Friday, May 21, 2010

Susno Duadji, Peniup Peluit, dan Isu Perang Bintang

Penetapan Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, yang mengguncang publik dan internal Mabes Polri karena pengakuannya atas praktik mafia hukum dalam penanganan kasus pajak Gayus Tambunan, sebagai tersangka mengundang sejumlah kontroversi.

Bagi sebagian kalangan, Susno seharusnya mendapatkan perlindungan hukum karena jasanya mengungkap sebuah rahasia besar –yang jika tidak diungkap olehnya- mungkin kasus mafia hukum dalam penanganan perkara Gayus Tambunan tidak akan pernah meledak sedemikian besar. Dalam konteks ini, Susno seharusnya diposisikan sebagai pahlawan yang perlu mendapatkan perlakuan yang wajar, sekaligus perlindungan hukum, bukan justru ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, bagi sebagian pihak, Susno dianggap pahlawan kesiangan, karena baru mengungkap adanya kebusukan di internal Mabes Polri setelah dirinya tidak lagi menjabat sebagai Kabareskrim. Susno yang jabatannya dicopot karena menjadi pemicu konflik Cicak (Cinta Indonesia Cinta KPK) melawan Buaya, dipandang terlambat dalam membocorkan semua rahasia tersebut.

Semestinya, saat menjabat sebagai Kabareskrim, Susno dengan kekuasaannya dapat melakukan berbagai hal, terutama dalam menangani dan menuntaskan perkara-perkara besar yang dipegang Mabes Polri. Dengan demikian, sepak terjang Susno selepas pencopotan dirinya sebagai Kabareskrim dianggap merupakan bentuk balas dendam pribadi terhadap kekuasaan di Mabes Polri yang telah mendepaknya. Dalam konteks ini, niat untuk mengungkap kasus mafia pajak dan berbagai macam kasus lain sebagaimana ia janjikan bukan ditujukan untuk reformasi di tubuh Mabes Polri.

Kontroversi lain yang muncul dalam kasus Susno adalah penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyuapan dengan bekal fakta hukum berupa pengakuan tiga saksi yang dipandang sangat lemah. Apalagi dua saksi yang memberatkan Susno berasal dari internal Mabes Polri, dan saksi ketiga adalah orang yang pernah dilaporkan Susno sebagai Mr X. Dalam logika umum, Susno tidak mungkin akan menyuarakan sesuatu jika kelak justru membahayakan dirinya sendiri.

Demikian halnya, frase dari ”akan dijanjikan menerima uang” menjadi ”telah menerima uang” adalah sebuah pengertian dan fakta hukum yang berbeda, sehingga akan menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda pula. Sebagaimana kita ketahui, pengakuan Mr X (Syahril Djohan) yang sempat muncul di media massa adalah bahwa dirinya baru menjanjikan akan memberikan uang senilai Rp 500 juta jika Susno dapat menyelesaikan kasus yang dimakelari Syahril Djohan secara damai.

Namun, kini fakta hukum itu telah bergeser menjadi ”telah menerima”. Tentu saja jika benar fakta hukum itu telah berubah, Susno layak dijadikan sebagai tersangka, karena seorang pejabat publik tidak boleh menerima suap dari pihak mana pun. Meskipun demikian, dalam konstruksi pidana suap-menyuap, baru Susno sebagai penerima suap yang telah dijadikan sebagai tersangka oleh Mabes Polri, sedangkan pihak yang memberikan suap belum ditetapkan sebagai tersangka sama sekali. Pendek kata, jika ujung dari skenario kejahatan suap-menyuap yang menyeret Susno sebagai tersangka berhenti pada Susno semata, maka kasus penetapan Susno sebagai tersangka bisa memicu gejolak yang lebih besar.

Melindungi Peniup Peluit
Perdebatan menarik seputar penetapan Susno sebagai tersangka adalah isu absennya perlindungan hukum terhadap sang peniup peluit. Pertanyaan mendasarnya, apakah semestinya Susno mendapatkan perlindungan hukum atas apa yang telah dia ungkapkan? Sebenarnya sistem hukum di Indonesia telah memberikan mekanisme perlindungan hukum bagi para pelapor dan saksi.

Masalahnya, untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ada beberapa persyaratan yang sayangnya dalam kasus Susno tidak dipenuhi.

Pertama, Susno hanya bermain pada wilayah pemberitaan media massa dalam mengungkap kasus permainan hukum atas perkara pajak Gayus Tambunan. Meskipun kemudian fakta atas pengakuan Susno kian terang, dan beberapa pejabat publik sedang diproses secara hukum, posisi Susno yang tidak pernah menjadi saksi atau pelapor membuat perlindungan hukum menjadi sulit diberikan kepadanya. Kita tentu ingat, perlindungan hukum diberikan hanya bagi pihak yang telah melaporkan tindak pidana secara rahasia. Dengan mengungkap masalah tersebut kepada publik melalui media massa, persyaratan untuk mendapatkan perlindungan hukum menjadi tidak terpenuhi.

Kedua, Susno tidak pernah melaporkan adanya praktik mafia hukum itu kepada aparat penegak hukum. Meskipun ada pelaporan kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, karena Satgas bukanlah bagian dari penegak hukum, maka sulit bagi Susno untuk dianggap sebagai pelapor. Semestinya Susno melaporkan temuan atas praktik mafia hukum itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya, sehingga dirinya akan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai sebagaimana saksi atau pelapor lainnya yang telah diberikan perlindungan hukum yang tepat.

Perang Bintang Menuju Trunojoyo I
Pengakuan Susno dan penetapan Susno sebagai tersangka sesungguhnya hanya akan menjadi pernak-pernik dari pertarungan antarbintang di Mabes Polri menuju kursi Trunojoyo I. Oleh karena itu, jika Presiden tidak mengambil langkah politik yang besar untuk memulai melakukan reformasi di internal Mabes Polri, apa yang telah diungkap Susno dan apa yang terjadi pada Susno tidak akan berarti apa pun.

Bagaimanapun, situasi sekarang tidak memungkinan bagi Presiden untuk menyerahkan upaya perbaikan di Mabes Polri kepada mereka sendiri. Perlu ada intervensi politik untuk menata ulang, sekaligus merombak secara serius situasi internal di Mabes Polri. Jangan sampai apa yang kini dilakukan Mabes Polri, dengan menyeret para pelaku praktik mafia hukum dan pengungkapnya sendiri, yakni Susno, sebagai langkah reformasi yang bersifat buka-tutup.

Kita tentu tidak ingin setiap ada proses pergantian Kepala Kepolisian Republik Indonesia akan ada korban jatuh, sementara isu korupsi di Mabes Polri selalu menjadi bumbu penyedap dari perebutan kekuasaan menuju panglima tertinggi di Mabes Polri, sehingga mengabaikan agenda pemberantasan korupsi di lembaga penegak hukum. (E6)

Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

sumber: http://www.vhrmedia.com/Susno-Duadji-Peniup-Peluit-dan-Isu-Perang-Bintang-opini4197.html#email-to-friend

Sunday, May 09, 2010

Jalan Terjal Kasus Cek Pelawat

Singapura adalah surga bagi para penggila belanja, sekaligus untuk para koruptor Indonesia. Sudah lebih dari belasan orang, baik yang berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana kasus korupsi melarikan diri ke negeri bermaskot singa ini. Bahkan di tempat ini pula kegiatan mengkapitalisasi hasil korupsi dilakukan, diantara dengan membuka bisnis atau menginvestasikan hasil jarahan uang negara ke berbagai jenis usaha.

Terakhir, Nunun Nurbaeti, saksi penting kasus dugaan suap dalam pemilihan Miranda Gultom juga mengambil tempat untuk menyembuhkan penyakit lupa akutnya di Singapura. Alasan itu pula yang membuat KPK hingga hari ini tidak bisa menghadirkan Nunun Nurbaeti ke pengadilan Tipikor untuk dimintai kesaksian atas terdakwa Hamka Yamdhu, Udju Djuhaeri, Endin Sofihara dan Dudi Makmun Murod. Keempat orang terakhir ini sudah lama ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena dianggap menerima cek pelawat sebagai imbalan dalam memilih Miranda Gultom.

Pentingnya Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun dihadirkan sebagai saksi mengingat semua terdakwa kasus pemberian cek pelawat sebagai biaya pemenangan Miranda Gultom mengaku bahwa cek tersebut berasal dari Nunun Nurbaeti. Tentu saja dengan kehadiran Nunun, perkara dugaan suap yang dilaporkan pertama kali oleh Agus Chondro, mantan anggota DPR Komisi IX yang juga mengaku menerima cek pelawat akan semakin terang benderang.

Hingga saat ini, absennya Nunun di pengadilan Tipikor membuat berbagai pertanyaan penting yang semestinya bisa diungkap di pengadilan Tipikor menjadi tertunda. Publik tentu ingin mengetahui lebih dalam keterkaitan Nunun yang dalam berbagai kesaksian terdakwa maupun saksi lain telah memberikan cek pelawat dengan Miranda Gultom selaku pejabat publik yang terpilih. Demikian halnya, apa kepentingan Nunun Nurbaeti terhadap posisi Deputi Senior Gubernur BI sehingga dirinya sampai harus mengeluarkan cek pelawat bagi anggota DPR yang memilih Miranda Gultom.

Pengacau

Setelah sekian lama kasus dugaan suap cek pelawat disidangkan di Pengadilan Tipikor, ada dua faktor yang dapat mengacaukan hasil penyelidikan dan penyidikan KPK kelak. Pertama, mangkirnya Nunun Nurbaeti di Pengadilan Tipikor mengingat seluruh proses hukum yang dilakukan telah sampai pada kesimpulan bahwa cek pelawat yang digunakan sebagai alat untuk menyuap anggota Komisi IX DPR RI bersumber dari Nunun.

Maka dari itu, sebenarnya penting bagi KPK untuk mendapatkan informasi medis yang independen sehingga alasan sakit lupa akut yang diderita Nunun benar-benar dapat dikonfirmasi. Pasalnya, sudah banyak kasus dimana pihak yang hendak dimintai keterangan, baik sebagai saksi maupun tersangka mendadak sakit dan harus berobat ke luar negeri. Khusus untuk para tersangka, terdakwa dan terpidana korupsi, sakit telah dijadikan sebagai modus untuk melarikan diri dari jerat hukum. Di sisi lain, sakit juga merupakan alasan yang paling manusiawi sehingga acapkali aparat penegak hukum tidak memiliki pilihan kecuali mengijinkannya.

Masalahnya, jika Nunun benar-benar tidak bisa hadir di persidangan hingga pemeriksaan terhadap keempat terdakwa selesai, perkara dugaan suap terhadap Miranda Gultom menjadi hambar. Mengapa? Karena dalam konstruksi kasus suap-menyuap, yang bisa dihadirkan ke persidangan oleh KPK hanyalah pihak yang menerima suap dari kalangan DPR. Sementara dari pihak yang memberikan suap hingga sampai saat ini masih kabur jejaknya. Pertanyaannya, jika memang Nunun yang selama ini dianggap sebagai pemberi suap, mengapa hingga saat ini KPK masih belum menetapkannya sebagai tersangka?

Faktor kedua adalah adanya indikasi untuk menggeser persoalan sebenarnya dalam kasus dugaan suap terhadap Miranda Gultom ke isu sumbangan dana kampanye. Paling tidak, beberapa saksi mantan anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan menyebutkan bahwa cek pelawat yang mereka terima adalah sumbangan dana kampanye bagi pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Argumentasi bahwa cek pelawat merupakan sumbangan dana kampanye merupakan strategi untuk mengalihkan isu pidana korupsi (suap-menyuap) ke ranah pemilu. Asumsinya, memberikan sumbangan dana kampanye merupakan sebuah hal yang sah sebagaimana diatur oleh UU Pemilu. Perkara mereka tidak melaporkannya sebagai sumbangan dana kampanye, hal itu merupakan pelanggaran pidana pemilu yang jika hendak diusut sekarang, tidak ada pijakan hukumnya mengingat kasus pelanggaran dana kampanye sudah dianggap kadaluarsa oleh UU Pemilu.

Langkah Tegas

Oleh karena itu, mengingat kasus ini sudah begitu lama diproses KPK, sementara belum ada penambahan tersangka baru kecuali empat terdakwa yang sudah terlebih dulu diproses ke Pengadilan Tipikor, untuk menyelesaikan secara tuntas proses hukum kasus dugaan suap Miranda Gultom, KPK sepertinya perlu mengambil langkah baru.

Kendati selama ini strategi membuka terlebih dahulu semua aktor yang terlibat dalam kasus korupsi melalui pengakuan dari para terdakwa maupun saksi merupakan langkah jitu KPK yang dapat dibilang sangat berhasil, dalam konteks kasus suap Miranda Gultom, KPK tampaknya harus proaktif mengambil langkah hukum yang lebih maju.

Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh KPK adalah menetapkan Nunun sebagai tersangka mengingat semua alat bukti yang memberatkan Nunun sudah berada di tangan KPK. Baik kesaksian semua pihak yang telah dihadirkan di pengadilan Tipikor maupun petunjuk lain yang menguatkan keterlibatan Nunun sudah dimiliki KPK, sehingga menetapkan Nunun sebagai tersangka bukan merupakan langkah yang melanggar hukum.

Sebaliknya, dengan menetapkan Nunun sebagai tersangka, KPK dapat menjadikan Nunun sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) jika Nunun tidak kooperatif untuk dimintai keterangan, baik dalam kaitannya dengan klaim penyakit lupa berat yang dideritanya, maupun keterangan atas mengalirnya cek pelawat ke anggota Komisi IX DPR RI. Bagaimanapun, jika Nunun tidak pernah diperiksa secara medis oleh tim yang independen, sulit untuk menerima alasan bahwa dirinya tengah berjuang untuk menyembuhkan penyakit lupa akutnya di Singapura.

Demikian pula, ketika KPK menghadapi kendala untuk menghadirkan Nunun ke Indonesia karena posisinya berada di Singapura, status tersangka atas diri Nunun telah memberikan jalan bagi KPK untuk berkoordinasi dengan interpol maupun pihak lain yang berwenang untuk membantu agar Nunun dapat dibawa pulang ke Indonesia.

Publik masih sangat menanti drama pengungkapan kasus cek pelawat ini. Keterangan Nunun sangat penting artinya untuk mengungkap lebih jauh, apakah semua kronologis dugaan suap akan berhenti pada diri Nunun, ataukah ada aktor baru yang kelak akan dibuka oleh Nunun sendiri di Pengadilan Tipikor. ***

Wednesday, May 05, 2010

Merevisi Rezim Antipencucian Uang

Dalam laporan tahunan 2007, PPATK menyebutkan bahwa laporan hasil analisis dari sejumlah temuan transaksi yang mencurigakan yang telah disampaikan kepada aparat penegak hukum mencapai 524 kasus.

Jumlah laporan hasil analisis itu––sebagaimana diakui Kepala PPATK Yunus Husein––mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.Akan tetapi, masalah yang selalu dihadapi publik untuk melakukan pengawasan atas kinerja pemberantasan praktik pencucian uang adalah tiadanya data yang akurat untuk melihat seberapa jauh tingkat proses hukum atas laporan tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang,PPATK memiliki tugas pokok yang salah satunya adalah melaporkan hasil analisis transaksi yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada kepolisian dan kejaksaan.Dengan demikian, peranan PPATK dalam pemberantasan pencucian uang sebatas pada pengumpan (feeder), bukan eksekutor.

Mengingat wewenang eksekusi ada pada penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, maka kinerja pemberantasan pencucian uang sangat bergantung pada kesigapan dan profesionalitas kedua lembaga penegak hukum ini untuk menindaklanjuti temuan dan laporan PPATK. Persoalannya,untuk mengukur secara kuantitatif prestasi dalam pemberantasan praktik pencucian uang,hingga saat ini tidak ada data akurat yang disediakan pusat informasi di kepolisian maupun kejaksaan.

Dengan demikian, publik tidak pernah mengetahui, apakah laporan PPATK telah ditindaklanjuti kepolisian dan kejaksaan secara serius atau tidak? Kalaupun ada upaya memproses secara hukum temuan PPATK, data mengenai jumlah keseluruhan kasus yang telah selesai ditangani tidak banyak tersedia.Ketertutupan inilah awal dari munculnya praktik penyimpangan dalam proses penegakan hukum kasus pencucian uang.

Pencucian Uang, Mafia Hukum, dan Korupsi

Contoh yang paling mutakhir atas potensi penyimpangan yang diduga dilakukan oleh penyelidik dan penyidik,baik di tubuh kepolisian maupun kejaksaan, adalah terbongkarnya kasus Gayus Tambunan. Dari tiga sangkaan yang dijatuhkan padanya, yakni penggelapan, pencucian uang, dan korupsi, pada akhirnya berkas yang masuk ke pengadilan hanya satu. Itu pun lantas lolos karena Gayus divonis bebas murni oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang.

Dalam kasus Gayus, banyak yang luput untuk memperhatikan kegagalan penegak hukum dalam melakukan upaya pemberantasan praktik pencucian uang. Sebaliknya, yang banyak disoroti adalah kejahatan Gayus dan keterlibatan beberapa aparat penegak hukum dalam meloloskan Gayus dari jerat hukum. Sebelumnya,PPATK juga telah melaporkan 15 perwira Polri yang memiliki rekening fantastis kepada Mabes Polri.Namun, ibarat jeruk makan jeruk, dugaan adanya praktik pencucian uang dan korupsi yang sudah disampaikan PPATK lenyap bak ditelan waktu. Hingga saat ini, tidak ada informasi perkembangan penegakan hukum dari Mabes Polri atas laporan itu.

Padahal,sangat mungkin,ada kaitan antara menggelembungnya jumlah rekening para perwira Polri dengan praktik beking dalam banyak kejahatan, mulai illegal logging, korupsi, penyelundupan hingga narkoba dan sebagainya. Posisi strategis pemberantasan praktik pencucian uang yang sejalan dan mendukung pemberantasan mafia hukum, mafia kayu, mafia pajak, mafia politik dan korupsi pada akhirnya mengalami stagnasi fungsi. Ini terjadi karena pada akhirnya yang menentukan sebuah laporan kasus indikasi pencucian uang akan dilanjutkan atau tidak ada di tangan institusi kepolisian dan kejaksaan. Sementara di sisi lain, praktik mafia hukum justru banyak beroperasi pada tingkat aparat penegak hukumnya. Pada konteks ini, peranan PPATK menjadi tidak terlalu banyak berarti karena “disandera” oleh wewenang eksekutorial aparat penegak hukum.

Dua Persoalan Utama

Minimnya kontribusi yang diberikan rezim antipencucian uang untuk meminimalkan berbagai macam praktik kejahatan ilegal terletak pada penataan yang tidak terlalu tepat atas wewenang PPATK. PPATK sebagai lembaga independen telah berada pada jalur yang benar.Namun, jalan atau tidaknya agenda pemberantasan praktik pencucian uang tidak hanya bergantung kepada PPATK. Dalam bahasa lain, seberapa banyak pun jumlah laporan hasil analisis atas transaksi yang mencurigakan ditemukan oleh PPATK,sepanjang pada tingkat penindakan mengalami kemacetan penanganan, maka jumlah temuan menjadi tidak relevan.

Ada dua persoalan utama yang menghambat penanganan yang harmonis atas praktik pencucian uang di Indonesia. Pertama, ujung dari semua hasil kerja analisis dan pengolahan data mengenai transaksi yang mencurigakan di PPATK berada pada aparat penegak hukum. Dari kacamata penerapan sistem checks and balances, hal itu sudah sangat lumrah supaya tidak ada pemusatan otoritas/kekuasaan pada satu lembaga.Akan tetapi dalam situasi aparat penegak hukum justru menjadi penghambat dalam program pemberantasan praktik pencucian uang, menyerahkan otoritas kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan transaksi mencurigakan sama dengan bunuh diri.

Kedua, PPATK tidak memiliki petugas yang mandiri dari pengaruh kekuasaan mana pun. Meskipun PPATK adalah lembaga independen, nasibnya setali tiga uang dengan KPK yang sebagian sumber daya manusianya direkrut dari institusi penegak hukum konvensional. Tak mengherankan jika banyak rumor mengenai adanya data di PPATK yang bocor terlebih dahulu kepada pihak terlapor sebelum dilaporkan kepada penegak hukum.

Catatan ke Depan

Berdasarkan dua persoalan di atas, pemerintah dan DPR perlu melakukan revisi atas peran dan otoritas PPATK ke depan. Jika pada masa lalunya PPATK hanya berperan sebagai pemberi informasi bagi aparat penegak hukum,sudah saatnya PPATK diberi wewenang yang lebih besar,yakni otoritas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri. Hal ini untuk meningkatkan peran PPATK dalam pemberantasan praktik pencucian uang sehingga sinergi antara PPATK dengan lembaga sejenis seperti KPK dan Komisi Yudisial dapat lebih kokoh terbangun.

Bagaimanapun, kaitan antara tindak kejahatan pencucian uang dengan kejahatan asalnya seperti korupsi,narkotik,judi,pembalakan liar, perdagangan manusia begitu kuat. Dalam rumusan hukum pencucian uang, memberantas kejahatan ini seharusnya sangat mudah karena para penyidik tidak harus membuktikan terlebih dahulu kejahatan asalnya. Sepanjang diketahui ada kecurigaan terhadap transaksi yang mencurigakan dan mengarah pada indikasi pencucian uang, pada saat itu pula proses hukum dapat dilakukan. Denganmemberikanwewenang penindakan kepada PPATK, diharapkan jumlah kasus pencucian uang yang bisa diungkap akan semakin signifikan.Demikian pula jika ada keterlibatan para perwira di tingkat penegak hukum dalam praktik pencucian uang,proses penegakan hukum tetap bisa dilakukan secara independen oleh PPATK.

Untuk melengkapi wewenang penindakan,PPATK juga harus dibekali para penyelidik dan penyidik yang independen. Kita harus becermin kepada KPK yang banyak mengalami hambatan penanganan perkara jika melibatkan aparat penegak hukum lain karena para penyelidik dan penyidik KPK sebagian besar berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Dengan penyelidik dan penyidik yang mandiri, PPATK akan menjadi pilar bagi penegakan hukum yang lebih menjanjikan di masa depan.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 6 Mei 2010

Tuesday, May 04, 2010

Efektivitas Penjara Khusus Koruptor

TIDAK munculnya efek jera dari pemenjaraan para koruptor disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya, kondisi penjara di hampir sebagian lembaga pemasyarakatan yang dihuni koruptor bisa disulap menjadi istana atau hotel.

Karena itu, tidak mengherankan jika korupsi terus terjadi dan kian berkembang. Asumsinya, jika risiko atas perbuatan korupsi lebih rendah ketimbang nilai korupsi yang diperoleh, korupsi akan terus berlangsung. Karena itu, pemenjaraan pelaku korupsi seharusnya dimaksudkan untuk meningkatkan risiko terhadap tindakan koruptif. Bukan sebaliknya, menjadi tempat yang tidak menakutkan sama sekali bagi pencuri uang negara.

Untuk menghindari kejadian seperti kasus Ayin dan beberapa koruptor kakap lain, Menteri Hukum dan HAM telah meresmikan penjara khusus bagi koruptor di Lapas Cipinang, Jakarta. Diharapkan dengan penjara khusus tersebut, koruptor yang memiliki banyak uang tidak serta merta dapat menyuap pejabat atau petugas lapas untuk mendapatkan fasilitas yang berlebih. Dengan begitu, koruptor akan dapat merasakan tidak enaknya hidup di penjara sebagaimana dialami pelaku kriminal jalanan.

Empat Faktor Menjerakan

Karena penjara adalah ujung atau akhir dari hasil perbuatan pidana (korupsi), efek jera atas perbuatan korupsi tidak serta merta bergantung padanya. Ada rentetan proses hukum yang menjadi faktor lain dari kuat atau tidaknya efek jera sebagaimana yang diinginkan dari pemidanaan.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah tingkat hukuman bagi koruptor yang belum mencerminkan rasa keadilan publik. Dalam catatan ICW pada 2009, rata-rata hukuman bagi koruptor yang telah divonis tetap di Pengadilan Tipikor hanya 4,4 tahun. Rata-rata hukuman ini bisa berkurang jika kita melihat realitas yang ada di pengadilan umum.

Jika hukuman yang diberikan hakim ringan, tentu saja hal itu juga disebabkan oleh tuntutan jaksa yang tidak terlalu tinggi. Ada semacam kebiasaan bahwa putusan bersalah hakim terhadap koruptor berkisar 50 persen lebih kecil daripada tuntutan jaksa penuntut.

Meski demikian, meningkatkan risiko terhadap perbuatan korupsi tidak cukup hanya dengan tingkat hukuman penjara yang lama. Juga diupayakan bagaimana membuat para koruptor tidak dapat menikmati hasil jarahannya. Dalam konteks ini, hukuman penjara yang berat harus dikombinasikan dengan putusan ganti rugi atas perbuatan telah merugikan keuangan negara secara berlipat.

Faktor yang membuat korupsi di Indonesia bisa sangat menyenangkan adalah karena putusan ganti rugi tetap membuat para koruptor bisa menikmati dan mengembangbiakkan hasil korupsinya. Pasalnya, dari tindakan korupsi yang acapkali dilakukan terus-menerus, yang dapat dibongkar aparat penegak hukum barangkali hanya satu atau dua perbuatan. Akumulasi kekayaan yang dihasilkan dari korupsi yang berulang-ulang itu akan sanggup membuat pelakunya hidup dalam kemewahan, sekalipun pada akhirnya perbuatannya diketahui.

Demikian halnya hukuman ringan akan kian ringan jika pemerintah memberikan kebijakan remisi terhadap pelaku korupsi pada hari-hari besar. Kita tahu, hari-hari besar di Indonesia tidak hanya satu kali dalam setahun. Jika pertimbangan kelakuan baik selama di penjara menjadi ukuran untuk memberikan diskon hukuman, paling tidak koruptor hanya akan menghuni sel penjara setengah dari vonis penjara yang telah diberikan hakim.

Karena korupsi merupakan kejahatan white collar, biasanya pelakunya adalah orang terdidik, pintar, berkedudukan tinggi, dan sudah terbiasa berperilaku baik dalam hubungan sosial. Mereka bukanlah pelaku kriminal jalanan yang hampir kehilangan pegangan nilai-nilai sosial sehingga perilaku mereka cenderung kasar. Karena itu, secara sosiologis, alasan pemberian remisi bagi koruptor tidak bisa disamakan dengan pelaku kejahatan jalanan.

Pembenahan Aparat

Langkah Menteri Hukum dan HAM membuat penjara khusus koruptor perlu dihargai. Tetapi, supaya penjara khusus koruptor tidak jatuh sebagai tempat atau hotel baru bagi penghuninya, perlu pembenahan serius terhadap aparat yang akan mengoperasikan penjara tersebut. Jika aparat yang mengawal penjara khusus koruptor diambil dari lapas-lapas yang ada sebelumnya, mungkin penjara khusus koruptor tidak banyak bermanfaat.

Pasalnya, mereka telah terbiasa menerima sesuatu dari penghuni lapas untuk meloloskan banyak hal yang sebenarnya dilarang. Justru peluang menjadi lebih terbuka untuk terjadinya praktik suap-menyuap antara koruptor dan aparat lapas. Sebab, biasanya para koruptor memiliki lebih banyak duit daripada pelaku kejahatan lain. Jika ini yang terjadi, penjara khusus koruptor bukan hanya surga bagi penghuni selnya, tapi juga surga bagi aparaturnya.

Karena itu, diresmikannya penjara khusus koruptor harus menjadi momentum bagi Menteri Hukum dan HAM untuk membenahi secara serius mentalitas aparat lapas yang terbiasa dengan praktik sogok-menyogok. Melakukan rekrutmen khusus, pengawasan yang superketat terhadap mereka, penyediaan dokter khusus yang profesional karena koruptor sering beralasan sakit untuk keluar dari penjara, membangun sistem penjara yang modern sehingga dapat mengurangi peluang bagi aparat untuk "bermain-main" adalah bagian dari pembenahan di lembaga pemasyarakatan yang perlu diperhatikan.

Terakhir, Menteri Hukum dan HAM harus melakukan moratorium (penghentian) terhadap kebijakan pemotongan hukuman bagi koruptor yang selama ini menjadi kebiasaan. Sebab, diskon hukuman bagi koruptor adalah kebijakan yang justru melanggengkan perbuatan korupsi. (*)

*). Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Tulisan disalin dari Jawapos, 5 Mei 2010