penelitian itu pada akhirnya tak terdengar sama sekali, karena sepak terjang KPK yang telah menetapkan beberapa anggota dewan sebagai tersangka korupsi.
Modus
Sejak jatuhnya Orde Baru, Indonesia berada pada rezim kekuasaan sipil yang terbelah. Otoritas sipil tidak lagi berada pada kekuasaan terpusat yang dipersonifikasi dalam diri Soeharto, tetapi menyebar ke berbagai partai politik yang mendapatkan kursi kekuasaan di Senayan.
Dalam struktur kekuasaan politik yang telah terfragmentasi, dalam pengertian menyebar ke berbagai pusat-pusat kekuasaan baru, maka perburuan proteksi, konsesi, dan keistimewaan dari berbagai kelompok kepentingan tidak lagi dilakukan dengan model penukaran loyalitas kepada kekuasaan tunggal. Hal itu hanya bisa diperoleh melalui transaksi atau deal dengan seluruh kelompok kekuasaan yang, dalam konteks DPR, berada di masing-masing fraksi sebagai representasi partai politik.
Hal inilah yang kita lihat dalam kasus skandal korupsi Bank Indonesia. Dalam pengakuan tersangka Hamka Yandhu, semua anggota DPR dari Komisi IX periode 1999-2004 mendapat cipratan dana haram BI. Tidak hanya itu, besarnya jumlah dana yang diterima oleh anggota Komisi IX juga bervariasi, mulai dari Rp 250 juta hingga Rp 1 miliar.
Demikian pula halnya dengan kasus dugaan suap dalam pengalihan hutan lindung di Bintan yang melibatkan Al Amin Nasution sebagai tersangka. Kasus sejenis yang tengah ditangani KPK juga telah menyeret Yusuf Emir Faisal, mantan Ketua Komisi IV DPR RI sebagai tersangka. Dalam pengakuan Azirwan, Sekda Bintan yang juga telah menjadi tersangka, uang suap sudah diberikan secara bertahap kepada DPR, dan bersumber dari calon investor.
Dari penjelasan singkat dua kasus tersebut, kita dapat menarik beberapa kesimpulan awal. Pertama, kasus dugaan suap yang tengah dibongkar KPK bukan hanya melibatkan pelaku yang sifatnya individual, tetapi sudah melibatkan komisi secara kelembagaan. Hal di atas sangat masuk akal, karena untuk mendapatkan keputusan, rekomendasi dan berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu komisi di DPR, sangat mustahil dilakukan hanya dengan menyuap satu orang. Seorang Hamka Yandhu, misalnya, tidak akan pernah bisa mengeluarkan keputusan yang mewakili Komisi IX DPR RI jika tidak mendapatkan persetujuan dari sebagian besar atau semua anggota Komisi.
Kedua, ditetapkannya sebagian kecil anggota DPR sebagai tersangka oleh KPK memang membuat tanda tanya besar. Publik pastinya berharap jika semua anggota Dewan yang terlibat juga diproses secara hukum oleh KPK. Pertanyaannya, mengapa KPK, misalnya, baru menetapkan beberapa tersangka saja, padahal semua anggota Komisi memperoleh bagian suap?
Penjelasan tentang ini sebenarnya mudah. Dalam konteks korupsi di DPR selalu ada satu atau dua orang yang menjadi pelaku lapangan yang berinteraksi langsung dengan pihak ketiga yang memiliki kepentingan dengan komisi di DPR. Bisa dikatakan, Hamka Yandhu dan Anthony Zedra Abidin merupakan penghubung Komisi IX dengan BI, sementara Al Amin Nasution adalah penghubung Komisi IV dengan Pemda Bintan.
Karena interaksi langsung antara pelaku lapangan dan pihak ketiga, maka ketika sebuah skandal suap terungkap, yang pasti akan muncul pertama kali sebagai tersangka adalah mereka. Sementara yang lain lambat laun akan muncul, sebagaimana kita lihat dalam pengakuan Hamka Yandhu kemudian.
Ketiga, skandal suap DPR merupakan praktek kejahatan yang terorganisir. Di dalamnya terdapat struktur, hierarki, dan mekanime yang rapi sehingga akan selalu rumit untuk membongkarnya jika tidak menggunakan pendekatan sebagaimana dilakukan KPK, atau pengakuan dari orang dalam, sebagaimana Agus Condro Prayitno telah lakukan. Sebagaimana kejahatan mafia, dalam praktek korupsi DPR, terdapat pemimpin kejahatan yang perannya adalah mengkoordinasi, menentukan, memerintah dan membagi hasil kejahatan tersebut.
Dalam pengakuan Hamka Yanhu, uang suap dari BI telah dibagikan ke semua anggota Komisi IX DPR dengan jumlah variatif. Dengan demikian, dapat ditebak jika yang mendapatkan jatah paling besar adalah pemimpin rombongan atau aktor utamanya. Tampaknya KPK belum menjangkau sampai ke sana, tetapi dari gelagat yang ada, aktor utama kejahatan suap di DPR adalah incaran utama KPK.
Satu pertanyaan yang kini tersisa, apakah praktek semacam ini juga terjadi di semua komisi di DPR? Jawabannya sangat mungkin. Alasannya sederhana, semua komisi di DPR memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sama. Perbedaannya hanya pada kapasitas atau kemampuan finansial mitra kerja mereka yang beragam, yang juga mempengaruhi besaran suap yang diterima masing-masing anggota Komisi. Jika memang faktanya demikian, lantas apa bedanya wakil rakyat dengan gerombolan perampok? *
Oleh: Adnan Topan Husodo
Disalin dari koran Tempo, 7 Oktober 2008
Dugaan kasus demi kasus korupsi yang menerpa lembaga perwakilan rakyat ini kian menegaskan hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang dalam waktu dua tahun (2006-2007) telah menyimpulkan DPR sebagai lembaga negara terkorup. Pada awalnya, politisi Senayan gerah dengan peringkat korupsi yang disematkan TII. Namun, suara sinis dari para anggota Dewan terhadap hasil penelitian itu pada akhirnya tak terdengar sama sekali, karena sepak terjang KPK yang telah menetapkan beberapa anggota dewan sebagai tersangka korupsi.
Modus
Sejak jatuhnya Orde Baru, Indonesia berada pada rezim kekuasaan sipil yang terbelah. Otoritas sipil tidak lagi berada pada kekuasaan terpusat yang dipersonifikasi dalam diri Soeharto, tetapi menyebar ke berbagai partai politik yang mendapatkan kursi kekuasaan di Senayan.
Dalam struktur kekuasaan politik yang telah terfragmentasi, dalam pengertian menyebar ke berbagai pusat-pusat kekuasaan baru, maka perburuan proteksi, konsesi, dan keistimewaan dari berbagai kelompok kepentingan tidak lagi dilakukan dengan model penukaran loyalitas kepada kekuasaan tunggal. Hal itu hanya bisa diperoleh melalui transaksi atau deal dengan seluruh kelompok kekuasaan yang, dalam konteks DPR, berada di masing-masing fraksi sebagai representasi partai politik.
Hal inilah yang kita lihat dalam kasus skandal korupsi Bank Indonesia. Dalam pengakuan tersangka Hamka Yandhu, semua anggota DPR dari Komisi IX periode 1999-2004 mendapat cipratan dana haram BI. Tidak hanya itu, besarnya jumlah dana yang diterima oleh anggota Komisi IX juga bervariasi, mulai dari Rp 250 juta hingga Rp 1 miliar.
Demikian pula halnya dengan kasus dugaan suap dalam pengalihan hutan lindung di Bintan yang melibatkan Al Amin Nasution sebagai tersangka. Kasus sejenis yang tengah ditangani KPK juga telah menyeret Yusuf Emir Faisal, mantan Ketua Komisi IV DPR RI sebagai tersangka. Dalam pengakuan Azirwan, Sekda Bintan yang juga telah menjadi tersangka, uang suap sudah diberikan secara bertahap kepada DPR, dan bersumber dari calon investor.
Dari penjelasan singkat dua kasus tersebut, kita dapat menarik beberapa kesimpulan awal. Pertama, kasus dugaan suap yang tengah dibongkar KPK bukan hanya melibatkan pelaku yang sifatnya individual, tetapi sudah melibatkan komisi secara kelembagaan. Hal di atas sangat masuk akal, karena untuk mendapatkan keputusan, rekomendasi dan berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu komisi di DPR, sangat mustahil dilakukan hanya dengan menyuap satu orang. Seorang Hamka Yandhu, misalnya, tidak akan pernah bisa mengeluarkan keputusan yang mewakili Komisi IX DPR RI jika tidak mendapatkan persetujuan dari sebagian besar atau semua anggota Komisi.
Kedua, ditetapkannya sebagian kecil anggota DPR sebagai tersangka oleh KPK memang membuat tanda tanya besar. Publik pastinya berharap jika semua anggota Dewan yang terlibat juga diproses secara hukum oleh KPK. Pertanyaannya, mengapa KPK, misalnya, baru menetapkan beberapa tersangka saja, padahal semua anggota Komisi memperoleh bagian suap?
Penjelasan tentang ini sebenarnya mudah. Dalam konteks korupsi di DPR selalu ada satu atau dua orang yang menjadi pelaku lapangan yang berinteraksi langsung dengan pihak ketiga yang memiliki kepentingan dengan komisi di DPR. Bisa dikatakan, Hamka Yandhu dan Anthony Zedra Abidin merupakan penghubung Komisi IX dengan BI, sementara Al Amin Nasution adalah penghubung Komisi IV dengan Pemda Bintan.
Karena interaksi langsung antara pelaku lapangan dan pihak ketiga, maka ketika sebuah skandal suap terungkap, yang pasti akan muncul pertama kali sebagai tersangka adalah mereka. Sementara yang lain lambat laun akan muncul, sebagaimana kita lihat dalam pengakuan Hamka Yandhu kemudian.
Ketiga, skandal suap DPR merupakan praktek kejahatan yang terorganisir. Di dalamnya terdapat struktur, hierarki, dan mekanime yang rapi sehingga akan selalu rumit untuk membongkarnya jika tidak menggunakan pendekatan sebagaimana dilakukan KPK, atau pengakuan dari orang dalam, sebagaimana Agus Condro Prayitno telah lakukan. Sebagaimana kejahatan mafia, dalam praktek korupsi DPR, terdapat pemimpin kejahatan yang perannya adalah mengkoordinasi, menentukan, memerintah dan membagi hasil kejahatan tersebut.
Dalam pengakuan Hamka Yanhu, uang suap dari BI telah dibagikan ke semua anggota Komisi IX DPR dengan jumlah variatif. Dengan demikian, dapat ditebak jika yang mendapatkan jatah paling besar adalah pemimpin rombongan atau aktor utamanya. Tampaknya KPK belum menjangkau sampai ke sana, tetapi dari gelagat yang ada, aktor utama kejahatan suap di DPR adalah incaran utama KPK.
Satu pertanyaan yang kini tersisa, apakah praktek semacam ini juga terjadi di semua komisi di DPR? Jawabannya sangat mungkin. Alasannya sederhana, semua komisi di DPR memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sama. Perbedaannya hanya pada kapasitas atau kemampuan finansial mitra kerja mereka yang beragam, yang juga mempengaruhi besaran suap yang diterima masing-masing anggota Komisi. Jika memang faktanya demikian, lantas apa bedanya wakil rakyat dengan gerombolan perampok? *
Oleh: Adnan Topan Husodo
Disalin dari koran Tempo, 7 Oktober 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)