Disengaja atau tidak, preseden buruk dalam pemberantasan korupsi telah ditorehkan oleh Pemerintah SBY dengan menerima tiga pengemplang dana BLBI di istana negara. Menurut versi media massa, mereka datang ke istana hendak menyelesaikan kredit BLBI yang selama ini sudah mereka terima. Sangat mungkin mereka terinspirasi oleh Atang Latief (mantan Komisari Utama Bank BIRA) yang telah menyerahkan diri ke Mabes Polri terlebih dahulu. Hanya berbeda dengan Atang Latief, mereka jauh lebih kreatif karena memilih istana negara sebagai tempat untuk ‘menyerahkan diri’.
Mengapa di istana? Tak dapat dipungkiri bahwa istana negara telah mengalami desakralisasi yang luar biasa pada saat Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden. Istana yang sebelumnya ‘angker’, kini -katanya- dapat didatangi oleh siapapun, termasuk juga mungkin penjahat.
Akan tetapi proses desakralisasi bukan tanpa latar sejarah yang membentuknya. Mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya adalah sejatinya dari desakralisasi istana. Sehingga konteks desakralisasi tidak dapat secara sembrono dimaknai sebagai ruang yang bebas nilai. Oleh karena itu, jika juru bicara presiden mengatakan bahwa siapapun boleh berkunjung ke istana -termasuk didalamnya pengemplang dana BLBI-, itu adalah argumentasi yang ahistoris, baik ahistoris dalam konteks desakralisasi maupun ahistoris dalam konteks terjadinya penyelewengan BLBI.
Masyarakat tentu saja patut kecewa dengan peristiwa tersebut. Sekedar mengingatkan kembali, berdasarkan hasil audit investigasi BPK per Juli 2000, dana BLBI yang telah mengucur senilai 144,5 Triliun kepada Bank Beku Operasi (BBO), Bank Take Over (BTO), Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan Bank Dalam Likuidasi (BDL) ternyata 59,7 persennya (Rp 84,8 Triliun) menyimpang dan berpotensi menyebabkan kerugian negara. Masih menurut BPK, penyimpangan tersebut dilakukan oleh dua pihak yakni Bank Indonesia sebagai penyalur BLBI dan bank penerima BLBI.
Disebut menyimpang karena pada prinsipnya penggunaan dana BLBI hanya boleh digunakan untuk mendanai atau menalangi dana nasabah. Akan tetapi nyatanya sekitar 48 Bank penerima BLBI justru menggunakan fasilitas BI tersebut untuk kepentingan lain. Oleh BPK, penyimpangan penggunaan dana BLBI dikategorikan ke dalam sebelas modus kejahatan BLBI. Empat modus terbesar adalah menggunakan dana BLBI untuk kepentingan membayar kewajiban (utang) kepada pihak terkait, membiayai kontrak derivatif baru atau membayar kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo, membiayai ekspansi kredit dan membiayai kegiatan lain-lain yang menyimpang dari peruntukan BLBI.
Di sisi lain, BI sebagai penyalur BLBI juga memiliki peran penting dalam terjadinya penyimpangan. Paling tidak, fungsi pengawasan BI tidak berjalan sama sekali. Akibatnya sanksi tegas dan konsekuen terhadap pelanggaran tidak dilakukan. Terhadap pelanggaran yang sangat materialpun tidak diberikan tindakan, seperti misalnya pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), pelanggaran prinsip prudential banking maupun terhadap kejanggalan mutasi akuntasi dalam laporan yang disampaikan perbankan kepada BI.
Substitusi Penegakan Hukum
Dengan bercermin pada hasil audit investigatif BPK diatas, kehadiran tiga pengemplang dana BLBI ke istana negara tidak sekedar dapat dianggap sebagai upaya yang dapat mengaburkan mekanisme penyelesaian BLBI. Akan tetapi juga dapat berimplikasi luas terhadap proses penegakan hukum yang sedang diupayakan oleh Pemerintah SBY sendiri. Paling tidak ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai argumentasi penjelasnya.
Pertama, menempatkan istana negara sebagai arena untuk menyelesaikan permasalahan BLBI yang kental dengan aroma pidana korupsinya secara politis akan menempatkan hukum sebagai sub-sistem kekuasaan belaka. Bangunan negara hukum yang pondasinya tengah diletakkan secara kokoh dapat segera runtuh seandainya mekanisme loby dan negosiasi pejabat negara dengan para debitor dijadikan sebagai jalan pintas penyelesaian perkara BLBI, meski untuk tujuan yang positif sekalipun, misalnya untuk mengembalikan kerugian negara.
Disamping itu, loby dan negosiasi yang terjadi di istana sangat berpeluang untuk menciptakan diskresi baru bagi kepala negara yang dapat menyingkirkan objektifitas sebagai kerangka kerja prosedur. Diskresi itu dapat berbentuk kekuasaan untuk mengampuni atau tidak pengemplang BLBI, untuk menentukan berapa kredit BLBI yang harus dilunasi, untuk menentukan apakah perlu diproses secara hukum atau tidak mereka yang selama ini telah menikmati dana BLBI dan bentuk diskresi lain yang luput dari mekanisme akuntabilitas publik. Padahal adanya diskresi dari seorang pejabat negara dalam lingkup sistem merupakan asal muasal terjadinya praktek korupsi itu sendiri.
Kedua, loby dan negoisasi pengemplang BLBI di istana negara dikhawatirkan akan menciptakan persepsi publik yang keliru bahwa perkara BLBI adalah soal kekhilafan semata sehingga niat ‘tulus’ untuk mengembalikan kredit BLBI dapat dipandang cukup sebagai prasyarat penyelesaian. Tak dapat dipungkiri munculnya keinginan para pihak untuk mengembalikan dana BLBI yang pernah diterimanya sangat membantu penyelesaian utang piutang yang telah sekian lama berlarut-larut.
Akan tetapi, menempatkan posisi pengemplang BLBI sebagai pihak yang steril dari jangkauan hukum hanya akan menciptakan budaya permisif korupsi -yang sebenarnya saat ini sedang diperangi-. Hal ini mungkin terjadi karena penyelesaian dari kerugian negara yang timbul akibat perilaku kekuasaan yang distorsif dapat diselesaikan melalui mekanisme non-hukum. Jika penegakan hukum telah dapat disubstitusi oleh penyelesaian jalur belakang, maka pemerintah SBY sedang dalam situasi yang cukup membahayakan. Pertaruhan komitmen SBY dalam memberantas korupsi dalam kasus penyelewengan dana BLBI sangat tergantung dari bagaimana penyikapan dan kebijakan mereka terhadap para pengemplang BLBI.
Oleh karena itu, alangkah bijak jika pemilahan terhadap kasus BLBI yang terindikasi korupsi dengan yang bukan dilakukan secara transparan dan objektif. Bukan justru dengan memanfaatkan istana negara sebagai instrumen mediasi yang cenderung tertutup. Mengkaji ulang berbagai mekanisme penyelesaian BLBI yang selama ini mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge (R&D) jauh lebih menguntungkan posisi pemerintah SBY.
Hal ini mengingat BPPN yang ditunjuk sebagai lembaga yang telah melakukan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PPKPS) secara resmi sudah bubar. Maka jalur penyelesaian BLBI dalam bentuk Master Of Settlement And Acquisition Agreement (MSAA), Master Of Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU) secara otomatis mengalami kevakuman. Dalam posisi idle inilah para pihak yang terkait dengan kasus BLBI dapat memanfaatkan situasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan BLBI melalui ‘jalur alternatif’.