Monday, June 05, 2006

Lumpuh di Ujung Agenda

Mandegnya eksekusi yang seharusnya dilaksanakan kejaksaan atas kasus korupsi APBD di dua daerah, yakni Sumatera Barat dan Cirebon paska putusan kasasi MA seakan menjadi titik balik dari program pemberantasan korupsi yang selama ini telah digembar-gemborkan pemerintah.

Skenario Pemerintah SBY-Kalla yang menghendaki adanya penegakan hukum yang tegas, sungguh-sungguh dan tidak pandang bulu atas tindak pidana korupsi nyatanya masih jauh panggang dari api. Lebih-lebih, sikap yang bertolak belakang antara komitmen penegakan hukum dengan kebijakan menunda pelaksanaan eksekusi terpidana korupsi sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan menghambat percepatan pemberantasan korupsi.

Coba tengok, beberapa anggota DPRD dari Sumatera Barat dan Cirebon yang telah menjadi terpidana kasus korupsi dana APBD hingga saat ini masih dapat merumuskan kebijakan publik di lokus kekuasaannya masing-masing. Mereka yang secara hukum sudah dinyatakan bersalah tetap menduduki posisi penting sebagai pejabat publik (baca: anggota DPRD). Sungguh sebuah periode yang mengherankan dimana program pemberantasan korupsi yang telah gencar dikampanyekan telah dinisbikan oleh institusi penegak hukum sendiri.

Tak dapat dipungkiri bahwa kini kinerja kejaksaan melalui ujung tombaknya Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh sedikit banyak berbeda dengan kejaksaan periode sebelumnya. Banyak kasus korupsi yang sudah mulai diungkap, mulai dari yang kecil hingga yang melibatkan pejabat penting.

Tak sedikit Kepala Daerah dan mantan pejabat publik yang telah menjalani masa-masa diperiksa oleh penyidik karena diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Namun apa yang sudah diupayakan kejaksaan akan jatuh pada kesia-siaan tatkala tindakan yang menentukan –yakni eksekusi putusan- dalam kerangka penegakan hukum justru dihindari.

Sejauh pengamatan terhadap fenomena yang berkembang, mau tidak mau harus diakui bahwa kejaksaan hanya berkonsentrasi pada upaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan membuka kembali kasus korupsi yang dihentikan penyidikannya. Sementara di sisi lain, mereka abai terhadap kewajiban untuk mengeksekusi putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht). Padahal esensi dari penegakan hukum dalam kerangka hukum positif adalah pemberian punishment yang setara dengan tindak kejahatan yang dilakukan. Harapannya, secara psikologis, pemberian hukuman itu bermuara pada terbentuknya efek jera sehingga orang kemudian takut melakukan, atau mengulangi perbuatan korupsi.

Sekedar mengingat, sejak 2 Agustus 2005 silam, MA telah menolak kasasi yang diajukan 33 mantan pimpinan dan anggota DPRD Sumatra Barat periode 1999-2004 dalam perkara korupsi APBD Sumbar 2002 sebesar Rp 5,9 miliar. MA telah menjatuhkan vonis bersalah, dan ke-33 orang terpidana tersebut seharusnya menjalani masa hukuman 4 hingga 5 tahun penjara. Mereka juga sudah bisa disebut sebagai koruptor. Tapi menginjak usia satu tahun, terhitung sejak dikeluarkannya putusan kasasi sampai saat ini, kejaksaan belum berani melakukan eksekusi.

Putusan kasasi MA terhadap kasus korupsi dana APBD Kota Cirebon TA 2002 juga bernasib serupa. Pada 6 Oktober 2005 lalu, MA dalam putusan kasasi telah menjatuhkan vonis pidana 2 tahun penjara kepada 3 mantan pimpinan dan 7 anggota DPRD Kota Cirebon. Namun sampai waktu yang sudah melebihi hitungan enam bulan paska dikeluarkannya putusan kasasi, para terpidana belum juga dieksekusi.

Dalam posisi yang tidak tepat, kejaksaan justru mencari pembenaran untuk tidak melakukan eksekusi. Persis seperti argumentasi pemberian Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap Soeharto, kebijakan untuk menunda pelaksanaan eksekusi terpidana korupsi APBD juga karena faktor ’kemanusian’.

Disamping muncul juga pertimbangan-pertimbangan bernuansa politis seperti kekhawatiran terjadinya instabilitas di daerah karena yang akan dieksekusi adalah pejabat berpengaruh. Yang tidak cukup dipahami, kejaksaan juga memberikan opini bahwa eksekusi tidak dapat dilakukan karena terdakwa saat ini tengah mengajukan upaya peninjauan kembali. Padahal jelas-jelas dalam KUHAP dinyatakan bahwa upaya peninjauan kembali tidak menunda pelaksanaan eksekusi.

Jika ditinjau lebih jauh, kebijakan untuk menunda eksekusi secara ekstrim bisa dikatakan sebagai bagian dari pembangkangan pihak kejaksaan terhadap perintah Undang-Undang. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan. Dalam usahanya untuk mempercepat dan lebih menjamin efektifitas pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, pasal 2 ayat 2 TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ditegaskan, “Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat beratnya.”

Demikian pula dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sendiri sebenarnya sudah secara jelas disebutkan dalam pasal 30 ayat (1) huruf b, “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Mengacu kepada dua pasal tersebut, usaha pemberantasan korupsi dan penindakan hukumnya merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas dan wewenang kejaksaan. Sehingga dengan demikian, kejaksaan tidak boleh berhenti hanya pada proses penyidikan dan penuntutan/melimpahkan kasus korupsi ke pengadilan. Namun juga harus diikuti hingga pelaksanaan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, jika kejaksaan tetap pada pendiriannya untuk menunda atau –dalam skenario terburuk- tidak melaksanakan eksekusi, maka sebenarnya kejaksaan sudah dapat dikatakan melanggar UU.

Yang mengkhawatirkan, ekses negatif dari terbengkelainya eksekusi terpidana korupsi adalah melemahnya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi. Usaha sungguh-sungguh untuk melaporkan berbagai dugaan tindak pidana korupsi dan dukungan bulat yang dialamatkan kepada kejaksaan akan berbalik arah menjadi kekecewaan jika masyarakat secara kasat mata melihat bahwa para terpidana korupsi masih bisa berkeliaran secara bebas, lebih-lebih mereka yang hingga saat ini masih aktif menjadi pejabat publik. Tak dapat dibayangkan bagaimana hasil dari sebuah kebijakan, jika pihak-pihak yang terlibat dalam proses perumusannya memiliki cacat hukum dan moral.

Oleh karenanya, mempertahankan kebijakan untuk tidak mengeksekusi segera mungkin terpidana korupsi hanya akan menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi program percepatan pemberantasan korupsi. Seprima apapun kinerja kejaksaan dalam menyeret pelaku korupsi ke meja hijau, tanpa diimbangi dengan tindakan tegas untuk melakukan eksekusi atas putusan pengadilan tidak akan berarti apa-apa. Karena sesungguhnya akhir dari penegakan hukum adalah ketika secara non-diskriminatif semua pelaku kejahatan (korupsi) menerima akibat yang setimpal. Lumpuh di ujung agenda barangkali merupakan kata yang tepat jika pelaksanaan (eksekusi) putusan pengadilan oleh kejaksaan dianggap bukan bagian yang esensial.