Friday, March 24, 2006

Menguji Integritas KPK

Tertangkapnya salah satu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Ajun Komisaris Polisi Suparman, yang diduga kuat memeras saksi kasus korupsi PT Industri Sandang Nusantara, telah menunjukkan kepada publik bahwa institusi KPK tidak steril dari proses pembusukan. Masalah ini menjadi kian serius mengingat KPK adalah lembaga baru pemberantasan korupsi yang memiliki kewenangan besar, sekaligus menjadi harapan terakhir masyarakat yang sangat merindukan adanya institusi penegakan hukum yang benar-benar bersih dari praktek korupsi. Harapan tersebut setidaknya dapat dilihat dari banyaknya laporan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia kepada KPK, yang hingga saat ini telah mencapai angka sebelas ribu lebih.

Segala kemungkinan memang tidak dapat ditolak, tapi jika kasus pemerasan telah menjadi bagian dari sistem kerja KPK, dengan terpaksa kita harus mengatakan tutup buku terhadap pemberantasan korupsi. Postulat yang mengatakan bahwa kian besar kekuasaan/kewenangan kian tinggi kemungkinan penyimpangannya telah terbukti. Dan Suparman bisa jadi adalah titik api yang kebetulan dapat dideteksi. Pendek kata, semua pegawai di KPK memiliki peluang yang sama untuk menjadi seperti Suparman.

Lantas kepada siapa masyarakat bisa menaruh kepercayaan? Tentu, sebagai masyarakat yang telah dewasa, kita perlu melihat perkara ini secara obyektif, dalam arti kasus pemerasan oleh penyidik KPK masih sebatas gejala deviasi yang ditunjukkan oleh perbuatan individu belaka yang terlepas dari kebijakan dan sistem KPK secara keseluruhan. Kita sedikit merasa lega karena mekanisme pengawasan internal KPK dapat menangkap dan merespons dengan cepat sinyal penyimpangan itu, meskipun tak dapat dimungkiri bahwa terbongkarnya kasus pemerasan oleh penyidik KPK berangkat dari informasi yang disampaikan masyarakat, bukan dari KPK sendiri.

Karena itu, supaya praktek deviasi yang dilakukan anggota KPK tidak bertransformasi menjadi kejahatan sistemik, penting bagi pemimpin KPK untuk memikirkan ulang beberapa isu strategis. Gagasan yang mendorong agar KPK memiliki perwakilan di daerah agaknya sangat riskan untuk diwujudkan mengingat rentang kendali atas operasionalisasi penanganan kasus korupsi menjadi sangat jauh dan berisiko. Dikhawatirkan akan muncul para pemeras baru di tubuh KPK yang dapat menjalankan kejahatannya tanpa bisa dideteksi dan diketahui oleh sistem pengawasan internal KPK.

Suburnya budaya kongko-kongko antarpemimpin daerah dalam forum musyawarah pimpinan daerah (muspida) menjadi faktor yang penting bagi KPK untuk tidak membuka kantor perwakilan di daerah. Bagaimanapun, kebiasaan-kebiasaan buruk yang dimaklumi itu secara faktual telah mempersulit praktek pemberantasan korupsi di berbagai daerah. Pertimbangannya, jika kemudian KPK hadir di daerah--dengan menjadi atau tidak menjadi bagian dari forum kemuspidaan--sulit untuk menempati posisi sebagai pihak yang independen dalam konteks kekuasaan di tingkat lokal. Lebih baik KPK mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam kaitannya dengan fungsi koordinasi dan supervisi ketimbang menempatkan personal dan perwakilan KPK di berbagai daerah.

Munculnya pemerasan oleh penyidik KPK sendiri menunjukkan mekanisme rekrutmen para personel KPK, khususnya yang memiliki tanggung jawab langsung terhadap penanganan kasus korupsi, meninggalkan banyak kelemahan. Semua pasti sudah mafhum bahwa penyidik KPK adalah mereka yang, sebelum ada KPK, menjadi personel di kejaksaan dan kepolisian. Gambaran ini menjadi sangat ironis berhubung KPK lahir dan dibentuk dengan alasan parahnya praktek korupsi yang menjangkiti kejaksaan dan kepolisian. Jika KPK kemudian menerima personel penyidik dari kedua institusi tersebut, tentunya bunyi sebuah iklan, "jeruk makan jeruk", akan menjadi kenyataan.

Yang memprihatinkan, jika kecurigaan masyarakat ini benar, KPK selama ini hanya menerima begitu saja tenaga personel penyidik dari kejaksaan dan kepolisian untuk ditugasi di KPK, tanpa ada pengujian dan penyaringan lebih serius dari sisi integritas dan kapasitasnya. Harus diakui, dalam soal rekrutmen tenaga penyidik, KPK memiliki posisi yang dilematis. Sebab, di satu sisi, mereka tidak memiliki kewenangan untuk merekrut tenaga penyidiknya sendiri (di luar penyidik kejaksaan dan kepolisian), sementara di sisi lain penanganan korupsi sudah harus mulai dilakukan. Jikapun KPK menolak tenaga penyidik yang sudah disodorkan oleh pemimpin kejaksaan dan kepolisian karena alasan-alasan integritas dan kapasitas, dikhawatirkan kedua institusi itu tidak mau memberikan tenaga penyidiknya kepada KPK karena masalah ketersinggungan, misalnya.

Keterbatasan KPK untuk merekrut sendiri tenaga penyidik di luar polisi dan jaksa merupakan buah dari belenggu peraturan perundang-undangan, baik yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, khususnya pasal yang mengatur soal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pada prinsipnya belenggu peraturan itu membatasi KPK untuk dapat merekrut tenaga penyidik di luar para penyidik di kejaksaan dan kepolisian.

Karena itu, peristiwa terbongkarnya kasus Suparman dapat dijadikan momentum bagi pemimpin KPK untuk mendorong upaya perubahan (amendemen) terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang selama ini justru membelenggu kinerja KPK sendiri. Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pengajuan amendemen terhadap Undang-Undang KPK justru akan dimanfaatkan oleh politikus Senayan untuk mempreteli kewenangan KPK memang perlu diperhatikan. Namun, suara keprihatinan yang muncul di DPR atas peristiwa Suparman bisa dijadikan pintu masuk untuk mendesakkan perbaikan perundang-undangan yang selama ini justru sangat menghambat kinerja penanganan kasus korupsi oleh KPK.

Terbongkarnya kasus Suparman atas dasar laporan masyarakat menegaskan bahwa dalam pemberantasan korupsi, masyarakat memiliki peran sentral dan strategis. Tanpa adanya laporan tersebut, kemungkinan Suparman ditangkap sangatlah kecil. Karena itu, KPK seyogianya mengolah strategi komunikasi dan kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kemungkinan baru yang dapat menempatkan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari program pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Barangkali ICAC (lembaga semacam KPK) di Hong Kong dapat dijadikan salah satu referensi bagaimana program kemitraan dengan masyarakat sangat membantu upaya pemberantasan korupsi.

sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/2006/03/24/Opini/krn,20060324,63.id.html