Thursday, January 26, 2006

Pengadilan di Persimpangan Jalan

Gagasan progresif Komisi Yudisial (KY) untuk mengganti seluruh hakim agung melalui mekanisme kocong ulang dapat dianggap sebagai puncak kegeraman terhadap praktek mafia peradilan yang telah mewabah. Tidak dapat disangkal bahwa praktek mafia peradilan sudah berkembang sejak jaman Orde Baru, sebagaimana diakui sendiri oleh Ketua MA, Bagir Manan. Namun tidak pada tempatnya Bagir Manan mengeluarkan pernyataan demikian karena seharusnya dipundaknyalah tanggung jawab memberantas mafia peradilan itu dilakukan. Apologi semacam itu tidak akan dapat menarik simpati dan mengubah pandangan negatif terhadap peradilan yang selama ini tertanam di pikiran masyarakat.

Tidak hanya karena fakta menunjukan bahwa kasus-kasus pemerasan dan suap yang melibatkan para pejabat di lingkungan pengadilan kerap muncul. Melainkan juga dari survey dan studi yang menunjukan bahwa lembaga peradilan merupakan wilayah yang paling sering terjadi praktek korupsi diluar Bea Cukai, Polisi, TNI dan Partai Politik (Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi 2004). Bahkan data terakhir yang dilansir KY menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption (Media Indonesia, 20/1/06).

Dalam situasi seperti ini, sektor yudikatif sulit untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya mendorong efektifitas pemberantasan korupsi sebagaimana telah menjadi perhatian khusus pemerintahan SBY. Secara sederhana, ada atau tidaknya dukungan yudikatif terhadap komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan SBY dapat diamati dari hasil dan kualitas vonis yang telah dikeluarkan oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding maupun di MA dalam memutus perkara korupsi.

Berdasarkan hasil kompilasi pemberitaan di berbagai media massa tahun 2005, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat paling kurang terdapat 69 kasus korupsi dengan 239 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di seluruh Indonesia, mulai dari tingkat pertama (pengadilan negeri), banding (pengadilan tinggi), kasasi hingga peninjauan kembali (MA).

Dari jumlah itu, aktor korupsi yang diadili sebagian besarnya berasal dari kalangan eksekutif dan legislatif. Jumlah kasus yang melibatkan para terdakwa dari lingkungan eksekutif (kepala daerah, mantan kepala derah, dinas, sekda dsb) sebanyak 27 kasus. Sementara dari kalangan anggota atau mantan anggota dewan (legislatif) sedikit lebih banyak, sebanyak 28 kasus korupsi yang telah diproses di pengadilan. Sisanya adalah kasus korupsi yang melibatkan pihak swasta sebanyak 14 kasus.

Dari 69 kasus tersebut, sebanyak 27 kasus oleh hakim divonis bebas, dan 42 kasus yang akhirnya divonis bersalah. Namun dari kasus korupsi yang akhirnya diputuskan bersalah oleh pengadilan, hampir separuhnya (23 kasus) diputus dibawah 2 tahun penjara. Kualitas putusan yang demikian menggambarkan bagaimana visi dan pandangan hakim terhadap kejahatan korupsi. Patut disayangkan dalam situasi dimana pemberantasan korupsi sedang digalakkan, putusan hakim sama sekali tidak mendorong timbulnya efek jera. Jika kemudian orang tidak kunjung takut melakukan korupsi, hal itu lebih disebabkan karena tidak berwibawanya putusan pengadilan.

Memang perlu disadari tidak semua terdakwa kasus korupsi beruntung dapat menghirup vonis bebas ataupun hanya divonis dibawah 5 tahun penjara. Walikota Blitar non-aktif Imam Muhadi barangkali satu-satunya pejabat negara saat ini yang menyesal telah melakukan korupsi karena dijatuhi vonis penjara cukup berat. PN Blitar secara mengejutkan menjatuhkan vonis 15 tahun tahun penjara terhadap Muhadi yang didakwa melakukan korupsi dana APBD tahun 2002-2004 sebesar Rp 97 miliar. Berikutnya PN Pekanbaru yang menjatuhkan vonis 14 tahun penjara bagi Nader Taher yang didakwa melakukan penyelewengan kredit dari Bank Mandiri sebesar Rp 35,9 miliar. Sayangnya vonis berat yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi masih dapat dihitung dengan jari.

Secercah Harapan

Lain ladang lain belalang, demikian pepatah bilang. Jika di pengadilan umum semangat pemberantasan korupsi masih terhambat oleh gagalnya hakim menerjemahkan rasa keadilan yang dituntut masyarakat. Paling tidak, pengadilan khusus korupsi (pengadilan Tipikor) berani memberikan sesuatu yang cukup menjanjikan.

Selama setahun Pengadilan Tipikor menjalankan tugasnya memeriksa dan memutus perkara korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK, terdapat kecenderungan yang positif. Selain belum pernah ada putusan bebas yang dikeluarkan pengadilan Tipikor, tiga terdakwa yang mencoba mencari keadilan ke tempat yang lebih tinggi (banding dan kasasi) justru mendapatkan hukuman lebih berat. Sebut saja nasib yang dialami Abdullah Puteh yang pada akhirnya harus menerima hukuman lebih berat di MA paska dirinya mengajukan kasasi. Dua contoh lainnya adalah terdakwa Harun Let-Let dan Tarsisius Walla yang justru divonis lebih berat ditingkat banding dan kasasi.

Kecenderungan ini sekaligus dapat menyadarkan banyak pihak, bahwa mekanisme banding ataupun kasasi bukan jalan untuk mendapatkan kebebasan, tapi justru adalah kesulitan yang lebih besar. Hal ini akan membuat para pelaku korupsi berpikir berulang kali untuk mengajukan banding/kasasi, atau lebih baik langsung menerima putusan di pengadilan tingkat pertama, sebagaimana telah dilakukan oleh Mulyana W Kusuma, Hamdani Amin dan Susongko Suhardjo dalam kasus korupsi KPU. Jika pandangan ini terbentuk, maka secara otomatis tidak akan ada penumpukan perkara di PT maupun di MA yang selama ini menjadi masalah dan membuka peluang baru terjadinya praktek mafia peradilan.

Apa yang telah ditunjukkan oleh pengadilan Tipikor selama masa satu tahun ini mudah-mudahan akan menjadi fenomena baru bahwa pengadilan bukan tempat yang enak untuk menyelesaikan persoalan. Timbulnya rasa takut atau efek jera dari para terdakwa korupsi akan berdampak pada upaya membangun keyakinan pencari keadilan bahwa putusan di pengadilan dikeluarkan secara adil.

Namun demikian, tingkat kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya praktek mafia peradilan di pengadilan Tipikor juga tetap harus dipertahankan. Kekhawatiran itu tidak lepas dari keberadaan hakim karir di pengadilan Tipikor yang oleh banyak kalangan diragukan integritasnya. Hal itu mengingat pada saat seleksi hakim Tipikor, MA tidak pernah mengumunkan, apalagi melakukan fit and propert test sebagaimana telah dilakukan terhadap hakim ad hoc. Mereka itulah yang dapat menjadi ‘racun’ bagi keberadaan pengadilan Tipikor yang sedang menata citra barunya.

Tulisan ini dimuat di koran Tempo, 25 Januari 2006
link:http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/01/25/brk,20060125-72897,id.html

Saturday, January 14, 2006

Negara Keliru Urus

Pinggir Jalan Tol Kapuk:13 Januari 2006:19.30 WIB

10 menit bis Damri lepas dari ruas jalan Bandara Cengkareng,

Tiba-tiba perasaan geram, kesal, marah, emosi, berkecamuk jadi satu...

Bayangkan, di saat hujan deras mengguyur Jakarta, Bis Damri jurusan Pasar Minggu yang menjadi pilihan ekonomis (Rp 15 ribu, kalau taksi bisa Rp 100 ribu) satu-satunya harus mogok di pinggir tol Kapuk...

Ini kali kedua pengalaman yang sama terulang...Sebelumnya, dalam hitungan dua bulan ke belakang, bis Damri jurusan Pasar Minggu juga apes...Mogok di pinggir tol Cawang...

Aneh!!! Jurusan Pasar Minggu tapi mogok di pinggir tol Cawang....
Namanya juga sopir angkutan...Soal trayek memang diatas kertas jelas jurusannya...Tapi soal selera jalan bisa lewat mana saja...

Penumpang yang protes langsung disemprot dengan kata mujarab, "Naik taksi aja!"..Dijamin langsung diam (kalau yang tetap nyerocos mungkin mantan sopir angkutan juga)

Sambil menikmati kemarahan, iseng-iseng memutar memori hari ini...

Kebetulan sebelumnya sempat ketemu orang bpkp...

Diskusi soal kasus pln yang menyesakkan...

Betapa tidak, pln harus menyewa software dan hardware dari swasta untuk menjalankan program reguler mereka melayani pelanggan...

Tiap bulan kocek pln harus keluar 1,4 miliar...Sinting!!! Batin ini mengumpat keras...

Orang bpkp itu bilang, di kita ini (baca: Indonesia) kalau mau jual aset negara diturunkan harganya (istilahnya mark-down)...Jual tanah perumnas diturunkan NJOPnya...Mau jual aset BPPN diturunkan harganya...(kalau bisa murah, kenapa harus mahal)

Tapi kalau mau beli barang/jasa baru, harganya pasti dinaikkan....(opposite dari mark-down, yakni mark-up) Beli baju seragam pns dilipatgandakan harganya...Beli bahan bangunan ditinggikan nilainya...Beli pesawat bekas dibilang baru...Dan beli bis Damri busuk...dihargai bis baru (kalau bisa mahal, kenapa dibeli murah)

Konsumen jadi korbannya...
Korban ganda dari salah urus negara...
Pajak yang dibayarkan kepada negara dikorupsi, pelayanan publik yang diberikan negara tidak manusiawi....

Ukuran manusiawi itu gampang: nyaman, murah, cepat...
Seperti juga dalam kasus mogoknya bis Damri, ini akibat langsung dari salah urus negara secara makro....

Spare part tidak dibeli, padahal anggaran dialokasikan...Jika terpaksa membeli, cari barang bekas tapi harga baru....

Ah...aku, kalian dan orang-orang yang mengalami pengalaman serupa adalah korban...Korban dari kekuatan jahat yang mendominasi negeri ini...

Tiba di Kalibata, waktu sudah menunjukan 21.30 WIB...Hujan masih mengguyur...membasahi kepala dan badan ini...

Dibalut dinginnya malam, hati semakin berketetapan, melawan korupsi tidak boleh berhenti....

Kalibata, 23.17 WIB....

Dialog Hakim Agung dengan Camry

Hakim Agung:
Mas Camry, kita ini pejabat negara, jadi sangat layak untuk mendapatkan fasilitas yang nyaman untuk menunjang pekerjaan mulia dalam rangka menegakan keadilan, hakim agung itu khan lambang keadilan yang paripurna...

Camry:
Jadi yang dibutuhkan bapak apa?

Hakim Agung:
Ya kami tidak muluk-muluk, paling tidak kondisi memprihatinkan kami turut diperhatikan oleh negara, mosok mobil dinas kita itu cuma kijang? Sudah pada butut lagi...Sepertinya ketika kami memakai itu, hilang kewibawaan kami, kami merasa dilecehkan...Khan enggak adil kalau kami diharuskan bekerja profesional tapi penunjang operasional kami tidak dipikirkan negara...

Camry:
Bukankah bapak seharusnya ingat, kalau pejabat negara itu tidak boleh mementingkan diri sendiri, khan mantan presiden amerika yang terkenal itu pernah bilang, jangan kau tanya apa yang kau dapatkan dari negara, tapi tanya apa yang telah kamu berikan kepada negara? Bapak tidak ingat?

Hakim Agung:
Ah...itu harus dilihat konteksnya dong....Itu khan kata-kata jaman kuno...Kita ini sekarang hidup di konteks yang modern, dan kata-kata itu tidak berlaku untuk jaman sekarang...Lho iya tho? Mosok masyarakat tidak percaya kalau kami ini sudah berupaya sekuat tenaga untuk bekerja demi kemajuan bangsa? Kami tidak menuntut, tapi kami cuma menagih hak saja...

Camry:
Apa buktinya bapak-bapak ini telah bekerja sungguh-sungguh? Buktinya menjamur praktek mafia peradilan di MA....

Hakim Agung:
Huss...itu oknum...Tolong diberi cetak tebal! itu Oknum!!! Memang ada yang seperti itu...Jumlahnya kira-kira 90 persen, tapi itu khan oknum!!! Kami ini yang 10 persennya kok....Kami ini yang mewakili MA, selebihnya sih anggap saja karena mereka gajinya kecil...Iya lho mas Camry...Gaji kami ini tidak cukup, makanya kalau ada yang main belakang dengan perkara, itu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, untuk menjaga supaya dapur ngebul....Kalau gak percaya, cek aja daftar kekayaan kami...data di KPK khan ada 50 persen pejabat yudikatif yang belum menyerahkan daftar kekayaannya..Itu bukan karena mereka gak mau, tapi apa yang mau dilaporkan....!!!! Gak ada sama sekali!!!

Camry:
Tapi banyak khan hakim yang punya tanah, rumah, vila dan mobil mewah, kenapa itu tidak dilaporkan?

Hakim Agung:
Anda ini bagaimana sih? Itu khan didapat bukan dari pendapatan resmi kami...Itu hasil pekerjaan sampingan kami, jadi diluar pertanggungjawaban kami sebagai pejabat publik....Kalau kami kemudian punya berbagai macam kekayaan, kenapa sih pada protes??? Bukankah itu wajar? Kalau mengandalkan gaji sebagai hakim, mana tahan hidup seperti sekarang....

Camry:
Jadi itu hasil dari pekerjaan sampingan apa, pak?

Hakim Agung:
Itu uang jasa yang sering diberikan oleh pencari keadilan...Tapi itu gak dosa kok...mereka sangat ikhlas memberikan kepada kami...Ini bukan suap...Ini semacam uang terima kasih karena telah dibantu perkaranya...Kami bekerja tetap independen dan menjunjung nilai keadilan...Yah, kalau ada yang dikalahkan itu khan wajar..Di dalam pengadilan, kalah menang itu biasa...selalu ada yang menang dan selalu ada yang kalah...tapi kami memutus dengan seadil-adilnya....Kalau yang memberi ucapan terima kasih itu lebih banyak, ya kami menangkan...Itu khan adil, tho? Kami melihatnya dia lebih banyak berkorban...itu saja....

Camry:
Jadi, keadilan itu apa, pak?

Hakim Agung:
Kamu itu pertanyaannya melebar....Gak usah ditanya itu keadilan apa...Tapi yang harus dimengerti bagaimana kita memperoleh keadilan...Keadilan itu soal harga...Sudah jangan banyak tanya, hargamu berapa?

Camry:
Saya 300 sampai 400 juta pak!

Hakim Agung:
Oke...ini sudah ada uang 5 miliar, semua saya pakai untuk membeli kamu...Ini uang negara...jadi kami anggap ini bagian dari perhatian negara terhadap kami...Bukan korupsi, tho?

Camry:
Ya kalau saya sih manut saja, tergantung siapa yang beli, mau penjahat, koruptor atau alim ulama, saya gak perduli, yang penting laku....

Friday, January 06, 2006

KPK, Pendekar Tanpa Kawan?

Kesendirian menyelimuti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam usianya yang kedua. Perasaan tidak dibantu dan tidak didukung oleh institusi penegak hukum lainnya menjadi kesimpulan pimpinan KPK, sebagaimana telah diutarakan pada refleksi 2 tahun kelahiran KPK beberapa waktu lalu. Menurut pimpinan KPK, KPK itu dapat diibaratkan sebagai lilin. KPK tengah berusaha menyinari lingkungan yang gelap pekat dengan dirinya sendiri. Dan pada satu ketika, lilin itu akan redup karena melemahnya energi yang dipancarkan, dan perlahan-lahan mati karena kehilangan daya.

Situasi seperti diatas tentunya tidak kita inginkan. Oleh karenanya, dalam kondisi negara yang darurat korupsi, masyarakat yang haus akan keadilan tidak membutuhkan lilin. Lilin teramat kecil dan lemah untuk dijadikan alat penerang. Sebaliknya masyarakat membutuhkan matahari yang panasnya menyengat dan mampu membakar semak belukar korupsi yang telah menjalar ke berbagai sudut kehidupan. Jika KPK menganggap dirinya lilin, ini artinya KPK telah mengkerdilkan dirinya sendiri.

Barangkali para pengambil kebijakan di KPK perlu melihat kembali pada sejarah dibentuknya lembaga itu. Semangat dibentuknya KPK lebih disebabkan oleh faktor tidak berfungsinya instrumen hukum konvensional (kejaksaan dan kepolisian) dalam memerangi korupsi yang sudah sedemikian akut.

Tak dapat dipungkiri penanganan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisian selama ini telah menjadi ajang korupsi baru sehingga muncul banyak SP3 tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Motif penanganan kasus korupsi tidak untuk memberantasnya, melainkan untuk mendapatkan keuntungan (personal gain) dari proses tersebut melalui pemerasan, suap-menyuap dan negosiasi. Dengan demikian, jika KPK menganggap bahwa selama dua tahun ini mereka kesepian, tidak ada kawan dalam memberantas korupsi, hal itu adalah konsekuensi yang logis –sekaligus wajar-.

Beruntung KPK masih didukung oleh masyarakat luas, sehingga rasa kesendirian tidak terlalu mencekam. Dukungan itu telah diperlihatkan dalam berbagai bentuk, mulai dari memberikan laporan kasus-kasus korupsi ke KPK, aksi turun ke jalan mendukung KPK hingga memberikan berbagai masukan yang sifatnya strategis maupun teknis dalam usaha memberantas korupsi. Kepercayaan masyarakat terhadap KPK perlu dipelihara, dipupuk dan dijaga agar dapat menjadi sebuah kekuatan baru dalam melawan rezim korupsi.

Namun demikian, kritik dan keluhan masyarakat atas kinerja KPK juga menjadi bagian yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat adalah tampilnya KPK dalam performa yang maksimal sehingga mampu mencairkan kebekuan usaha memberantas korupsi yang hampir membatu. Dengan bermodal wewenang dan kekuasaan yang besar, seharusnya KPK bisa menunjukan kinerjanya melebihi apa yang sudah dilakukan saat ini. Terlepas dari keberhasilan KPK melakukan beberapa gebrakan, harus diakui bahwa KPK memiliki beberapa kelemahan mendasar yang perlu diperbaiki.

Pertama, lemahnya peranan KPK sebagai agenda setter dalam memberantas korupsi. Hal pertama ini bisa diterjemahkan sebagai sebuah situasi dimana KPK belum memiliki agenda yang jelas, terarah dan strategis dalam mendorong pemberantasan korupsi. Penanganan kasus korupsi Gubernur Aceh, Harun Let-Let, anggota KPU dan yang terbaru Theo Toemion menunjukan pola yang acak dan lepas kaitan antara satu dan lainnya. Belum lagi jika bicara dimensi pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari pilihan-pilihan terhadap sasaran tembak tersebut.

Benar bahwa KPK membutuhkan cerita sukses dalam memberantas korupsi sebagaimana telah ditunjukan pada kasus Puteh dan Harun Let-Let. Tapi cerita sukses selalu dimulai dari pembuatan skenario yang serius, terarah dan runtun sehingga tidak keluar dari hukum logika. Terkesan yang dilakukan KPK saat ini terlalu banyak improvisasi, mengikuti irama ruang dan waktu yang bergerak tanpa kendali.

Kedua, lemahnya peranan KPK dalam melakukan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum lain. Hal kedua ini paling menyita banyak perhatian masyarakat karena begitu banyak kasus yang macet di kejaksaan dan kepolisian. Tugas KPK adalah membuat proses hukum yang tengah berjalan menjadi lancar dan cepat sesuai aspirasi masyarakat dan standar kinerja internal yang sudah ditetapkan oleh aparat penegak hukum sendiri.

Oleh karena itu, tidak bergeraknya penanganan kasus korupsi (baik dari sisi kuantitas maupun kualitas) menunjukan lemahnya koordinasi dan supervisi yang dimaksud. Mengandalkan kontrol atas proses hukum yang sedang berjalan melalui metoda korespondensi belaka tidak hanya menunjukan miskinnya ide, sekaligus terperangkapnya KPK untuk menggunakan cara-cara yang konvensional dan sederhana dalam memberantas korupsi.

Yang lebih memprihatinkan, terjadinya benturan dan mispersepsi (diwakili kasus Khairiansyah) antara KPK dan Kejaksaan dalam mengusung agenda pemberantasan korupsi patut dicermati sebagai sebuah kekeliruan mendasar yang tidak boleh terulang. Situasi yang terkesan saling menegasikan, menjatuhkan dan suasana vis a vis tidak hanya membuat agenda pemberantasan korupsi menjadi berantakan, tapi juga membuat para koruptor dapat tertawa lebar-lebar.

Ketiga, lemahnya peranan KPK dalam melakukan upaya dan terobosan hukum. Sudah sering dikatakan bahwa produk hukum adalah cermin dari tarik-menarik dan pertarungan kepentingan yang ada dalam arena politik. Tak heran jika beberapa produk peraturan yang dibuat untuk mendorong pemberantasan korupsi pada akhirnya membelenggu, membatasi ruang gerak dan seringkali justru memandulkan. Maka dari itu, produk hukum tidak hanya dilihat dalam bungkusnya yang legal-formal, tapi juga dalam bingkai dan frame politik tertentu yang merepresentasikan kekuatan politik dominan.

Jika KPK selama ini mengeluh mereka kekurangan tenaga penyidik yang handal dan profesional karena hambatan yang tertulis dalam KUHAP, maka keluhan itu tidak akan berguna sama sekali jika KPK kemudian tidak melakukan usaha apapun. Menunggu hingga KUHAP direvisi misalnya sama artinya dengan menyia-nyiakan kesempatan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Dalam situasi demikian, menjadi sangat penting hadirnya pemikiran progresif sekaligus berani, setidaknya untuk bergesekan dengan aturan main yang ada. Pendek kata, inskonstusional sebagai cara berpikir subversif harus ditransformasikan menjadi ekstrakonstitusional sebagai cara berpikir progresif. Jangan sampai kemudian muncul tudingan bahwa KPK menutupi kelemahannya dengan berlindung pada bilik-bilik peraturan yang ada.

Cara berpikir progresif itu sekaligus dapat menjawab teka-teki apakah KPK akan berani masuk pada wilayah-wilayah rawan yang selama ini hampir tidak pernah dapat disentuh oleh hukum semisal instiusi militer, istana dan cendana. Jika beberapa gebrakan tersebut tidak muncul dalam periode tahun ketiga KPK, maka mau tidak mau masyarakat harus menurunkan tingkat harapan kepada KPK pada titik yang lebih realistis.

*****