Thursday, September 15, 2005

Aceh Menatap Masa Depan



Meletihkan, tapi juga menyenangkan. Menempuh perjalanan darat dari Banda Aceh ke Pidie, dilanjutkan ke Lhok Seumawe melewati Bireun dan terakhir ke Medan adalah pengalaman mengasyikkan yang sulit dilupakan. Memang tidak dilewati dalam masa satu hari. Kronologisnya, satu hari di Banda Aceh, satu hari di Pidie, satu hari di Lhok seumawe dan satu hari di Medan. Tidak ada kecemasan, mungkin karena informasi mengenai MoU GAM-TNI sudah pasti telah disepakati kedua belah pihak. Meski sudah aman, teman-teman di Banda Aceh berpesan supaya perginya pada siang hari.

Foto diatas adalah salah satu pemandangan rumah pengungsi pasca stunami yang telah dibangun kembali oleh salah satu NGO dari Perancis di Sligi, ibukota kabupaten Pidie. Desainnya bagus, bahannya pun kokoh. Bayangkan, untuk pondasinya, dipakai besi ukuran jempol tangan. Kata teman disana, besi itu sulit dicari di Aceh, hingga harus beli dari Medan. Harganya pun relatif lebih mahal. Tapi demi ketahanan, harga tidak menjadi persoalan. Apalagi semua rumah yang dibangun adalah bantuan. Masyarakat pengungsi tinggal terima beres.

Rumitnya, tidak semua bantuan rumah dari NGO internasional memiliki desan dan bahan yang sama. Masing-masing dari mereka memiliki konsep dan kemampuan yang berbeda. Masalahnya, perbedaan itu kerap menyulut keributan diantara pada pengungsi. Pengungsi juga manusia, hingga mereka memilih untuk memperoleh rumah terbaik. Sementara, tidak semua daerah yang dihantam tsunami bisa dijangkau oleh satu NGO. Hingga perbedaan itu tidak bisa dielakkan. Barangkali otoritas BRR perlu campur tangan, paling tidak menetapkan standar bangunan, mulai dari kualitas dan desain sehingga kecemburuan antar pengungsi tidak terjadi.

Bagi yang ingin lihat foto perjalanan di Aceh lebih lanjut, klik saja my album.

Aceh, September 2005
Pengelana