Tuesday, July 27, 2010

Menuju Kursi Trunojoyo I

Suasana panas setiap menjelang pergantian Kapolri tak dapat dihindari.Jabatan yang penuh prestise, kekuasaan begitu besar,dan capaian tertinggi bagi setiap anggota Polri dalam kariernya menjadikan ritus seleksi calon Kapolri kerap diwarnai intrik.


Masalah apapun yang berkaitan dengan Polri,acap dikaitkan dengan situasi menuju kursi Trunojoyo I. Sebut saja sebagai contoh kasus Susno Duadji, pembongkaran rekening gendut Polri, hingga wacana penguatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK dalam penanganan kasus pencucian uang.Posisi strategis sebagai Kapolri selalu menarik untuk diperebutkan hingga semua kelompok yang memiliki kepentingan langsung dengan Polri nimbrung dalam pertarungan nan sarat politis ini. Tak dapat dipungkiri, atensi masyarakat luas terhadap proses penentuan Kapolri pengganti Bambang Hendarso Danuri (BHD) kian tinggi karena beberapa persoalan krusial yang dihadapi Polri hingga saat ini belum dapat diselesaikan dengan memuaskan.

Satu yang paling penting adalah masalah rekening gendut milik sejumlah oknum Perwira Tinggi (Pati) Polri yang telah dilaporkan PPATK sejak 2005 silam. Mabes Polri sendiri telah merespons secara internal persoalan di atas dengan melakukan upaya pemeriksaan. Akan tetapi,hasil pemeriksaan internal yang sudah disampaikan kepada publik sama sekali tidak dapat meyakinkan masyarakat bahwa jumlah kekayaan yang dimiliki beberapa perwira tinggi (pati) Polri diperoleh dengan caracara yang wajar.

Sosok Hoegeng yang Mustahil


Keinginan publik agar kapolri ke depan bisa melakukan terobosan besar dalam membenahi internal Polri adalah refleksi dari harapan masyarakat akan hadirnya perubahan institusi Polri yang lebih esensial.Akan tetapi, sulitnya mencari sosok Kapolri yang sesuai dengan harapan publik membuat bayangan ideal seorang Kapolri selalu berhubungan dengan (alm) Hoegeng. Siapa Heogeng?

Dia adalah mantan Kapolri yang dikenal sepanjang hidupnya berlaku sangat sederhana, benci terhadap penyalahgunaan jabatan, dan berani mengatakan tidak terhadap suap. Saking beratnya mendapatkan karakter pembanding yang setara dengan Hoegeng pada saat ini, dalam berbagai kesempatan, pihak Polri selalu menggunakan Hoegeng sebagai contoh polisi yang baik. Lantas, tidak adakah tokoh polisi lain yang–paling tidak–mendekati almarhum Hoegeng sehingga bisa dibanggakan oleh Polri sendiri? Saat ini bisa dikatakan mustahil bagi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bisa menjaring calon-calon Kapolri baru yang setara dengan Hoegeng untuk disodorkan kepada Presiden SBY. Justru sebaliknya,wacana mencari kandidat yang terbaik di antara yang buruk adalah realitas yang tidak bisa dihindari.

Artinya, bahan yang kini tersedia tidak memungkinkan bagi lahirnya sosok Kapolri baru yang bisa diandalkan, terutama dalam rangka melepaskan diri dari jerat berbagai kepentingan yang selama ini telah melilit Polri dan tampil sebagaimana gambaran sempurna selayaknya Hoegeng.

Kriteria Minimal

Mengingat sosok Hoegeng tak mungkin dilahirkan kembali, barangkali ada beberapa kriteria spesifik minimum harus dimiliki oleh calon Kapolri ke depan. Kriteria utama tentu berhubungan dengan skandal rekening gendut yang hingga kini masih jadi pergunjingan publik bahkan membesar karena sudah mulai ada tuntutan agar Presiden SBY membentuk tim independen untuk melakukan audit terhadap rekening-rekening yang dikategorikan tambun. Dikaitkan dengan isu di atas, sosok Kapolri ke depan sudah semestinya bukan calon yang namanya ikut terseret dalam kepemilikan rekening fantastis ini.

Sosok Kapolri ke depan juga harus dipilih dari kandidat yang paling sedikit memiliki relasi “istimewa” dengan kalangan eksternal, terutama dengan pengusaha. Sebagaimana kita tahu, penegakan hukum Polri kerap kali berhubungan dengan praktik nakal para pengusaha,mulai dari kasus pembalakan liar,penyelundupan, penggelapan pajak, korupsi, pencucian uang, penambangan liar, penyerobotan lahan, dan lain sebagainya. Untuk mendeteksi adanya jejaring istimewa itu, dibutuhkan sebuah kerja penelusuran rekam jejak dari masing-masing kandidat. Gagasan Kompolnas untuk melibatkan unsur lain seperti PPATK, KPK,dan masyarakat luas perlu diapresiasi karena selama ini seleksi calon Kapolri dilakukan secara eksklusif.

Dengan melibatkan aktor lain, informasi yang diperoleh akan lebih kaya mengingat para pati Polri tentu saja sudah pernah mengalami rotasi pekerjaan ke berbagai wilayah di Indonesia.Dari pemetaan terhadap rekam jejak tersebut, Kompolnas sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk menyerahkan nama calon Kapolri kepada Presiden dapat melihat apakah kandidat Kapolri yang kini berjumlah delapan orang itu memiliki sejarah kelam atau tidak.

Menghindari Political Buying

Masalah seleksi calon kapolri bukan hanya berhenti pada sulitnya mencari sosok seperti Hoegeng dan bagaimana mendorong agar mekanisme seleksi lebih akuntabel dan transparan, melainkan keterlibatan ranah politik dalam menentukan Kapolri. UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri mengatur wewenang DPR untuk menyetujui atau menolak calon Kapolri yang diajukan Presiden.

Ini artinya,DPR sebagai lembaga politik akan menjadi aktor yang cukup strategis untuk menentukan siapa Kapolri terpilih. Masalahnya, wewenang DPR untuk memilih pejabat publik kerap kali disalahgunakan. Kasus pemilihan Miranda Gultom sebagai misal adalah bukti aktual bagaimana political buying potensial menghantui proses seleksi calon pejabat publik,termasuk Kapolri. Untuk mengantisipasi kemungkinan tawar-menawar politik antara calon Kapolri dengan politisi di Senayan, akan sangat baik jika Presiden cukup menyodorkan satu nama calon Kapolri kepada Komisi III DPR. Pasalnya, dalam kasus seleksi Panglima TNI, sudah ada pengalaman Presiden menyampaikan satu nama dan disetujui oleh DPR.

Harus disadari akan ada kemungkinan satu calon kKapolri yang diserahkan Presiden kepada DPR diterima meskipun kemungkinan untuk ditolak juga tetap ada. Penyerahan nama tunggal calon Kapolri juga akan meredakan ketegangan internal di tubuh Polri. Sebagai konsekuensi dari lebih dari satu nama calon Kapolri,akan muncul kompetisi yang dapat mengarah pada perpecahan. Jika arena kompetisi dibiarkan sangat terbuka bagi masing-masing calon Kapolri,masing-masing calon pasti membutuhkan tim sukses,pelobby, dan donatur dari pihak lain.

Caracara ini akan mengancam integritas calon Kapolri dan membuka peluang bagi masuknya politik balas budi yang membuat Polri sebagai institusi akan sulit melepaskan diri dari kepentingan berbagai pihak yang turut menyukseskan salah satu calon Kapolri sebagai pemenang.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)


Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 27 Juli 2010

Anomali Pilkada

Pilkada langsung yang berlaku di Indonesia sejak 2005 telah melahirkan anomali dalam praktik demokrasi lokal. Premis yang menyebutkan bahwa demokrasi berkorelasi positif dengan tingkat korupsi yang menurun nyatanya tidak berlaku dalam konteks Indonesia.

Korupsi justru kian meningkat pasca- pelaksanaan pilkada langsung. Data kuantitatif Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, sejak 2005, terdapat 40 kepala daerah, baik gubernur, wali kota, maupun bupati yang menjadi terpidana kasus korupsi.

Sementara dari Kantor Sekretariat Negara dilaporkan, hingga 2010, Presiden SBY telah menandatangani 150 surat izin pemeriksaan bagi kepala daerah yang jadi saksi ataupun tersangka kasus korupsi.

Jika kita telusuri lebih jauh, masalah mendasar yang telah meningkatkan terjadinya tindak pidana korupsi pasca-pilkada adalah penggunaan uang dalam pemilu lokal yang tidak terkendali. Uang yang memang tidak bisa dihindari merupakan faktor penting untuk menyokong berbagai macam kegiatan kampanye.

Tanpa uang, sangat sulit bagi seorang kandidat dapat memenangi pilkada. Uang dibelanjakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari pengadaan material kampanye, logistik, hingga pembiayaan tim sukses dan pendukungnya. Dalam fungsinya yang positif, uang dapat membantu kandidat meraih kursi kekuasaan.

Uang merusak pilkada
Namun, jika penggunaan dan sumber dalam memperoleh dana kampanye tidak diatur secara transparan dan akuntabel, uang justru menjadi faktor yang merusak.

Pemilu (pilkada) yang demokratis memiliki ciri-ciri utama, yakni terjaminnya prinsip keadilan dan kesetaraan bagi setiap kandidat yang berkompetisi. Adanya disparitas dalam penerimaan dan penggunaan sumber daya finansial dalam politik akan mencederai kompetisi politik yang seharusnya berlangsung adil.

Terdapat dua konsekuensi besar jika penggunaan uang dalam pemilu (pilkada) dibiarkan bebas dan tanpa kendali. Uang yang bebas bergerak dalam arena pertarungan politik memiliki potensi untuk mengooptasi semua proses penyelenggaraan pemilu.

Meskipun semua perangkat pemilu yang demokratis telah disiapkan, kekuatan uang dapat menyusup dan melampaui tatanan formal penyelenggaraan pilkada.

Protes berbagai hasil pilkada sedikit banyak menggambarkan kredibilitas penyelenggara pemilu dan pengawas yang rendah. Sangat mungkin, turunnya kredibilitas KPU/KPUD dan Panwaslu merupakan akibat dari pengaruh uang yang berlebihan dalam penyelenggaraan pilkada.

Bebasnya pergerakan uang membuat jalan instan untuk memenangi pertarungan menjadi sangat mungkin. Dengan ”menguasai” anggota KPUD, hitung-hitungan hasil pemilihan dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga menguntungkan kandidat yang menggunakan uangnya untuk menyuap penyelenggara pemilu.

Pendek kata, hasil pemilu akan rentan untuk dimanipulasi jika pengaturan mengenai dana politik tidak menjadi prioritas dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada. Sudah bisa diduga jika pemilu dilalui dengan proses yang koruptif dan manipulatif, yang akan lahir adalah pemimpin-pemimpin yang berwatak demikian.

Meningkatnya politik uang
Penggunaan uang dalam kampanye yang diatur ala kadarnya dapat meningkatkan praktik politik uang, terutama pada tingkat masyarakat pemilih. Politik uang dalam kacamata pemilih barangkali memiliki nilai ekonomis pada jangka pendek. Akan tetapi, dalam jangka panjang, hasil pilkada yang dimenangi melalui praktik politik uang justru mengurangi kesempatan masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap kesejahteraan.

Di samping itu, praktik politik uang juga dapat menyerang fondasi demokrasi, menghancurkan nilai etik politik, serta meningkatkan perilaku koruptif, baik pada tingkat pemilih maupun elite politiknya.

Jika pelaksanaan pemilu telah dicemari dengan praktik manipulasi yang sangat serius, bisa dimengerti dalam jangka panjang akan terjadi krisis ketidakpercayaan publik terhadap lembaga demokrasi seperti partai politik dan DPR/DPRD, termasuk pejabat publiknya.

Publik akan semakin asing dengan proses pengambilan keputusan politik, sementara elite politik akan semakin kuat relasinya dengan para kelompok kepentingan yang bermain untuk mendapatkan keuntungan dari keputusan politik yang dilahirkan.

Demikian halnya pemimpin politik yang lahir dalam sebuah proses pemilu yang penuh korupsi akan membentuk sebuah pemerintahan yang tidak kredibel. Maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah telah memberikan konfirmasi atas sebuah proses pilkada yang kotor.

Sulit untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik, melakukan reformasi birokrasi, mengefektifkan APBD untuk tujuan pembangunan, dan membangun kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan publik luas dalam kondisi di mana tingkat korupsi pejabat publiknya sangat tinggi.

Masyarakat luas juga tak luput dari imbas korupsi dalam pelaksanaan atau hajat besar demokrasi bernama pemilu/ pilkada. Dengan politik uang, masyarakat dididik untuk menghalalkan segala cara, mencari jalan keluar yang cepat, dan percaya bahwa suap akan memberikan keuntungan ekonomi.

Masyarakat menjadi pesimistis terhadap pemilu karena pemenangnya ditentukan oleh uang, sementara jika tidak ada pemberian uang, masyarakat juga menjadi alergi terhadap kandidat.

Pada akhirnya, pemilih hanya akan mencoblos kandidat-kandidat yang memberikan uang atau logistik paling besar. Hal inilah yang telah menghancurkan esensi demokrasi karena pemilih tidak lagi menggunakan pertimbangan logis dalam menentukan calon pemimpin mereka, tetapi sudah ditentukan oleh kekuatan uang. Dalam kondisi demikian, bandarlah yang menentukan pemenang pilkada, bukan pemilihnya. Lantas, di mana kita akan menempatkan vox populi vox dei?

Adnan Topan H, Wakil Koordinator ICW

Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 Juli 2010