Wednesday, January 27, 2010

Deklarasi Aset Kekayaan Pejabat Publik

Berulangkali KPK menyampaikan keluhan atas malasnya penyelenggara negara dalam melaporkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Padahal, sesuai dengan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam pasal 5 ayat 2 dan 3 diatur mengenai kewajiban bagi penyelenggara negara untuk bersedia diperiksa kekayaannya sekaligus melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat.

Sesungguhnya, isu mengenai kemalasan pejabat publik kita dalam menyampaikan LHKPN sudah menjadi pengetahuan umum sejak tahun 2001. Rata-rata tingkat kepatuhan penyelenggara negara yang memiliki kewajiban melaporkan kekayaannya hanya 41,57% pada tahun itu. Satu tahun setelahnya, yakni pada 2002, tingkat kepatuhan justru menurun menjadi hanya 40,21%. Demikian pula pada tahun 2003, hanya 42,15% pejabat publik yang melaporkan LHKPN-nya kepada KPKPN.

Tahun 2004, setelah KPK berdiri, fungsi penanganan LHKPN dialihkan kepada lembaga independen ini. Namun tetap saja tingkat kemalasan pejabat publik kita dalam menyampaikan LKHPN tidak beringsut turun. Hanya 49,16% yang mau menyerahkan laporan harta kekayaannya kepada KPK pada 2004. Pada tahun 2005, kepatuhan tetap tak beranjak maju karena cuma 49,44% dari total penyelenggara negara yang mau melaporkan harta kekayaannya kepada KPK. Terakhir pada tahun 2006, baru 56,11% pejabat publik kita yang bersedia melaporkannya.

Jadi, sejak awal KPK berdiri hingga sekarang, isu mengenai kepatuhan masih mendominasi. Bahkan khusus untuk anggota DPR periode 2004-2009, dari total 560 anggota yang memiliki kewajiban melaporkan LHKPN, hanya 158 orang saja yang melaporkan pada batas waktu yang telah ditetapkan. Sisanya sejumlah 402 anggota DPR sangat mungkin tidak akan menyerahkan LHKPNnya sama sekali.

Bolong Regulasi

Secara umum, pelaporan LHKPN sebenarnya memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme bagi para pejabat negara yang memiliki kekuasaan. Dengan deklarasi aset kekayaannya, kita dapat mengidentifikasi apakah harta kekayaan yang dimiliki diperoleh dari pemberian, hutang atau bersumber dari pendapatan. Pendatapan itu sendiri kemudian bisa diklarifikasi apakah dari pendapatan yang resmi atau pendapatan illegal. Dengan adanya mekanisme pelaporan LHKPN, diharapkan kesempatan melakukan korupsi dapat dikurangi.

Sudah banyak negara yang mengadopsi aturan mengenai deklarasi aset kekayaan pejabat publik. Masing-masing negara memiliki kekhususan dalam pengaturan ini. Sebagai contoh Korea Selatan, kewajiban pelaporan harta kekayaan masuk dalam wilayah hukum etika pejabat publik. Di Latvia, pengaturan atas kewajiban deklarasi harta kekayaan bagi pejabat publik masuk dalam ranah UU yang bertujuan untuk mencegah konflik kepentingan bagi pejabat publiknya. Sementara di Amerika Serikat, kaitan isu LHKPN ada pada UU etika pemerintah.

Pertanyaannya, mengapa dalam konteks Indonesia, sudah lebih dari 10 tahun aturan mengenai kewajiban pelaporan LHKPN disahkan, masalah yang dominan adalah melulu soal kepatuhan? Padahal isu lain yang lebih strategis, misalnya soal kebenaran laporan masih belum disentuh sama sekali. Ini artinya, aturan mengenai kewajiban pelaporan LHKPN belum bisa menjadi instrumen yang efektif untuk mencegah korupsi mengingat bagi pejabat publik yang tidak melaporpun, mereka tidak mendapatkan konsekuensi apapun. Pendek kata, tidak ada resiko sama sekali bagi pejabat publik yang tidak melaporkan LHKPN-nya kepada KPK.

Dengan demikian, isu besar dari aturan mengenai LHKPN di Indonesia adalah tiadanya sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Pelanggaran ini bisa kita klasifikasikan kedalam dua hal, yakni soal sanksi bagi yang tidak patuh melaporkan dan sanksi bagi yang melaporkan harta kekayaannya dengan tidak benar/tidak jujur. Dalam UU No 28 Tahun 1999 sebagaimana telah disebutkan diatas memang tidak mengatur sama sekali soal sanksi bagi pejabat publik yang melanggar.

Kita mungkin bisa meniru aturan main di Amerika Serikat. Dibawah Ethics in Government Act of 1978 bagian 101, bagi pejabat publik yang kedapatan tidak melaporkan LHKPN-nya, atau melaporkan dengan tidak jujur aset kekayaannya, dapat diseret dan dituntut oleh aparat penegak hukum ke pengadilan dengan dakwaan telah melanggar ketentuan yang berlaku bagi pejabat publik tersebut. Ini berlaku untuk semua kategori pejabat publik, termasuk Presiden sekalipun.

Pelengkap

Selain absennya dimensi sanksi dalam aturan LHKPN kita, ada beberapa dimensi umum yang bisa melengkapi efektifitas aturan LHKPN. Isu pertama adalah soal hak akses publik atas informasi harta kekayaan pejabat publik. Artinya, dalam aturan main mengenai kewajiban pelaporan harta kekayaan bagi pejabat negara, publik musti diberikan hak untuk dapat mengetahui secara detail laporan tersebut.

Hak akses publik ini merupakan sebuah dimensi yang penting mengingat secara teknis, KPK tidak akan mungkin dapat mempelajari dan melakukan audit terhadap seluruh laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Masukan dari masyarakat atas kejanggalan harta kekayaan yang dilaporkan, atau adanya harta kekayaan yang dimiliki tapi tidak dilaporkan oleh pejabat bersangkutan menjadi penting artinya bagi upaya untuk menegakkan LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi yang efektif.

Satu hal lain yang tidak mungkin dapat dilepaskan dari aturan utuh mengenai kewajiban pelaporan harta kekayaan pejabat publik adalah hukum mengenai pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik merupakan sebuah cara yang paling mudah untuk memastikan bahwa harta kekayaan yang dimiliki oleh pejabat tertentu tidak atau berasal dari tindak kejahatan (korupsi). Di Korea Selatan, untuk melindungi privasi pejabat publiknya, aturan mengenai pembuktian terbalik juga dilengkapi dengan kriminalisasi atas pelapor jika yang dilaporkan itu tidak benar. Maksudnya, pejabat yang bersangkutan dapat melaporkan balik pelapor jika kedapatan pelaporan itu tidak akurat sama sekali. Ini adalah win win solution atas banyaknya celah dan kelemahan dalam aturan deklarasi aset kekayaan pejabat publik kita.

Jika ini diterapkan, publik pastinya tidak akan keberatan sama sekali jika klausul mengenai pemidanaan bagi pelaporan yang salah itu diterapkan. Sekarang tinggal bagaimana anggota DPR baru dan Presiden merespon usulan atau inisatif publik untuk menggagas konsep aturan mengenai pemberantasan korupsi yang komprehensif. Jika komitmen penguasa dalam memberantas korupsi tinggi, niscaya kedua hal ini tidak memberatkan sama sekali.

Disalin dari Koran Tempo, 28 Januari 2010

Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Thursday, January 21, 2010

Vonis Bebas Bagi Koruptor

Pengadilan adalah gerbang terakhir upaya mencari keadilan. Akan tetapi, hakim bersama-sama dengan aparat penegak hukum lain pun telanjur diyakini menjadi bagian dari sindikat mafia peradilan.


Rusaknya hukum di negeri ini merupakan sebuah cerminan nyata dari kehancuran integritas aparat penegak hukumnya. Meskipun tidak ada kasus jual-beli perkara yang terungkap, bau anyir kebobrokan para hakim terendus kencang. Seperti angin, eksistensinya tidak pernah bisa terlihat kasatmata, tetapi kehadirannya dapat kita rasakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penegak hukum yang diandalkan publik pernah mencoba membongkar kasus mafia peradilan di pengadilan.Tidak tanggung-tanggung, operasi itu diarahkan ke pusat kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung (MA) RI.Akan tetapi upaya itu gagal karena bocornya informasi terkait rencana operasi besar tersebut.

KPK pun hanya bisa mencokok pegawai MA saja,sementara the big fish-nya melenggang bebas.Hingga periode 2010, KPK sama sekali belum mendapatkan tangkapan bagus di lingkungan pengadilan. Upaya KPK perlu didukung dan harus menjadi agenda prioritas mengingat tiadanya kasus korupsi yang melibatkan hakim menjadi salah satu alasan pembenaran bahwa di lingkungan pengadilan tidak ada praktik suap-menyuap. Oleh karena itu,satu-satunya cara untuk meyakinkan otoritas politik bahwa korupsi di pengadilan telah menjamur adalah dengan mengungkap korupsi di wilayah itu.

Fenomena Koruptor Bebas


Satu hal yang selalu menjadi pertanyaan besar adalah mengapa hakim bisa dengan mudah membebaskan terdakwa korupsi, sementara untuk kasus-kasus kecil, mereka bisa dengan mudah menjeratnya? Ini bukan sebuah fenomena yang kebetulan, tetapi ada suatu sistem yang berjalan dengan tidak transparan dan akuntabel. Sistem koruptif yang telah mencabikcabik martabat serta keluhuran hakim sebagai pemegang palu kebenaran. Data pemantauan ICW pada 2009 menunjukkan ada yang tidak beres dalam proses peradilan kasus korupsi.

Sebanyak 100 hakim yang tersebar di berbagai daerah dan tingkat pengadilan yang berbeda telah memberikan vonis bebas bagi para terdakwa korupsi. Lebih dari itu, 6 hakim lainnya telah menjatuhkan vonis hukuman percobaan bagi pencuri uang negara. Sebuah putusan yang sangat bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo UU 20/2001) mengingat peraturan tidak pernah memberikan pilihan atas hukuman percobaan bagi koruptor. Selain jumlah hakim, dari 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia, sebanyak 224 terdakwa (59,26%) divonis bebas/lepas oleh pengadilan.

Hanya 154 terdakwa (40,74%) yang akhirnya divonis bersalah. Meski diputuskan bersalah, bobot vonisnya dapat dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi.Terdakwa yang divonis di bawah 1 tahun penjara sebanyak 82 terdakwa (21,69%), 1–2 tahun 23 terdakwa (6,08%), 2–5 tahun 26 terdakwa (6,88%) dan 5–10 tahun 6 terdakwa (1,59).Hanya ada 1 terdakwa yang divonis di atas 10 tahun (0,26%). Acap kali independensi hakim menjadi sebuah dasar bagi putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika keadilan sekaligus melukai perasaan keadilan publik.

Padahal jika kita kaji dalam perspektif politik hukum, tersembunyi sebuah kenyataan yang tak terlihat bahwa kekuasaan, baik uang maupun kedudukan, dapat menjadi faktor penentu putusan pengadilan. Bisa dikatakan, hakim yang bersih dengan UU yang banyak kelemahannya sekalipun bisa menjatuhkan vonis yang adil dibandingkan dengan UU yang sangat baik akan tetapi berada di tangan hakim yang kotor.

Di Balik Vonis Bebas

Dalam kasus korupsi, vonis hakim akan langsung berhubungan dengan perasaan keadilan publik. Hal itu bukan hanya karena,per definisi, korupsi sama artinya dengan merampok uang publik, tetapi karena dampak dari tindak pidana korupsi telah merenggut hak-hak dasar warga masyarakat. Jika korupsi sudah dianggap sebagai extra-ordinary crime, seharusnya cara membaca kualitas kejahatan ini tidak bisa disamakan dengan kejahatan jalanan (street crime).

Mencurigai bahwa di balik vonis bebas ada praktik jual-beli perkara tentu tidak boleh disalahkan. Akan tetapi belum tentu juga seluruh kecurigaan itu benar. Dalam beberapa hal, faktor kecakapan hakim dalam memahami persoalan korupsi menjadi kendala bagi lahirnya sebuah putusan yang berkualitas. Jika masalah di atas dipadukan dengan rendahnya komitmen dalam memberantas korupsi, sangat mungkin vonis-vonis bebas bagi koruptor akan terus lahir.

Demikian halnya,hakim secara objektif tidak bisa sepenuhnya disalahkan jika memutuskan vonis bebas.Ada kalanya, kenakalan dalam menangani perkara sudah dimulai sejak di tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan aparat penegak hukum lainnya. Artinya, ada celah lain yang bisa menciptakan vonis bebas di luar otoritas kekuasaan pengadilan. Dalam beberapa hasil eksaminasi publik yang dilakukan ICW terhadap putusan kasus korupsi, lemahnya dakwaan jaksa atau bahkan tidak digunakannya alat bukti yang kuat––meskipun tersedia–– pada persidangan kasus korupsi menjadi salah satu pemicu bebasnya koruptor.

Jalan Keluar

Meskipun berbagai faktor sangat memengaruhi bebas tidaknya terdakwa korupsi di pengadilan, benteng yang kuat dari hakim dapat menutup celah-celah tersebut.Oleh karena itu, syarat utama bagi lahirnya sebuah putusan hakim yang adil adalah integritas seorang hakim itu sendiri.

Hakim bisa memberikan teguran kepada jaksa jika tuntutan dan alat bukti tidak memadai, hakim bisa meminta jaksa melengkapi dakwaan, dan hakim bisa mencari berbagai macam inspirasi kebenaran meskipun dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi jalannya persidangan yang adil. Sosok hakim yang berintegritas baru bisa dilahirkan dalam sebuah lingkungan yang mendukung. Mudahnya hakim bertemu dengan pihak-pihak beperkara, kepermisifan yang sangat tinggi terhadap berbagai macam penerimaan yang dikategorikan gratifikasi, lemahnya pengawasan internal,dan longgarnya nilai-nilai integritas di lingkungan pengadilan merupakan faktor penunjang bagi terjadinya mafia kasus.

Dengan demikian, perlu diambil sebuah langkah yang mungkin tidak terlalu besar,tetapi memberikan dampak menyeluruh bagi kebiasaan lama yang cenderung koruptif. Meningkatkan dan memperketat kode etik yang mengandung nilai-nilai integritas, akuntabilitas, dan transparansi sebagai pejabat publik merupakan langkah mendesak yang harus diambil otoritas pengadilan.Pendeknya,dibutuhkan pelembagaan nilai-nilai antikorupsi yang kuat pada setiap tingkatan pengadilan sehingga memupuskan peluang bagi terjadinya kolusi.MA sebenarnya bisa meniru bagaimana KPK membangun nilainilai tersebut.

Dengan nilai-nilai antikorupsi yang ketat,sanksi yang tegas dan pengawasan yang memadai, tingkah laku hakim akan bisa dikendalikan. Terakhir, lingkungan pengadilan harus didesak untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik melalui berbagai macam kebijakan disclosure. Artinya, keterbukaan dan akses informasi publik di lingkungan pengadilan harus menjadi bagian dari sistem akuntabilitas atas kerjakerja penegakan hukum yang dilakukan para hakim.

Harus diingat bahwa korupsi akan selalu nyaman dalam ruang yang remang-remang. Memberikan penerang pada setiap proses pengambilan keputusan publik adalah penawar penyakit korupsi yang tidak bisa dibantah lagi.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)


Tulisan disalin dari Harian Seputar Indonesia, 22 Januari 2010

Sunday, January 03, 2010

Tugas Berat Satgas Hukum

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dikomandoi Kuntoro Mangkusubroto secara resmi dibentuk.

Tugas utama Satgas adalah melakukan koordinasi, evaluasi, dan koreksi atas kerja-kerja penegakan hukum yang dilaksanakan oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Satgas sendiri dibentuk sebagai respons atas terkuaknya skandal Anggodo dengan pejabat teras di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung RI yang kedapatan telah bersekongkol untuk melakukan rekayasa hukum terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Dilihat dari sisi teamwork, mungkin hanya segelintir nama yang telah memiliki reputasi atau pengalaman dalam isu reformasi hukum, sebut saja, misalnya, Mas Achmad Santosa. Selebihnya, Kuntoro sendiri sebagai contoh, adalah pribadi yang dilihat dari rekam jejaknya, lebih banyak bersentuhan dengan bidang-bidang nonhukum. Tak heran jika ada yang menilai, tampilnya Kuntoro sebagai ketua Satgas lebih karena politik akomodasi Presiden, sekaligus politik balas-budi pasca kemenangan gemilang pada pemilu Presiden-Wakil Presiden kemarin.

Oleh karena itu, tak heran jika banyak yang meragukan efektivitas kerja kerja Satgas ke depan, di luar soal kompetensi, hal lain adalah karena posisi dan wewenang Satgas sebenarnya telah berbenturan atau tumpang tindih dengan lembaga sejenis yang sudah dibentuk. Dalam konteks itu, seharusnya SBY fokus pada upaya untuk merevitalisasi institusi pengawasan peradilan yang dari sisi landasan hukum jauh lebih kuat, semisal Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, atau bahkan Komisi Yudisial. Demikian halnya KPK, memiliki tugas untuk memberantas korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum sebagaimana diatur dalam pasal 11 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Mengapa mandul?
Kita tentu tidak berharap jika program pemberantasan mafia hukum sebagai prioritas kerja 100 hari Kabinet Bersatu jilid II akan menjadi pepesan kosong. Atau, bahkan yang lebih menyedihkan jika kebijakan itu disusun hanya untuk memoles citra seorang Presiden supaya terkesan serius dalam memberantas korupsi. Perlu dicatat bahwa naiknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia selama dua tahun berturut-turut, yakni 2008 dan 2009 lebih banyak dinilai karena faktor sepak terjang KPK. Artinya, jika selama ini pemerintah serius dalam memberantas korupsi dan semua institusi pemerintah menjalankan program antikorupsi, seharusnya IPK Indonesia akan meningkat signifikan, lebih daripada yang sekarang sudah dicapai.

Menengok catatan Kejaksaan Agung sebagai contoh, sudah beberapa kali skandal besar yang terkait dengan praktik mafia peradilan terungkap. Sejak Urip Tri Gunawan (UTG) ditangkap basah KPK karena menerima suap dari Ayin, AH Ritonga, wakil Jaksa Agung yang berkomunikasi dengan Anggodo menutup periode terburuk dari integritas penegak hukum sejak reformasi didengungkan. Belum lagi kasusnya akan bertambah jika dimasukkan nama jaksa Esther yang telah menjual barang bukti, atau Burdju Ronni yang telah divonis Pengadilan karena melakukan pemerasan akan tetapi tetap menjadi pegawai di lingkungan Kejaksaan Agung.

Maraknya praktik mafia peradilan di lingkungan lembaga peradilan sekaligus mencerminkan gagalnya lembaga pengawas semacam Komisi Kejaksaan atau Komisi Kepolisian. Masalahnya, komisi-komisi semacam ini lahir dan diisi oleh orang-orang dari sebuah rekrutmen yang buruk sekaligus wewenang yang terbatas.

Diagnosa partisipatoris

Supaya kekhawatiran banyak pihak atas efektivitas kerja Satgas tidak terbukti, tim ini harus melakukan langkah cepat sekaligus strategis. Karena medan arena pertempurannya cukup luas, dimana kejahatan mafia hukum melibatkan banyak aktor dan berada pada banyak struktur penegak hukum kita, maka Satgas perlu mengambil strategi untuk membenahi pusat-pusat kewenangan penegakan hukum yang tertinggi, sebut saja di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Artinya, Satgas tidak perlu menengok terlalu jauh hingga ke Kejaksaan Negeri atau Polsek di tingkat kepolisian dalam menjalankan misi memberantas mafia peradilan. Logikanya, jika lingkungan Kejaksaan Agung dan Mabes Polri sudah relatif steril dari relasi-relasi koruptif dengan pihak luar, maka membenahi struktur di bawahnya akan menjadi lebih mudah.

Selain itu, Satgas tidak perlu berkecimpung terlalu jauh pada penanganan perkara-perkara mafia peradilan yang dilaporkan pihak tertentu. Cukuplah wilayah itu dikoordinasikan dengan KPK, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, atau Komisi Yudisial. Satgas akan menjadi lebih efektif jika berfokus pada tiga hal yang akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya misi Satgas, yakni bagaimana Satgas sanggup mendiagnosis secara komprehensif sistem koruptif yang bekerja di internal lembaga penegak hukum, struktur yang mempertahankan praktik mafia peradilan serta memastikan bahwa agensi di lingkungan penegak hukum memiliki kemauan untuk berbenah.

Robert Klirgaard, salah seorang penasihat antikorupsi internasional menawarkan sebuah pendekatan dalam melakukan diagnosis untuk memulai melakukan perubahan di lingkungan pemerintahan. Klitgaard menyebutnya sebagai diagnosis partisipatoris.

Asumsinya, korupsi yang sudah sistemik bukan semata-mata disebabkan oleh perilaku individu yang menyimpang, melainkan sistem yang berlaku membuka ruang atau bahkan menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di sisi lain, orang-orang yang bekerja di instansi pemerintah memiliki pengetahuan dan informasi yang akurat atas berbagai bentuk penyimpangan yang biasa terjadi.

Selain mendiagnosis secara partisipatoris sebab berjangkitnya mafia peradilan, Satgas juga perlu menilai integritas dan kapasitas struktur yang selama ini menjalankan roda birokrasi penegakan hukum. Memetakan siapa-siapa yang bisa diajak untuk mendorong perubahan dan siapa-siapa yang tetap ingin mempertahankan status quo merupakan pekerjaan rumah selanjutnya.

Selebihnya, jika Satgas menghadapi kendala besar di internal Kejaksaan Agung dan Mabes Polri untuk melakukan upaya reformasi, cukuplah semua itu dilaporkan ke Presiden sehingga Presiden bisa mengambil langkah politik yang diperlukan. Kita berharap Satgas tidak terlalu banyak merumuskan agenda kerja, akan tetapi kosong pada impelementasi.

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Tulisan disalin dari Harian Republika, 4 Januari 2010

http://www.republika.co.id/koran/24/99698/Tugas_Berat_Satgas_Hukum