Monday, December 22, 2008

Mengunci Kartu As KPK

Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi selama kurun waktu sejak kelahirannya telah membawa kerisauan dari berbagai pihak. Kegelisahan itu ditunjukkan dengan berbagai reaksi yang mengarah pada pemandulan hingga yang paling ekstrem: pembubaran eksistensi KPK. Tujuan dibentuknya KPK memang dimaksudkan untuk memberantas korupsi secara lebih efektif, efisien, dan independen, dengan melihat sejarah penegakan hukum oleh aparat konvensional yang identik dengan kegagalan. Harapannya, dengan menggunakan instrumen baru berupa lembaga pemberantas korupsi yang lebih kuat wewenangnya dan independen dari kekuatan politik mana pun, KPK dapat mengatasi hambatan hukum dan politik dalam pemberantasan korupsi.

Dengan ukuran yang paling sederhana, KPK perlahan telah menjawab tantangan di atas. Dari kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK, tampak jauh lebih berbobot daripada kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum lainnya. Satu per satu pejabat publik yang selama ini mustahil diproses secara hukum karena melakukan korupsi dapat diseret oleh KPK. Bahkan wilayah pemberantasan korupsi KPK sudah menjangkau sampai lingkaran Istana, paling tidak dapat dilihat saat Aulia Pohan sebagai besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap Bank Indonesia. Dinding kekuasaan politik seperti parlemen pun mulai dirambah oleh KPK. Beberapa anggota parlemen pusat telah ditetapkan sebagai tersangka maupun terdakwa dalam berbagai kasus korupsi (suap dan pemerasan).

Demikian halnya profesionalisme KPK dalam penindakan kasus korupsi telah meminimalisasi kemungkinan dibebaskannya para terdakwa korupsi di Pengadilan Tindak Pidana korupsi. Catatannya hingga saat ini dapat dikatakan sempurna karena belum ada satu pun kasus korupsi yang dilimpahkan KPK ke Pengadilan Tipikor divonis bebas oleh majelis hakim.

KPK juga dapat membentuk citra positif lembaga pemberantas korupsi, melalui penegakan integritas pegawai KPK yang cukup ketat. Penerapan kode etik pegawai KPK bahkan kadang dianggap oleh sebagian orang keterlaluan. Bayangkan, orang KPK memilih tidak minum atau makan hidangan yang disediakan panitia acara apabila diundang sebagai narasumber di suatu tempat. Meskipun terkesan berlebihan, yang harus kita hormati adalah semangat untuk menghindari konflik kepentingan dan berbagai praktek permisif lainnya yang dapat menjatuhkan seseorang dalam kubangan korupsi.

Karena bekal itu pulalah, berkaca pada berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK, satu per satu kekuasaan politik, birokrasi, dan bisnis yang selama ini kedap dengan proses hukum harus menghadapi realitas penegakan hukum yang telah bergeser ke arah yang positif. Mereka inilah yang sekarang melakukan apa yang sering dikenal sebagai "corruptor fightback" (pukulan balik koruptor).

Gejala pukulan balik koruptor mulai kelihatan dalam berbagai manuver yang muncul, baik dalam skala sporadis maupun sistemik. Gerakan menentang balik penegakan hukum KPK dapat dilihat, misalnya, dari pernyataan anggota Dewan yang menginginkan KPK dibubarkan tanpa ada alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Demikian halnya wacana yang didorong oleh beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan amendemen terhadap Undang-Undang KPK.

Upaya menghentikan laju pemberantasan korupsi KPK tidak hanya berhenti sampai di sini. Yang paling moderat adalah membatasi usia KPK dengan alasan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc. Dalilnya, sepanjang aparat penegak hukum konvensional sudah mampu memulihkan kondisinya dari masa sakit karena korupsi yang panjang, maka menurut kelompok ini, KPK tidak lagi diperlukan. Demikian halnya upaya pengajuan judicial review untuk memangkas wewenang KPK kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan oleh terdakwa korupsi. Sudah puluhan kali upaya menjegal KPK dilakukan dengan mengajukan judicial review ke MK. Akhir dari perjalanan judicial review UU KPK ke MK memang relatif menguntungkan KPK, sekaligus tragis.

Dengan dibatalkannya Pasal 53 UU KPK mengenai eksistensi Pengadilan Tipikor, berarti pemerintah bersama DPR harus membuat UU tersendiri mengenai pengadilan ini. Makna positifnya, sinisme banyak pihak, termasuk para pengacara koruptor bahwa Pengadilan Tipikor berada di bawah "kendali" KPK, dapat dihindari. Dengan demikian, kecurigaan bahwa penegakan hukum korupsi yang dilakukan oleh KPK dan Pengadilan Tipikor adalah satu paket bisa dihindari. Begitu pula putusan Pengadilan Tipikor atas berbagai kasus korupsi yang ditanganinya juga akan dianggap lebih independen dari pengaruh KPK.

Tapi hal tersebut juga bisa berakibat tragis tatkala UU Pengadilan Tipikor yang menjadi mandat putusan MK atas judicial review UU KPK harus dibentuk selambat-lambatnya pada 19 Desember 2009. Persoalannya, ketika menyangkut penyusunan UU, otoritas sepenuhnya ada di DPR, yang saat ini tengah disorot dengan ketat oleh publik karena berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK. Tentu saja keadaan ini tidak menguntungkan KPK karena sangat mungkin DPR memiliki dendam kesumat karena berturut-turut kasus korupsi yang ditangani KPK terkait dengan kasus korupsi di DPR.

Dengan kondisi semacam ini, masa depan KPK menjadi sangat tidak menentu. Hitung-hitungannya sangat sederhana. Andai DPR mengabaikan putusan MK dengan tidak menetapkan UU Pengadilan Tipikor sesudah deadline yang telah ditetapkan, tamatlah riwayat penindakan KPK. Hal ini karena, di dalam UU KPK, penuntutan atas kasus korupsi yang ditangani KPK hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Tipikor, bukan pengadilan umum.

Saat ini fenomena untuk membekukan KPK sudah mulai menampakkan wujudnya. Paling tidak, kita dapat mengukurnya dari respons DPR yang sangat lamban dalam membahas RUU Pengadilan Tipikor. Padahal pemerintah sudah beberapa waktu lalu telah menyerahkan draf RUU tersebut kepada Komisi III DPR. Alasan yang dikemukakan DPR bermacam-macam, dari alasan bahwa mereka sudah memiliki agenda legislasi yang padat, masa reses yang dihadapi anggota Dewan, hingga waktu penyusunan RUU Pengadilan Tipikor yang dipandang masih cukup.

Akan muncul dua kemungkinan atas upaya menetralisasi KPK. Pertama, Komisi III DPR benar-benar akan mendiamkan draf RUU Pengadilan Tipikor tanpa pembahasan sampai batas waktu putusan MK. Konsekuensi dari keadaan ini sangat jelas, yakni KPK akan kehilangan tempat untuk mengajukan penuntutan atas kasus-kasus korupsi yang ditanganinya.

Skenario pertama ini sangat mungkin karena masa tugas DPR periode 2004-2009 hanya tersisa tujuh bulan lamanya. Dari waktu yang sedikit itu, akan tersita banyak untuk menghadapi pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum 2009, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden. Konsentrasi wakil rakyat yang begitu besar pada kegiatan Pemilu 2009 akan membuyarkan optimisme bahwa, dengan masa yang tersisa, UU Pengadilan Tipikor dapat diwujudkan.

Kedua, penyusunan RUU Pengadilan Tipikor akan dikejar dengan menanggalkan kualitas legislasinya. Pengertiannya, Komisi III DPR tetap menjalankan perintah MK sesuai dengan jadwal, tapi menghiraukan isu substantif dalam UU tersebut. Perlu diketahui, keberhasilan KPK dalam menangani berbagai kasus korupsi juga sangat ditopang oleh putusan Pengadilan Tipikor. Jika rancang bangun Pengadilan Tipikor didasari oleh substansi UU Pengadilan Tipikor yang buruk, bisa jadi putusan para hakim di Pengadilan Tipikor kelak akan setali tiga uang dengan pengadilan umum.

Membinasakan KPK memang tidak harus langsung menusuk titik vitalnya, tapi bisa dengan menyandera fondasinya yang lain, yakni Pengadilan Tipikor. Apakah kita akan mengucapkan sayonara terhadap pemberantasan korupsi? Wallahualam.

Adnan Topan Husodo, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Tulisan disalin dari Koran Tempo, 23 Desember 2008

Tuesday, December 02, 2008

Memerangi Konflik Kepentingan

Riuh-rendah suspensi saham Bumi Resources di BEJ berujung pada dugaan bahwa intervensi pemerintah merupakan biang keladinya. Ditengarai, ada perintah dari pusat kekuasaan terhadap otoritas bursa saham untuk menunda perdagangan saham Bumi yang melibatkan campur tangan pejabat negara. Jika kemudian salah satu pejabat yang disebut-sebut itu adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan Djalil, hal itu tidaklah terlalu membingungkan.

Pasalnya, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika ini menjadi salah satu pemegang saham Bumi Resources. Tentu saja, meskipun dalam kisaran yang kecil, kepemilikan saham di Bumi Resources sedari awal telah melahirkan potensi konflik kepentingan. Terutama karena keputusan atau tindakan yang diambil sebagai Menteri Negara BUMN sulit dipisahkan dari kepentingan pribadinya untuk menyelamatkan saham Bumi dari penurunan nilai. Di samping itu, ada perintah langsung dari Menteri Negara BUMN yang disampaikan kepada beberapa BUMN untuk membeli saham Bumi.

Meskipun Menteri Negara BUMN sudah membantah langsung melalui media massa bahwa dia tidak mencampuradukkan posisinya sebagai Menteri Negara BUMN dengan kedudukannya sebagai pemegang saham di Bumi yang mayoritas pemilikannya dikendalikan oleh Aburizal Bakrie, Menteri Kesejahteraan Rakyat, tetaplah sulit untuk mengambil keputusan yang obyektif atas Bumi Resources. Lahirnya konflik kepentingan itu semakin kuat karena terdapat aturan mengenai pasar modal yang terindikasi sudah dilanggar.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 100 angka (4), diatur bahwa "Setiap pegawai Bapepam yang diberi tugas atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bapepam untuk melakukan pemeriksaan dilarang memanfaatkan untuk diri sendiri atau mengungkapkan informasi yang diperoleh berdasarkan undang-undang ini kepada pihak mana pun, selain dalam rangka upaya mencapai tujuan Bapepam atau jika diharuskan oleh undang-undang lainnya".

Dengan demikian, jika kita menggunakan aturan di atas sebagai acuan bagi pejabat negara untuk menjaga jarak atas keputusan yang diambil dengan konsekuensi keuntungan individu yang diperolehnya, pelanggaran itu sudah bisa dikatakan terjadi. Logika hukumnya sangat sederhana, jika Undang-Undang Pasar Modal telah mengatur secara jelas dan tegas bahwa pihak yang terkait dengan pihak lain yang ditunjuk saja sudah tidak boleh atau dilarang memanfaatkan informasi untuk dirinya sendiri, apalagi pihak tertentu yang posisinya adalah pejabat negara. Terlebih lagi, posisinya itu terkait langsung dengan otoritas dan wewenang yang diberikan undang-undang untuk mengelola saham milik rakyat di BUMN.

Kita bisa menggunakan analogi sederhana dengan menyatakan bahwa posisi Menteri Negara BUMN tak ubahnya seperti manajer investasi. Tetapi saham yang dikelolanya adalah saham rakyat Indonesia yang diproyeksikan kepada pemerintah melalui BUMN. Mengacu pada aturan main selanjutnya, UU Pasar Modal Pasal 35 huruf (a) telah menegaskan bahwa "Perusahaan efek atau penasihat investasi dilarang menggunakan pengaruh atau mengadakan tekanan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah".

Karena nasabah dalam pengertian tulisan ini adalah rakyat, apa yang menjadi kepentingan nasabah dari BUMN itulah yang harus diperjuangkan oleh manajer investasi yang notabene adalah Menteri Negara BUMN. Dan kepentingan rakyat sebagai nasabah BUMN itu tidak lain adalah berharap mendapatkan dividen yang tinggi dari saham di BUMN, sehingga dana tersebut dapat menjadi stimulus fiskal di APBN yang penggunaannya kemudian dapat mengalir bagi kepentingan rakyat pula.

Pertanyaan prinsipiilnya: apakah dengan dibelinya saham Bumi oleh BUMN akan ada keuntungan dividen yang dapat disetor kepada negara? Perlu diperhatikan bahwa saat ini ekonomi dunia sedang dilanda kesulitan cash flow dan negara Indonesia bukan negara yang cukup kaya untuk bisa bertahan dari krisis global. Di samping itu, Bumi faktanya masih memiliki tunggakan royalti ke negara (sekitar US$ 201,6 juta). Royalti dan dividen adalah uang rakyat, sehingga seharusnya masuk ke APBN.

Mengingat konflik kepentingan adalah embrio korupsi politik, sudah seharusnya Indonesia mulai memikirkan secara lebih serius untuk mengatur hal ini. Isu konflik kepentingan bukan sekadar soal bagaimana mengatur etika pejabat publik, tetapi harus dilihat dampak dari chaos-nya hubungan pejabat publik dengan kepentingan pribadi yang diwakilinya secara terselubung maupun terbuka yang dapat menyebabkan negara dan kebijakan publik yang diambil hanya mengabdi pada kepentingan tertentu.

Fenomena state capture of corruption adalah bukti nyata menjamurnya konflik kepentingan, karena adanya pembiaran terhadap potensi itu. Ketika praktek itu terjadi, tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat membendungnya karena, secara legal-formal, masalah itu tidak pernah dirumuskan dalam aturan. Meskipun keputusan pejabat publik yang dapat menguntungkan kalangan tertentu atau dirinya sendiri secara telanjang dapat kita saksikan, sulit untuk melakukan tindakan legal untuk melarangnya, apalagi memberikan sanksi.

Sebenarnya larangan adanya konflik kepentingan bagi pejabat publik/negara yang berdampak negatif pada keuangan/perekonomian negara merupakan suatu ketentuan yang diakui secara universal. Sebagaimana misalnya baru-baru ini kita saksikan di media massa, Yayasan Bill Clinton direncanakan akan diaudit sehubungan dengan akan dipilihnya Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri untuk periode pertama kepemimpinan Barack Obama.

Ketentuan konflik kepentingan diatur dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC), khususnya Pasal 7 ayat 4 dan Pasal 8 ayat 5. Pemerintah Indonesia sendiri sebagai negara peserta konvensi telah meratifikasinya dengan UU No. 7 Tahun 2006. Pasal 7 ayat 4 UNCAC menyebutkan bahwa "Setiap negara peserta wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasionalnya, berusaha keras mengadopsi, memelihara, dan memperkuat sistem-sistem yang meningkatkan transparansi dan mencegah konflik-konflik kepentingan".

Selanjutnya, Pasal 8 ayat 5 UNCAC berbunyi "Setiap negara peserta wajib berusaha keras untuk di mana cocok dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, menetapkan tindakan-tindakan dan sistem yang mewajibkan pejabat-pejabat publik membuat pernyataan-pernyataan kepada otoritas-otoritas yang tepat mengenai antara lain kegiatan-kegiatan mereka di luar pekerjaan, investasi-investasi, aset-aset, dan hadiah-hadiah atau keuntungan-keuntungan yang berarti, yang dapat menimbulkan konflik kepentingan".

Sejauh pengamatan penulis, ketentuan atau prinsip di atas belum juga diadopsi oleh Undang-Undang Anti-Korupsi yang saat ini berlaku di Indonesia. Seharusnya, sebagai konsekuensi telah diratifikasinya UNCAC, kita memiliki kewajiban untuk memasukkan ketentuan tersebut dalam UU Anti-Korupsi sebagai prinsip dasar antikorupsi. Lambannya semangat mengadopsi ketentuan dasar Konvensi PBB Anti-Korupsi dapat dianggap sebagai minimnya komitmen pemerintah Indonesia dalam menerapkan standar internasional antikorupsi.

Karena itu, supaya pemerintah Indonesia tidak dianggap lalai dalam mendorong perbaikan legal framework antikorupsi yang berstandar internasional, perlu ada tindakan cepat dari pemegang otoritas, baik presiden, DPR, maupun para pembantunya, untuk menempatkan isu konflik kepentingan sebagai rumusan hukum nasional. Harus diingat bahwa, pada awal Januari 2009, PBB akan melakukan evaluasi tahunan terhadap tingkat kepatuhan negara peserta konvensi antikorupsi. Tentu kita tidak ingin pemerintah Indonesia dipandang rendah dalam mengimplementasikan komitmen Konvensi Anti-Korupsi PBB.

Menurut penulis, sembari menunggu terbitnya RUU Anti-Korupsi yang baru, pemerintah memiliki otoritas dalam lingkup yang lebih kecil untuk mengatur atau menyusun regulasi, semisal peraturan presiden mengenai larangan konflik kepentingan. Meskipun aturan itu pada akhirnya hanya mengikat sebagian dari pejabat negara, khususnya kalangan eksekutif, tindakan itu sekaligus menunjukkan adanya komitmen besar dari Presiden untuk meletakkan dasar-dasar yang lebih baik bagi sistem dan etika pejabat publik di Indonesia, sehingga dapat menghindarkan diri dari tindakan abuse of power. Bukankah memulai dari yang kecil tapi konkret adalah bagian dari strategi pemberantasan korupsi juga? *

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan ini disalin dari koran Tempo, Rabu, 3 Desember 2008