Friday, August 25, 2006

Menyelesaikan Polemik Korupsi di KPU

Kesaksian lima orang yang mengakui bahwa Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin ikut rapat KPU dalam menentukan harga segel surat suara sesungguhnya sudah cukup memberatkan. Apalagi alat bukti lain seperti surat-surat penawaran surat segel suara dari rekanan KPU yang ditujukan kepada Hamid Awaludin juga tersedia. Dari sisi teknis yuridis, ketika dua alat bukti sudah memadai, proses hukum bisa dilanjutkan ke tingkat penyidikan yang biasanya diiringi dengan penetapan seseorang sebagai tersangka.

Sulitnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelesaikan kasus korupsi KPU, utamanya dalam kasus korupsi surat segel suara menyisakan tanda tanya besar. Kerisauan banyak pihak berujung pada dugaan adanya pengaruh politik yang kuat terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Jika demikian adanya, rasa pesimisme publik yang kian membesar dalam melihat prospek pemberantasan korupsi tak dapat dielakkan. Bagaimana mungkin KPK yang memiliki posisi yang sangat independen dalam berhadapan dengan kekuasaan ternyata harus tunduk pada mekanisme di luar hukum.

Jika melihat dari alotnya proses hukum yang tengah terjadi, -khususnya ketika sudah menyangkut nama Hamid Awaludin- bisa dikatakan bahwa KPK tengah berada di arena pembuktian yang sesungguhnya. Arena yang bisa dimaknai sebagai laboratorium sosial-politik dengan desain tatanan baru yang mengandaikan kehadiran lembaga pemberantasan korupsi sangat kuat untuk mengatasi tanpa syarat kekuasaan manapun yang dapat menyetir proses hukum. Sebuah konsep yang kelahirannya sangat dipengaruhi oleh buruknya tradisi penegakan hukum kasus korupsi pada masa lalu.

Kita tentunya sudah mengetahui sendiri bahwa dalam periode sebelumnya, kekuasaan politik dalam kurun waktu yang cukup lama telah mengkooptasi kewibawaan hukum. Keberadaan KPK adalah usaha untuk membalikkan keadaan itu. Seandainya KPK berhasil melibas aral rintang politik ketika tengah memproses seseorang, legitimasi KPK sebagai institusi penegak hukum akan semakin menguat. Namun jika KPK gagal menghadapinya, semangat pemberantasan korupsi yang telah didorong dalam beberapa tahun belakangan akan runtuh secara menyedihkan.

Oleh karena itu, mengambangnya penuntasan perkara dugaan korupsi KPU secara keseluruhan dan tidak diprosesnya sejumlah mantan anggota KPU lain yang diduga kuat terlibat pada akhirnya menimbulkan kesan buruk di masyarakat. KPK dapat dipersepsikan tidak berani atau lumpuh dalam meneruskan proses hukum mantan anggota KPU.

Disisi lain, KPK bisa dibilang telah berlaku diskriminatif karena hanya menjerat sebagian saja pelaku korupsi. Padahal Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK telah memberikan kewenangan yang luar biasa terhadap KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. Seharusnya dengan segala bekal kewenangan yang dimiliki KPK, kasus sesulit apapun dapat diselesaikan dengan cepat dan berkualitas.

Yang perlu diingat, berlarut-larutnya penanganan perkara korupsi KPU yang diduga melibatkan Hamid Awaluddin oleh KPK -setidaknya sesuai dengan pengakuan memberatkan lima saksi- tidak hanya dapat menjatuhkan citra KPK sebagai aparat penegak hukum super. Melainkan juga kepentingan KPK dalam konteks yang lebih luas. Bagaimanapun Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin merupakan pejabat yang akan sangat menentukan panitia seleksi calon pimpinan KPK tahun 2007 mendatang.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana kualitas dan integritas pimpinan KPK mendatang jika proses seleksinya ditentukan, atau paling tidak dipengaruhi, oleh pejabat yang memiliki masalah dengan hukum. Dengan demikian, menunda penyelesaian perkara korupsi KPU dengan alasan politik atau adanya perlindungan politik sama artinya dengan KPK menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan lembaganya.

Skenario untuk menyelesaikan perkara korupsi KPU bukanlah tidak ada. Hakim pengadilan Tipikor telah menyarankan kepada Daan Dimara, terdakwa kasus korupsi segel surat suara untuk melaporkan kepada polisi ihwal keterangan palsu yang disampaikan Hamid Awaludin di depan pengadilan. Dari aspek prosedur dan legalitas, mekanisme tersebut memang jalan yang bisa ditempuh mengingat pemberian keterangan atau saksi palsu merupakan wilayah pidana umum. Akan tetapi, menyerahkan proses penyelidikan atas keterangan palsu atau kesaksian palsu kepada polisi merupakan problematika tersendiri. Ada beberapa alasan yang mendukung kesimpulan tersebut.

Pertama, kasus keterangan atau kesaksian palsu oleh Hamid Awaludin sebagaimana yang dilontarkan Daan Dimara bukan merupakan bagian yang terpisah dari perbuatan korupsi yang tengah disidangkan oleh Pengadilan Tipikor. Kesaksian Hamid Awaludin akan sangat menentukan putusan hakim, paling kurang putusan yang akan dijatuhkan kepada Daan Dimara sebagai terdakwa. Jika hakim menggunakan keterangan atau kesaksian palsu sebagai salah satu dasar untuk memvonis seseorang, keadilan sebagai hal yang paling esensial dalam hukum menjadi kehilangan maknanya. Alangkah baik jika perkara keterangan palsu ini juga diusut oleh KPK sebagai bagian tak terpisahkan dari perkara korupsi KPU yang tengah ditangani.

Kedua, keterangan palsu yang menurut lima saksi dalam persidangan korupsi segel kertas suara dilakukan Hamid Awaludin jika diusut oleh pihak kepolisian akan menyita waktu dan tenaga ekstra. Secara administratif dan prosedural, memeriksa pejabat negara membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Hal itu disebabkan oleh adanya kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk meminta permohonan ijin dari presiden apabila akan memerika pejabat negara. Apalagi jika dilengkapi dengan proteksi politik dari pejabat berkuasa, proses hukum atas pidana pemberian keterangan palsu dapat dipastikan berlarut-larut.

Dengan macetnya pembuktian secara hukum atas pidana pemberian keterangan palsu, proses hukum yang kini tengah berlangsung di pengadilan tipikor otomatis mengalami gangguan. Padahal sesuai dengan pasal 58 ayat (1) UU KPK, pengadilan Tipikor memiliki tenggat waktu terbatas untuk mengadili sebuah perkara, yakni hanya 90 hari terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke pengadilan tipikor.
Jalan keluar yang paling mungkin untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah adanya sikap proaktif dari KPK dalam memeriksa Hamid Awaludin yang diduga telah memberikan keterangan/kesaksian palsu di pengadilan tipikor. Meskipun pemberian keterangan/kesaksian palsu masuk dalam wilayah pidana umum, akan tetapi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur masalah ini.

Dalam Bab III mengenai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, khususnya pasal 22 menyebutkan ”Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah). Pada kasus Hamid, ia bisa dianggap sebagai setiap orang yang memiliki kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi atau ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (1).

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak mengusut kasus pemberian keterangan atau kesaksian palsu karena merupakan wilayah yuridiksinya. Bahkan pasal tersebut bisa menjadi pasal yang memberatkan seandainya keterlibatan mantan anggota KPU itu dalam kasus korupsi benar-benar terbukti.

****

Thursday, August 10, 2006

Vonis Korupsi Minus Efek Jera

Teori korupsi yang paling sederhana menyebutkan penyimpangan akan selalu terjadi jika risiko yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi itu lebih kecil daripada keuntungan yang diperolehnya. Bentuk risiko bisa bermacam-macam, dari mudah atau tidaknya koruptor itu tertangkap, berat atau tidaknya hukuman karena korupsi yang dilakukan, hingga ada atau tidaknya risiko pengucilan oleh masyarakat sebagai bentuk sanksi sosial yang diberikan. Dalam situasi ketika ketiga risiko itu sangat kecil, korupsi akan menghantui kehidupan kita sehari-hari.
Dengan kata lain, korupsi akan tetap berlangsung jika akibat dari tindakan itu secara pribadi tidak menyebabkan kerugian apa pun bagi pelaku. Dan pada saat yang sama, keuntungan yang diperoleh dari perbuatan korupsi dapat dinikmatinya secara bebas, bahkan turun-temurun sampai tujuh turunan. Tak aneh jika korupsi akan tumbuh subur tatkala sistem hukum tidak berjalan. Orang yang melakukan korupsi berpikir akan gampang lolos dari jerat pidana karena aparat penegak hukum mudah disuap. Koruptor akan mudah lari--bahkan sebagian besar hidup dengan tenang di tengah masyarakat--karena peradilan telah menjadi pasar transaksi pasal-pasal.
Karena itu, Robert Klitgaard mengatakan korupsi itu merupakan kejahatan kalkulasi, sebuah tindakan pelanggaran terhadap hukum yang didasari perhitungan yang rasional dengan pendekatan untung-rugi. Jika keuntungan melakukan korupsi lebih besar daripada kerugian yang mungkin didapat, korupsi akan tetap merajalela. Pendek kata, tanpa dibuat jera, orang akan tetap terus melakukan korupsi.
Di banyak negara, keberhasilan dalam memberantas korupsi dicapai dengan kerasnya penegakan hukum. Contoh terbaik adalah Cina. Beribu-ribu orang dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan korupsi--meskipun tegasnya penegakan hukum tidak harus selalu berarti dengan menjatuhkan hukuman mati. Kita tetap bisa tegas dengan cara yang sedikit berbeda, tanpa mengurangi efek jera yang ditimbulkannya. Misalnya saja menjatuhkan vonis tiga kali penjara seumur hidup bagi pelaku korupsi tanpa diperbolehkan mendapatkan pengampunan, baik dalam bentuk grasi maupun remisi. Hukuman itu dapat dikategorikan sangat berat tanpa harus mencabut hak asasinya sebagai manusia untuk tetap dapat hidup.
Yang paling utama, hukuman seberat itu pasti tidak akan memberikan kesempatan bagi koruptor untuk dapat menikmati hasil jarahannya. Ketika kesengsaraan ditimbulkan oleh hukuman berat yang dijatuhkan, pilihan untuk melakukan korupsi akan menjadi lebih kecil. Dengan bahasa lain, kita perlu menciptakan risiko besar bagi setiap praktek korupsi, dalam bentuk apa pun, untuk mempersempit ruang geraknya.
Masalahnya, konsep efek jera bagi pelaku korupsi masih menjadi sesuatu yang langka, khususnya dalam cakrawala yurisprudensi di Indonesia. Belajar dari kasus korupsi yang divonis pengadilan, rata-rata hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan akibat dari perbuatan korupsi. Yang paling keras tentu kasus korupsi BNI yang menyeret Dicky Iskandar Dinata. Jaksa penuntut umum mendakwanya dengan hukuman mati, meski kemudian majelis hakim menolaknya.
Untuk tahun 2006 saja, misalnya, berdasarkan catatan semester pertama yang dihimpun Indonesia Corruption Watch, terdapat 76 kasus korupsi dengan 206 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di sebagian besar wilayah Indonesia, dari tingkat pertama (pengadilan negeri), banding (pengadilan tinggi), hingga kasasi (Mahkamah Agung). Dari 76 kasus tersebut, terdapat 14 kasus korupsi (18,4 persen) yang divonis bebas oleh pengadilan, sementara sisanya yang 62 kasus divonis bersalah.
Masih adanya vonis bebas bagi terdakwa korupsi merupakan tanda tanya besar. Logika awam mengatakan, ketika jaksa melimpahkan berkas perkara korupsi ke pengadilan, tentu itu sudah dilengkapi dengan alat bukti yang cukup. Seharusnya, jika pun hakim melihat ada berbagai kekurangan, jaksa penuntut dapat diminta memperbaiki dakwaannya sehingga peluang terdakwa untuk bebas menjadi hilang. Pendek kata, mustahil jika proses hukum berjalan benar, hakim kemudian menjatuhkan vonis bebas.
Putusan bebas yang paling menuai kecaman tentu kasus korupsi Bank Mandiri yang melibatkan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe, mantan Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan mantan EVP Coordinator Corporate & Government M. Sholeh Tasripan yang merugikan negara Rp 160 miliar. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketiga terdakwa divonis bebas karena unsur kerugian negara tidak dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum meskipun jaksa sudah mendakwa dengan 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 12 bulan kurungan. Akibatnya, vonis bebas bagi pemimpin Bank Mandiri tersebut secara otomatis membebaskan para debitor Bank Mandiri (Edyson, Saiful Anwar, dan Diman Ponijan, tiga pengurus PT Cipta Graha Nusantara).
Selain putusan bebas yang masih cukup banyak, dari 76 kasus tersebut, 24 kasus di antaranya diputus dengan vonis hukuman di bawah 2 tahun penjara. Cara pandang hakim yang masih melihat kejahatan korupsi sama dengan kejahatan maling ayam merupakan hambatan serius bagi upaya efektif untuk meminimalisasi praktek korupsi. Sebab, efek jera yang hendak ditimbulkan tidak terjadi. Tentu repot jika motif maling ayam karena kebutuhan untuk mengisi perut yang lapar disamakan dengan motif mencuri uang negara karena keserakahan. Belum lagi jika akibat yang ditimbulkan dari kedua jenis kejahatan ini sangat berbeda. Sementara akibat maling ayam hanya muncul pada kerugian si pemilik ayam, mencuri uang negara mengakibatkan kerugian bagi banyak orang. Sebab, korupsi pada hakikatnya bentuk perampasan terhadap hak-hak masyarakat, bukan hak individu. Dimensi kejahatan yang berbeda ini seharusnya menciptakan jenis hukuman yang berbeda pula.
Apa yang telah ditunjukkan oleh institusi pengadilan selama semester I tahun 2006 kenyataannya masih jauh dari harapan bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Celakanya, selain vonis kepada para terdakwa pelaku korupsi rendah, kerap kali hakim tidak memerintah jaksa menahan terpidana. Alasannya, terpidana masih memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum lain, yakni banding atau kasasi.
Tak aneh jika kita melihat banyak koruptor yang sudah divonis oleh pengadilan masih bebas melenggang tanpa rasa malu. Sebab, secara legal-formal mereka masih belum dianggap bersalah mengingat belum ada kekuatan hukum yang tetap. Di sinilah sebenarnya sanksi sosial perlu diefektifkan. Masyarakat seharusnya memiliki mekanisme yang dapat menciptakan rasa bersalah bagi pelaku korupsi dengan mengucilkan para pelaku korupsi dari pergaulan sosial. Menjadikan pelaku korupsi sebagai figur yang dipanuti--karena mereka adalah tokoh/pejabat--merupakan awal gagalnya sanksi sosial bekerja.

Koran Tempo