Tuesday, April 28, 2009

Reformasi Pura-Pura Kejaksaan Agung

DARA dan Esther adalah dua nama jaksa yang saat ini ''popularitasnya'' demikian melambung, menandingi artis dan politisi. Sayang, ketenarannya bukan karena torehan prestasi mereka dalam menangani dan membongkar tindak kejahatan, melainkan sebaliknya. Gara-gara ingin memiliki alat komunikasi modern merek BlackBerry, kedua aparat penegak hukum itu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Polda Metro Jaya karena dianggap menggelapkan dan menjual barang bukti kejahatan narkoba, yakni 343 butir pil ekstasi.

Perbuatan itu bukan hanya mencoreng muka kejaksaan yang tengah menata citra dirinya, tetapi juga sangat mencederai hukum. Mereka (aparat penegak hukum) yang seharusnya menegakkan ketertiban justru menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Tidak ada kata lain, kelak hukuman berlipat harus diberlakukan bagi Dara dan Esther jika terbukti bersalah, sebagaimana hukuman terhadap Urip Tri Gunawan yang harus menerima putusan 20 tahun penjara karena menerima suap.

Sesungguhnya desas-desus mengenai transaksi jual beli barang bukti yang dilakukan aparat penegak hukum sudah jauh-jauh hari santer terdengar. Tetapi, ibarat mengungkap borok sendiri, hampir mustahil kasus-kasus semacam itu dapat dibuka ke ruang publik. Terlebih, mereka yang melakukan adalah aparat penegak hukum yang tahu celah aturan dan memiliki otoritas penuh untuk menangani tindak kejahatan. Oleh karena itu, kita dapat berharap agar pengungkapan kasus Dara dan Esther akan menginspirasi munculnya kasus-kasus lain yang sejenis.

Jika Dara dan Esther sebagai jaksa rendahan saja bisa melakukan kejahatan keji semacam itu, pertanyaannya, bagaimana jaksa-jaksa lain yang lebih tinggi pangkat dan kedudukannya? Pertanyaan itu bukan hendak menggeneralisasi bahwa perangai semua jaksa sama. Tetapi, itu mengasumsikan bahwa setiap jabatan dan kekuasaan yang melekat pada diri jaksa berpotensi untuk disalahgunakan.

Maka, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sebenarnya otoritas kejaksaan telah melakukan upaya-upaya pembenahan internal untuk memperbaiki pandangan dan kepercayaan publik yang merosot terhadap integritas personel kejaksaan? Apakah sistem internal kejaksaan telah memberikan daya dukung yang cukup untuk mengantisipasi dan memberikan respons cepat atas pelanggaran yang dilakukan personelnya?

Dari pemindaian secara umum terhadap situasi di atas, kita harus berani mengatakan bahwa pembenahan internal kejaksaan sebagai mandat reformasi belum membawa angin segar bagi lahirnya kultur aparat penegak hukum yang baru. Dengan kata lain, suasana perubahan yang didorong oleh elite kejaksaan masih kental dengan kepura-puraan dan tendensi seremonialnya jauh lebih menonjol. Maka, tak heran bila kasus Dara dan Esther muncul justru di tengah-tengah usaha kejaksaan membina jajarannya.

Sejauh mengamati proses hukum Dara dan Esther, sikap petinggi kejaksaan dalam menanggapi kasus tersebut juga setali tiga uang, kian mengkristalkan kepercayaan publik bahwa institusi kejaksaan belum banyak berubah. Bukan malah membantu, justru menghalangi. Begitu kira-kira kata yang tepat mewakili keputusan kejaksaan untuk tidak memberikan perpanjangan penahanan bagi kedua tersangka. Padahal, Polda Metro Jaya sudah menyurati jauh-jauh hari sebelum penahanan pertama habis masa berlakunya. Urusan lantas dibuat kian rumit karena untuk memeriksa dua jaksa tersebut muncul syarat baru yang diajukan, yakni perlu ada izin pemeriksaan dari jaksa agung.

Keputusan yang kontroversial sekaligus kontraproduktif tersebut tidak menguntungkan sama sekali bagi reformasi internal kejaksaan secara keseluruhan. Argumentasi apa pun yang dibangun oleh juru bicara kejaksaan justru memperkuat keyakinan publik bahwa semangat melindungi korps jauh lebih dihargai daripada mempermudah penanganan kasus penggelapan dan penjualan pil ekstasi oleh tersangka Dara dan Esther. Pendek kata, jika partai politik sering disebut bunker (tempat berlindung) para koruptor, sangat mungkin kejaksaan juga bisa menjadi tempat berlindung bagi jaksa pelaku kriminal.

Oleh karena itu, kasus Dara dan Esther adalah cermin kejaksaan. Mereka tidak dapat dikatakan sebagai anomali sepanjang tindakan yang seharusnya diambil oleh otoritas kejaksaan justru memiliki tujuan untuk memberikan proteksi kepada mereka. Kebijakan petinggi kejaksaan yang terkesan melemahkan proses hukum terhadap Dara dan Esther adalah masalah yang telah mendarah daging.

Wajar jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak terlalu banyak berharap dari kejaksaan. Barometernya bisa dilihat dari kampanye keberhasilan pemberantasan korupsi periode kepemimpinan SBY menjelang pemilu legislatif lalu. Sepanjang rekaman penulis terhadap kampanye pemberantasan korupsi SBY, gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru lebih banyak dijadikan latar belakang kampanye, baik dalam bentuk iklan media maupun advertorial di televisi.

Hal itu sungguh ironis karena KPK adalah lembaga independen. Artinya, keberhasilan KPK tidak serta merta diklaim sebagai keberhasilan pemerintahan SBY karena setiap langkah dan keputusan yang diambil pimpinan KPK dalam memberantas korupsi tidak ada kaitan sama sekali dengan campur tangan SBY sebagai presiden. Bahwa Presiden SBY memberikan dukungan politik dalam bentuk tidak campur tangan dalam penanganan kasus-kasus korupsi di KPK adalah sesuatu yang bisa jadi benar. Namun, menguasai secara sepihak sepak terjang KPK sebagai langkah pemberantasan korupsi eksekutif adalah tidak etis secara politik.

Tetapi, hal itu lantas bisa dimaklumi karena tidak ada cerita heroik dari Gedung Bundar yang bisa dijadikan bahan kampanye Presiden SBY (Partai Demokrat). Padahal, dipandang dari sudut tatanan negara, kejaksaan adalah lembaga penegak hukum di bawah kendali top eksekutif (presiden). Logikanya sederhana, jaksa agung adalah jabatan setingkat menteri yang posisinya ditentukan oleh presiden. Dengan demikian, seharusnya jika ingin bersikap lebih elegan, keberhasilan kejaksaan dalam memberantas korupsi adalah keberhasilan pemerintahan SBY, bukan nyasar ke KPK.

Pertanyaan penutup, apakah dengan begitu Jaksa Agung Hendarman Supandji sebenarnya tidak lagi dapat diharapkan oleh presiden untuk mempercantik citra sehingga harus menumpang keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi sebagai bahan utama kampanye SBY kemarin? Bisa jadi itu adalah sinyal yang positif untuk melakukan perombakan secara lebih serius di internal Kejaksaan Agung jika kelak SBY terpilih untuk kali kedua sebagai presiden RI. Saya kira, sudah selayaknya jaksa agung membaca tanda-tanda ini.

Adnan Topan Husodo () adalah wakil koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW)

Disalin dari Harian Jawa Pos, 29 April 2009

Menghukum Caleg Bermasalah

Mulusnya pelaksanaan pemilu, sejak dilakukan pertama kalinya secara demokratis pada tahun 1999 telah membuka harapan baru bagi terciptanya sirkulasi politik yang lebih sehat. Bahkan lima tahun setelahnya, Indonesia melakukan lompatan besar dalam berdemokrasi.

Pemilu 2004 dilakukan dengan mekanisme yang lebih menjamin kekuatan mandat politik melalui pemilihan langsung, baik dalam pemilihan calon presiden dan wakilnya, maupun proporsional terbuka bagi calon anggota parlemen. Sementara pada pemilu 2009 ini, kemajuan makin pesat tatkala proporsional murni diterapkan untuk menentukan caleg terpilih melalui suara terbanyak.

Yang perlu diingat, pemilu sebenarnya hanyalah salah satu alat untuk menilai demokratis atau tidaknya kekuasaan yang lahir. Demokrasi itu pada dasarnya memiliki makna yang lebih dalam, bukan sekedar prosedur memilih pejabat publik belaka. Bahwa hasil pemilu akan legitimate jika ada jaminan sistem yang demokratis, akan tetapi demokrasi itu sendiri bukanlah melulu hanya soal pemilu.

Cita-cita demokrasi adalah memberikan peluang yang lebih baik bagi mayoritas warga negaranya untuk mendapatkan hidup dan sumber penghidupan yang lebih baik, meningkatkan kesejahteraannya menuju masyarakat yang adil dan makmur. Demokrasi juga berarti adanya jaminan perlindungan sosial dari negara terhadap kemungkinan pelanggaran hak-hak asasi dasar warganya (Thomas Meyer, 2005). Makna luhur demokrasi inilah yang masih harus digali di Indonesia.

Pencarian terhadap esensi demokrasi itu menjadi sangat penting karena dalam kehidupan berpolitik yang diklaim sudah demokratis seperti sekarang, banyak fakta yang ironis kita temukan. Penduduk berkategori miskin semakin meningkat, angka pengangguran kian tinggi, kualitas lingkungan dan ekosistem sebagai penyangga kehidupan warga negaranya terus memburuk, korupsi politik merajalela, aksi kekerasan antar kelompok kian menguat (primordialisme) dan persatuan-kesatuan bangsa tambah pudar. Demokrasi (baca: pemilu) nyatanya tidak dengan sendirinya membawa harapan yang lebih baik.

Hal ini tentu saja bisa dipahami karena diluar mekanisme sirkulasi kekuasaan melalui pemilu dan pengakuan negara atas hak berpolitik warga negaranya melalui lembaga politik semisal mendirikan partai politik, aktor politik adalah sisi yang sangat menentukan. Oleh karenanya, demokrasi bukanlah sebuah nilai yang paripurna, akan tetapi harus dihidupkan oleh para pelakunya.

Istilah pembajakan demokrasi merupakan sebuah petunjuk bahwa ada yang tidak beres dengan para aktor politik di negeri ini (Demos, 2005). Jika benar demokrasi telah dibajak, maka gugur anggapan bahwa bangsa ini sedang dinahkodai oleh para abdi negara yang akan membawa kapal besar bernama Indonesia menuju kesejahteraan. Seperti tragedi kapal Titanic, kapal yang megah, besar, tapi tenggelam dihantam gumpalan es, jika tidak diselamatkan, Indonesia mungkin juga akan karam selama-lamanya.

Hamka Yamdhu, Al Amin Nasution, Anthony Zedra Abidin, Yusuf Emir Faisal, Sarjan Taher, Bulyan Royan dan Abdul Hadi Djamal adalah contoh nakhoda yang buruk. Mereka telah mengkhianati amanat rakyat yang diberikan pada Pemilu 2004 karena justru ditangkap KPK karena diduga menerima suap atau melakukan korupsi.

Orang-orang semacam itu bukanlah yang kita butuhkan. Mereka sudah tidak layak untuk menjadi wakil rakyat. Bahkan untuk menjadi pejabat publik yang tanpa melalui proses pemilihan umum-pun sudah tak berhak. Mereka dapat disejajarkan dengan maling ayam, maling ternak atau maling motor, bahkan derajatnya lebih rendah lagi.

Karena ulah mereka, politik selalu dianggap kotor, korup dan penuh kebusukan. Padahal politik adalah jalan mulia untuk melakukan banyak hal bagi bangsa ini. Dengan politik, kebijakan publik yang menghamba pada kepentingan rakyat dapat didorong. Melalui politik, kepentingan bangsa dan masyarakat dapat dilindungi.

Akan tetapi, dengan situasi seperti sekarang, bisa jadi pemimpin yang diam-diam bermasalah juga masih banyak yang bertengger di singgasana kekuasaan dan ingin lagi menjadi penguasa pada Pemilu 2009 ini. Puluhan ribu caleg tengah berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati pemilih. Jalan pintaspun dilakukan, mulai dari jual sabu-sabu, merampok, menipu, memalsukan dokumen negara, menyuap dan sebagainya.

Calon pemimpin dengan mentalitas korup semacam itu harus dicegah menjadi penguasa. Kita jangan lagi memberikan kesempatan bagi pemimpin kotor untuk menjabat dan mewakili kepentingan masyarakat luas. Sudah dipastikan, jika calon-calon legislatif dengan kriteria diatas yang berkuasa kelak, masyarakat akan menderita selama lima tahun kedepan.

Masalahnya barangkali bukan karena kita salah memilih. Tapi terlalu sedikit ketersediaan calon pemimpin yang baik. Mereka yang jujur, tanpa pamrih, melekat jiwa nasionalisme yang kuat dan hidup matinya demi Indonesia justru alergi untuk dipilih menjadi pemimpin. Bukan karena tidak bersedia, tapi jalan menuju kursi itu terlalu kotor, mahal dan sulit. Hingga hanya sedikit dari mereka yang mau menempuh jalan tersebut.

Oleh karena itu, yang sedikit itulah yang benar-benar harus ditemukan. Rekam jejaknya perlu dibeberkan, tindak tanduknya penting untuk dicatat, janji-janjinya harus diingat dalam-dalam, supaya ketika pemilu 2009 tiba, kita dapat memilih pemimpin yang tepat. Kita harus mulai menjadikan pemilu sebagai alat untuk menghukum para politisi yang telah menunggangi demokrasi untuk kepentingan dirinya sendiri.

Almarhum Harry Roesli telah mengingatkan kita, sebagaimana dalam syair lagunya yang dinyanyikan pada deklarasi Gerakan Nasional Jangan Pilih Politisi Busuk tahun 2004, “jangan-jangan pilih mereka, yang merampok uang negara, jangan-jangan pilih mereka, berpolitik untuk korupsi, ambil saja uang mereka, tapi jangan pilih mereka, (lebih baik) jangan ambil uang mereka, tapi jangan pilih mereka.”

****

Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 9 April 2009

Membatasi Dana Kampanye Tanpa batas

Kejengkelan publik atas kinerja KPU yang payah dalam melaksanakan tiap tahapan pemilu bertambah satu. Setelah sebelumnya KPU lamban dalam memberikan pinalti kepada peserta pemilu yang tidak menyerahkan laporan rekening khusus dana kampanye dan saldo awal dana kampanye hingga batas waktu yang telah ditentukan, KPU membuat blunder baru, yakni mengeluarkan Peraturan KPU No 22/1999 tentang pedoman Audit Laporan Dana Kampanye dan Surat Edaran 612/KPU/III/2009 tentang Penjelasan Teknis Peraturan KPU No 1/2009.

Secara kronologis, masalah muncul setelah pada tanggal 25 Maret dan 27 Maret 2009, KPU diam-diam menerbitkan peraturan dan surat edaran baru. Kedua produk hukum KPU tersebut ditujukan bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) yang akan mengaudit laporan dana kampanye dan seluruh pimpinan Partai Politik tingkat pusat, KPUD Propinsi dan KPUD kabupaten/kota sebagai pegangan dalam melaporkan dan melakukan audit. Anehnya kemudian, peserta perorangan calon anggota DPD tidak diberikan informasi serupa, padahal calon DPD juga wajib melaporkan dana kampanye mereka.

Hasil bacaan terhadap peraturan dan surat edaran tersebut, ditemukan beberapa pengaturan yang materinya sangat membahayakan, terutama dari sisi akuntabilitas dana kampanye. Dalam lampiran A huruf 9 Peraturan 22/2009, disebutkan bahwa “jumlah sumbangan untuk setiap nama penyumbang untuk setiap transaksi sumbangan tidak boleh melebihi ketentuan pasal 131 dan 133 UU No 10 Tahun 2008.”

Demikian halnya dalam Surat Edaran 612, yakni pada poin 4 huruf f yang menyebutkan bahwa “batasan sumbangan maksimal dana kampanye, baik untuk individu maupun badan usaha sebagaimana diatur dalam UU No 10 Tahun 2008 pasal 131 dan 133 berlaku untuk sumbangan per transaksi, bukan batasan sumbangan maksimal secara akumulasi.”

Dari pengertian diatas, bisa diterjemahkan jika batasan maksimal sumbangan dana kampanye peserta pemilu berlaku untuk setiap kali transaksi. Diasumsikan, jika terdapat penyumbang individu ataupun badan usaha yang menyumbang hingga sejuta kali, sepanjang setiap kali transaksi sumbangan nilainya tidak melebihi dari Rp 1miliar (pasal 131ayat (1) UU 10/2008) atau Rp 5 miliar (pasal 131 ayat (2) UU 10/2008), menurut KPU hal itu adalah sah. Pengertian ini juga berlaku bagi sumbangan dana kampanye calon DPD sebagaimana diatur dalam pasal 133 ayat 1 dan ayat 2 UU yang sama.

Penafsiran KPU terhadap pengaturan batas maksimal sumbangan dana kampanye pada pasal 131 dan pasal 133 UU 10/2008 teramat konyol karena yang sebenarnya dimaksud UU adalah batas maksimal yang bersifat akumulatif. Seharusnya KPU melihat bahwa tujuan pembatasan sumbangan dana kampanye adalah untuk menciptakan iklim kompetisi pemilu yang lebih adil bagi setiap peserta pemilu.

Pengertian baru yang bertolakbelakang dengan maksud pasal 131 dan 133 bisa dipastikan membawa komplikasi yang memperburuk kualitas penyelenggaraan pemilu. Jika batas maksimal sumbangan dana kampanye berlaku tiap kali transaksi, maka sudah bisa dipastikan ancaman terhadap pemilu kian nyata.

Harus dipahami aturan mengenai batasan maksimal sumbangan dana kampanye pertransaksi hanya akan memperlebar jurang antara peserta pemilu yang berlimpah uang dengan yang tidak. Pincangnya sumber daya yang dimiliki antara masing-masing peserta pemilu membuat proses pemilu menjadi tidak fair dan kompetitif.

Pasalnya peserta pemilu yang mampu mengakses banyak dana kampanye dapat dengan mudah membelanjakan dana tersebut untuk kepentingan memenangi pertarungan, baik melalui cara legal maupun ilegal seperti politik uang. Sementara peserta pemilu 'duafha' hanya akan jadi bulan-bulanan di tengah-tengah hiruk-pikuk kampanye pemilu. Hanya peserta pemilu kaya raya yang bisa mengggunakan media massa dan instrumen kampanye lainnya karena kemampuan tak terbatas untuk membayar. Letak ketidakadilan pemilu adalah jika arena kampanye hanya dikuasai oleh segelintir peserta pemilu yang disokong oleh dana tak terbatas.

Batasan sumbangan maksimal pertransaksi juga dapat mendorong sumbangan dana kampanye menjadi tidak terkontrol karena pada prinsipnya batasan sumbangan maksimal dana kampanye menjadi tidak berlaku. Siapapun, baik perusahaan maupun individu dapat menyumbang tanpa batas sepanjang dalam tiap kali transaksi, sumbangannya tidak melebihi Rp 1 miliar untuk individu dan Rp 5 miliar bagi badan usaha. Peraturan KPU ini akan membuka peluang yang legal bagi penyumbang besar untuk menggelontorkan dana mereka kepada peserta pemilu yang prospektif. Dengan demikian, dapat disimpulkan jika aturan main yang dibuat oleh KPU justru telah meniadakan aturan mengenai batasan sumbangan dana kampanye itu sendiri.

Jika idealnya pemilu adalah ajang untuk memilih pejabat publik yang kredibel, amanah dan berpihak pada kepentingan publik, maka dalam konteks batasan sumbangan maksimal pertransaksi sebagaimana KPU atur justru membuka kesempatan besar bagi peserta pemilu untuk 'disandera' oleh penyumbang besar. Tanpa adanya batasan sumbangan maksimal dana kampanye yang bersifat akumulasi, pengusaha sangat kaya di Indonesia bisa 'membeli' partai politik untuk menjaga kepentingan mereka kedepan.

Pintu yang seharusnya tertutup rapat kini justru dibuka lebar-lebar oleh KPU. Batasan sumbangan maksimal pertransaksi pada akhirnya hanya akan meningkatkan manipulasi laporan dana kampanye peserta pemilu. Jika pada pasal 131 dan 133 UU No 10/2008 pengertian mengenai batas sumbangan dana kampanye maksimal adalah untuk satu kali periode pemilu (akumulasi), sesungguhnya hal ini akan menyulitkan bagi peserta pemilu untuk melakukan manipulasi dana kampanye, meskipun tetap dimungkinan terjadi.

Akan tetapi dengan pengertian baru yang diciptakan oleh KPU, pelaporan dana kampanye akan menjadi sangat mudah dimanipulasi mengingat setiap orang atau perusahaan yang sama, dapat menyumbang lebih dari satu kali sepanjang tidak melebihi batasan per transaksi sebagaimana diatur KPU.

Latar belakang munculnya peraturan inilah yang kemudian perlu dicermati. Sekarang telah berkembang hipotesis bahwa produk hukum KPU diatas sebenarnya merupakan 'pesanan' dari partai politik tertentu yang mendapatkan benefit dari terbitnya peraturan ini. Jika menggunakan kalkulasi untung-rugi, memang yang akan dituntungkan dari berlakunya peraturan batas maksimal sumbangan dana kampanye pertransaksi adalah partai politik tertentu yang didukung dana banyak.

Bisa jadi peraturan ini terbit untuk memberikan justifikasi legal atas pelanggaran terhadap batasan maksimal sumbangan dana kampanye sebagaimana maksud pasal 131 dan 133 UU No. 10/2008 yang sudah terjadi.

Sebagaimana kita tahu, belanja iklan kampanye maupun belanja kampanye pada periode Juli 2008 hingga bulan ini sungguh sangat mencolok jumlahnya, terutama untuk partai politik tertentu. Bisa jadi sebenarnya mereka telah menerima sumbangan dana kampanye yang melebihi batas maksimal, sehingga membutuhkan ketentuan baru yang melegalkan. Pertanyannya sekarang, akan dibawa kemana nasib bangsa ini jika KPU sudah tidak independen?

****
Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Disalin dari Jawa pos, 14 April 2009

Wednesday, April 01, 2009

Mengantisipasi Maraknya Korupsi Pemilu

Korupsi pemilu merupakan istilah baru untuk menjelaskan gejala korupsi pada pelaksanaan pemilu. Korupsi dalam konteks pemilu lebih luas makna dan penjelasannya dibandingkan dengan pengertian korupsi menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Istilah ini sendiri lahir dari berbagai macam kajian atas pelanggaran dalam pembiayaan kampanye yang dilakukan peserta pemilu, khususnya bagi mereka yang menyandang status incumbent. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan peserta kampanye pemilu lainnya juga bisa melakukan praktek serupa.

Open Society Justice Initiative dalam bukunya, Monitoring Election Campaign Finance (2005) menjelaskan bahwa yang disebut sebagai korupsi pemilu adalah praktek pendanaan kampanye--baik penerimaan maupun pengeluaran--yang menciptakan hubungan koruptif antara penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun pola perilaku koruptif yang terjadi antara peserta pemilu dan voters.

Dalam prakteknya, korupsi pemilu terdiri atas tiga bentuk. Pertama, penerimaan dana kampanye yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan maupun yang secara universal merupakan sesuatu yang secara nyata-nyata dianggap tidak boleh, karena menciptakan hubungan koruptif antara yang disumbang dan donatur. Keuntungan yang diperoleh penyumbang terselubung tidak dipetik pada saat pemilu. “Investasi” yang mereka keluarkan untuk menyumbang partai maupun kandidat akan dipanen pada saat peserta pemilu yang didukung memenangi pertarungan. Bentuknya yang paling nyata adalah favoritisme, tempat konsesi, kontrak-kontrak pemerintah, maupun keistimewaan kebijakan publik akan berpihak kepada para penyumbang gelap.

Disebut penyumbang gelap karena peserta pemilu biasanya enggan atau sengaja menutup-nutupi dari mana asal-usul sumbangan kampanye itu diperoleh. Meskipun ada kewajiban dalam pencatatan dan pertanggungjawaban dana kampanye, hal yang biasa dilakukan adalah melakukan manipulasi laporan dana kampanye. Nama-nama penyumbang yang sebenarnya tidak akan muncul dalam laporan. Tiadanya sanksi yang berat menyuburkan praktek semacam ini. Jangan heran jika kelak, dalam laporan dana kampanye peserta pemilu, kita mendapati nama penyumbang fiktif.

Kedua, penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan atau tujuan kampanye (abuse of power). Catatan pemilu di negara mana pun, baik yang demokratis maupun yang belum, menjelaskan bahwa penyalahgunaan jabatan merupakan hal yang kerap terjadi pada saat pemilu. Pembedanya adalah pada aturan main yang ketat atau longgar.

Bentuk penyalahgunaan jabatan bisa macam-macam, mulai yang paling sederhana sampai ke kategori korupsi menurut UU Tindak Pidana Korupsi. Misalnya, menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan kampanye, mengerahkan pegawai negeri sipil atau bawahan (camat, lurah, pamong desa) untuk mendukung peserta pemilu tertentu, menyusun program populis seperti pembagian uang tunai kepada kelompok masyarakat tertentu pada menjelang dan saat kampanye hingga penggunaan dana APBD/APBN untuk pembiayaan kampanye. Contoh konkret yang terakhir ini dapat dilihat dalam kasus korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang menyeret Rohmin Dahuri sebagai terpidana.

Ketiga, pembelian suara (money politics). Jika dikaitkan dengan isu dana kampanye, politik uang adalah bentuk ilegal dari pengeluaran dana kampanye. Artinya, dana kampanye peserta pemilu digunakan untuk kepentingan membeli suara pemilih maupun mempengaruhi penyelenggara pemilu untuk memanipulasi hasil pemilu, sesuatu yang sangat dilarang oleh UU Pemilu. Sebenarnya, dalam kaitannya dengan proses pemilihan pejabat publik, politik uang bukan hanya terjadi pada saat kampanye maupun pada saat hari pencoblosan suara yang dilakukan oleh peserta pemilu kepada pemilih. Politik uang dalam kasus ini adalah praktek penyuapan dalam level yang paling bawah.

Adapun penyuapan dalam bentuknya yang tak kurang berbahaya adalah politik uang di lingkup internal partai politik, terutama dalam penentuan calon anggota legislatif maupun nomor urutnya serta politik uang dalam pemilihan pejabat publik yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Laporan Agus Chondro yang telah menerima cek perjalanan dalam pemilihan Miranda Goeltom merupakan contoh apik dari satu penyuapan dan transaksi yang terjadi dalam pemilihan pejabat publik di Indonesia.

Ketiga tingkatan politik uang ini sama berbahayanya. Pada saat kampanye dan hari pencoblosan, politik uang bisa mempengaruhi perilaku pemilih. Politik uang juga bisa mempengaruhi netralitas penyelenggara pemilu. Hasil pemilu menjadi tidak kredibel dan cacat karena potensi manipulasi hasil suara. Jika suara bisa dibeli dan hasil penghitungan suara bisa diutak-atik sesuai dengan pesanan, tentu prosedur demokrasi tidak akan dapat melahirkan pemerintahan yang bersih.

Korupsi pemilu harus dilihat secara lebih jauh sebagai penyakit demokrasi. Dampak negatifnya tidak hanya merugikan masyarakat luas, tapi juga merugikan kepentingan pihak lain yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pemilu, yakni peserta pemilu. Karena itu, membatasi ruang gerak korupsi pemilu akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilihan, sekaligus derajat legitimasi pemilu dan hasilnya. Membatasinya juga akan melahirkan iklim kompetisi politik yang lebih adil. Karena itu, semua pihak harus mengambil peran untuk mengawasinya.

Bawaslu tentu saja adalah pihak yang memiliki kewajiban utama dalam mengawasi setiap pelanggaran pemilu. Dengan keterbatasan yang dimiliki, prioritas menjadi penting untuk dipilih. Bawaslu perlu menetapkan korupsi pemilu sebagai tulang punggung pengawasan. Artinya, fokus dan konsentrasi besar Bawaslu adalah memastikan bahwa korupsi pemilu tidak banyak terjadi. Bawaslu jangan terlalu banyak membagi sumber daya dan energinya untuk pelanggaran pemilu yang tidak signifikan dampaknya bagi hasil pemilu itu sendiri. Bekerja sama dengan masyarakat sipil pemantau pemilu adalah langkah strategis untuk berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengawasi korupsi pemilu.

Karena korupsi pemilu juga merugikan peserta pemilu yang lain, terutama bagi mereka yang bukan incumbent dan bukan partai politik besar, peserta pemilu juga perlu membangun mekanisme untuk secara sukarela saling mengawasi di antara sesama mereka. Pemilu sekarang ini berpusat di kandidat, bukan lagi di partai politik, maka dibutuhkan kerja sama antara partai politik dan kandidatnya untuk mendorong kontrol atas potensi terjadinya korupsi pemilu.

Pengawasan pemilu oleh peserta pemilu menjadi sangat penting artinya karena daya upaya apa pun yang dilakukan oleh peserta pemilu yang kebetulan bukan incumbent, peluang untuk menang atau mendapatkan suara jelas kecil. Situasinya menjadi lebih tidak berpihak kepada peserta pemilu “miskin” jika yang kaya dan berkuasa menggunakan fasilitas dan uang yang dimiliki ataupun dana publik yang sedang dikuasainya untuk keperluan kampanye.

Sudah saatnya kita membangun budaya saling kontrol dalam kompetisi politik. Mengharapkan Bawaslu semata untuk melakukan pengawasan pemilu bukanlah pilihan. Jika sejak awal kita sadar bahwa kecurangan dalam pemilu sangat terbuka bagi para incumbent, tentu kerugian nyata akan dirasakan oleh peserta pemilu non-incumbent jika mereka hanya berpangku tangan. Laporan terjadinya politik uang oleh kandidat satu terhadap kandidat yang lain semoga membuka jalan bagi pemilu yang lebih sehat dan dinamis.

Tulisan dimuat di harian Tempo, 2 April 2009