Sunday, August 28, 2005

Titik Rawan Korupsi dalam Pilkada

Dalam berbagai kajian mengenai korupsi pemilu,secara umum terdapat empat bentuk praktek penyimpangan yang dilakukan oleh kandidat dan partai politik. Mengingat keempat bentuk korupsi ini terjadi pada saat dan menjelang pemilu, maka kemungkinan besar hal ini juga akan terjadi pada saat pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) nanti. Korupsi pemilu sendiri dalam waktu-waktu tertentu sering ditukarnamakan dengan politik uang. Walaupun sebenarnya istilah politik uang memiliki dimensi yang lebih luas, karena praktek ini bisa terjadi diluar momen pemilu. Dalam terminologi hukum, praktek politik uang disebut sebagai tindak pidana suap.

Bentuk pertama pertama dari korupsi pemilu dikenal dengan istilah beli kursi (seat buying), dimana para kandidat yang ingin menjadi pejabat publik seperti DPR/D, presiden maupun kepala daerah dengan kekuatan uang dan koneksinya dapat ‘memesan’ jatah kursi nomor wahid. Praktek ilegal ini akan tumbuh subur jika penentuan kandidat pejabat publik hanya boleh dilakukan oleh partai politik, tanpa memberikan peluang bagi kandidat independen untuk turut serta sebagai rival dalam kompetisi politik. Apalagi jika mekanisme pemilu internal partai semisal konvensi juga tidak membuka kesempatan bagi masyarakat (konstituen) untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pada saat menentukan calon yang akan mewakili partai.

Berikutnya adalah praktek beli pengaruh (influence buying) yakni sebuah tindakan ilegal yang dilakukan kandidat atau partai politik dengan ‘membeli’ tokoh-tokoh masyarakat seperti pemuka agama, pemuka adat dan tokoh informal lainnya untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka. Dalam kondisi dimana pemilu dilakukan secara langsung, sebagaimana dalam pemilihan kepala daerah nanti, praktek pembelian pengaruh akan lebih efektif digunakan daripada menggunakan pendekatan beli suara..

Setidaknya ada tiga alasan yang dapat menjelaskannya. Pertama, dalam pemilu langsung, tidak ada satu carapun yang bisa digunakan untuk memastikan loyalitas pemilih kepada pihak yang membayar mengingat semakin dijaminnya asas pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia. Kedua,ongkos atau biaya membeli suara dengan model pemilihan langsung jauh lebih besar dibandingkan membeli suara dalam sistem pemilu yang menggunakan perwakilan. Oleh karenanya, akan lebih murah jika para tokoh masyarakat berpengaruh yang dibeli. Ketiga secara kultural, ikatan primordial antara masyarakat dengan tokohnya, baik itu pemuka agama, pemuka adat atau tokoh informal lainnya hingga saat ini masih sangat kental sehingga pengaruh mereka bisa digunakan untuk memobilisasi suara.

Bentuk lainnya adalah praktek pembelian penyelenggara pemilu, yakni sebuah tindakan ilegal oleh kandidat atau partai politik dalam mempengaruhi proses pemilu dan hasilnya dengan menyuap para penyelenggara pemilu, mulai dari level desa, kecamatan, kelurahan dan seterusnya maupun pengawas pemilu untuk melakukan praktek-praktek curang seperti menggandakan jumlah pemilih, memasukkan surat suara ilegal, mendrop suara sah, memanipulasi perhitungan suara dan lain sebagainya. Sesungguhnya praktek ini sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi independensi penyelenggara pemilu, sekaligus dapat menelikung aspirasi pemilih yang seharusnya dicerminkan dari pilihan-pilihan politik mereka pada saat mencoblos.

Diantara keempat bentuk korupsi pemilu, istilah yang terakhir ini paling dikenal, yakni pembelian suara. Secara sederhana, beli suara merupakan upaya ilegal dari kandidat dan partai politik untuk mempengaruhi suara pemilih dengan memberikan uang atau bentuk ‘bantuan’ lainnya. Bentuk beli suara sendiri bisa bermacam-macam, tergantung dari metoda dan jumlah uang yang dimiliki kandidat atau partai politik.

Berkaca pada pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun lalu, banyak ditemukan praktek beli suara, mulai dari pemberian door prize, kupon bensin untuk massa kampanye, amplop tunai hingga serangan fajar dari kampung satu ke kampung lain. Praktek beli suara sendiri tidak sekedar terjadi pada saat kampanye pemilu dan pada saat pencoblosan suara, tapi bisa juga dilakukan dengan mendompleng acara yang menyedot kehadiran banyak orang, seperti acara pengajian, arisan, pertandingan olahraga, pertemuan warga di tingat RT, RW, keluarahan dan sebagainya.  

Barangkali dalam lingkup korupsi pemilu, pihak yang harus diwaspadai karena memiliki potensi besar untuk melakukan penyimpangan adalah kandidat yang berposisi sebagai incumbent politician, yakni kandidat yang pada saat sekarang menjabat sebagai pejabat publik. Bagi kandidat kepala daerah yang termasuk kategori ini, mereka sangat diuntungkan karena memiliki akses besar terhadap sumber keuangan daerah (APBD) sekaligus kewenangan untuk mengalokasikan anggaran itu bagi kepentingan pemenangan pilkadal.

Datangnya program-program populis ke kampung-kampung, seperti pembuatan jalan, pembangunan rumah ibadah, pembagian sembako gratis, pemberian secara gratis bibit kepada petani yang dilakukan secara tiba-tiba menjelang pilkadal perlu dicurigai sebagai bentuk penggunaan dana publik untuk kepentingan pemenangan pilkadal.

Selain daripada itu, incumbent politicians juga memiliki kesempatan dan kekuasaan besar untuk mempengaruhi independensi panitia penyelenggara pilkadal mengingat tata cara penyelenggaraan pilkadal hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), yang notabene merupakan representasi dari kelompok politik yang tengah berkuasa saat ini. Meskipun dalam prakteknya panitia penyelenggara pilkadal tetap dilaksanakan oleh KPUD, namun pertanggungjawaban KPUD tidak kepada KPU Pusat yang merupakan jalur hirarkies organisasinya, melainkan kepada DPRD. Dititik inilah kemungkinan adanya tekanan, intimidasi, manipulasi dan tidak terjaminnya independensi panitia penyelenggara pemilu dapat terjadi.          

Perlu diingat bahwa keempat bentuk korupsi pemilu sebagaimana sudah dijelaskan diatas merupakan bentuk korupsi pemilu yang cermati dari sisi belanja/pengeluaran. Sementara di sisi lain, korupsi pemilu dari aspek pemasukan juga dapat terjadi. Hal ini biasanya berbentuk intervensi modal oleh kelompok-kelompok kepentingan dengan membiayai aktivitas politik kandidat atau partai politik dalam pilkadal untuk memenangkan pertarungan. Disebut suap karena intervensi modal terhadap praktek politik biasanya dilakukan dengan cara dan berasal dari sumber ilegal, yakni tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku.

Memang dalam PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, khususnya pasal 65 hingga 69 telah mengatur dana kampanye bagi kandidat menyangkut beberapa aspek. Antara lain mengenai batas besar sumbangan, sumber dana kampanye yang diperbolehkan, kewajiban pelaporan penggunaan dana kampanye dan larangan menerima dana kampanye dari sumber-sumber tertentu.

Namun demikian, praktek korupsi pemilu, baik dilihat dari sisi pengeluarannya maupun dari sisi pemasukannya masih dapat terjadi. Hal ini mengingat penegakan hukum atas temuan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana pemilu, khususnya yang terkait dengan praktek korupsi pemilu tidak pernah diusut secara tuntas oleh aparat penegak hukum. Misalnya saja temuan ICW atas berbagai daftar penyumbang fiktif pada saat pemilu presiden tahun 2004 tidak ada satupun yang diselesaikan. Padahal korupsi pemilu merupakan momok tersendiri pada setiap proses pemilu, termasuk dalam pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal), khususnya karena pengaruh negatif yang ditimbulkan terhadap kualitas pemilu itu sendiri.

(tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo)

SBY Vis a Vis Koruptor

Dibandingkan dengan agenda pemberantasan korupsi pemerintahan sebelumnya, kebijakan Presiden SBY dalam melawan praktek korupsi jauh lebih maju, walaupun dengan berbagai catatan. Dipilihnya Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung RI pada awal pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu menjadi salah satu tolok ukur untuk melihat tingkat keseriusan SBY dalam memberantas korupsi.

Penunjukkan Jaksa Agung yang dinilai banyak pihak memiliki integritas yang tinggi dilanjutkan dengan keluarnya Instruksi Presiden No 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Instruksi itu tidak sekedar ditujukan kepada tubuh Kejaksaan, melainkan ke seluruh jajaran birokrasi yang berada dibawah tanggung jawab dan kewenangan presiden. Untuk menunjukkan adanya keseriusan dalam usaha penegakan hukum tindak pidana korupsi, SBY sendiri mempercepat terbitnya surat ijin pemeriksaan bagi kepala daerah dan anggota DPR yang terindikasi melakukan korupsi. Dalam catatan ICW, sudah lebih dari 26 ijin pemeriksaan telah dikeluarkannya.

Tidak cukup dengan sekedar Inpres, SBY melalui Wakil Presiden Yusuf Kalla juga telah membentuk Tim Pemburu Koruptor yang langsung dikepalai Basrif Arief, Wakil Jaksa Agung RI. Tugas utamanya adalah mengejar para pelaku korupsi yang telah kabur atau melarikan diri ke luar negeri untuk dibawa kembali ke Indonesia supaya bisa diadili. Disamping itu, Tim Pemburu Koruptor juga bertugas mencari dan mengembalikan asset hasil korupsi ke kas negara untuk meminimalisir kerugian.

Namun sederet agenda dan kebijakan pemberantasan korupsi yang telah dirumuskan SBY rupanya masih tidak menunjukkan adanya perubahan cukup signifikan. Hal itu bisa dilihat dari terbitnya Keppres No 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Hendarman Supandji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS). Ada dua tugas utama yang diemban tim, pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus atau indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya untuk pengembalian keuangan secara optimal. Masa tugas tim yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah dua tahun dan dapat diperpanjang. Pembentukan tim ini paling tidak merupakan realisasi dari janji Presiden untuk mencari koruptor yang kabur hingga ke luar negeri. Janji yang diucapkan saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2005 di Jakarta, Rabu (13/4), dilatari kesedihan Yudhoyono melihat kasus-kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai saat ini belum tuntas, tapi para koruptornya masih mampu berbisnis di luar negeri. Dalam janjinya Presiden akan mencari para koruptor yang sudah divonis pengadilan tetapi kabur, serta para koruptor yang sudah lama dicari Kepolisian RI. Keluarnya Keppres ini sebenarnya bisa dilihat sebagai kekecewaan SBY atas program pemberantasan korupsi yang dinilai tidak berhasil.

Ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan mengapa program pemberantasan korupsi SBY mengalami kendala implementasi. Pertama, bahwa ranah kebijakan yang dibuat SBY untuk pemberantasan korupsi masih bersifat umum. Misalnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini sepertinya bersifat simbolik, dan kenyataannya tidak direspons dengan baik oleh jajaran menteri dan departemen terkait, karena bersifat umum dan hanya pengulangan tugas dan fungsi yang sesungguhnya sudah ada di tiap lembaga. Kecuali dalam bidang pendidikan yang memandatkan perlunya pendidikan korupsi di sekolah. Tanpa inpres itu pun otomatis sudah menjadi kewajiban hukum dari lembaga-lembaga yang tercantum dalam inpres itu untuk menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, inpres itu sama sekali tidak memberikan arahan dan strategi bagaimana mempercepat pemberantasan korupsi, yaitu memangkas faktor-faktor penghambat pemberantasan korupsi dan membuka jalan untuk kemudahan-kemudahan yang diperlukan. Misalnya, menginventarisasi dan meminggirkan aturan perizinan presiden atau Gubernur untuk menyeret pejabat atau anggota Dewan, yang selama ini menjadi bungker perlindungan pejabat yang kotor. Atau pembersihan aparat penegak hukum busuk, yang menjadikan penegakan hukum lumpuh.

Lebih strategis lagi kalau pemerintah berani mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 mengenai pengampunan bagi obligor pengemplang utang, yang senantiasa dijadikan alasan pembenar oleh Kejaksaan Agung untuk tidak menyentuh mereka. Karena tiadanya RAN, maka kelihatan agenda pemberantasan korupsi pemerintah sejauh ini tidak terencana dengan baik, tergantung pada improvisasi anggota kabinet masing-masing. Dalam hal ini yang secara menonjol bisa dilihat misalnya gebrakan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin yang melakukan pemindahan narapidana korupsi ke Nusakambangan. Kebijakan ini cukup menarik karena selama ini telah terjadi pelunakan hukum yang sistematis, jarang ada tersangka atau terdakwa yang ditahan. Akibatnya, tidak kurang dari 16 kasus BLBI yang diproses kejaksaan sejak tahun 2000, 10 orang di antaranya melarikan diri ke luar negeri, dan tanpa ada kemauan untuk menangkapnya kembali.    

Kedua, SBY terlalu menekankan pada kebijakan formal dalam mengupayakan pemberantasan korupsi, yakni dengan memproduksi keputusan, instruksi dan sebagainya yang dalam ranah kebijakan publik dikategorikan sebagai bagian dari content of law. Padahal stuctrure of law, yakni mesin yang akan menjalankan kebijakan itu juga harus diperhatikan. Akibatnya semua kebijakan yang telah dikeluarkan berhenti pada tingkat wacana karena tidak ada elaborasi atas agenda itu di tingkatan program aksi. Sampai saat ini kita belum pernah mendengar dan melihat masing-masing menteri sebagai pembantunya menterjemahkan kebijakan SBY melalui pembuatan program aksi pemberantasan korupsi dilingkungan mereka sendiri-sendiri.

Ketiga, karena agenda pemberantasan korupsi ditekankan pada aspek penegakan hukum, maka tidak bisa tidak, pembersihan di aparatur penegak hukum seharusnya menjadi agenda utama yang harus dikerjakan. Sayangnya secara substansial yang kurang mendapat perhatian adalah masalah pembersihan aparatus penegak hukum. Seperti sering diulas, semua kelembagaan antikorupsi yang penting sudah ada di sini, tetapi belum efektif karena di tangan aparat yang sama, dan karena itu menjadi tugas Presiden, DPR, dan MA untuk memperbaikinya. Sukses pemberantasan korupsi Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong yang legendaris, juga dimulai dengan membersihkan jajaran kepolisian yang menjadi poros semua kejahatan dan lumpuhnya aturan.  

Parahnya kondisi aparat penegak hukum dapat dilihat dari kinerja mereka selama ini. Disebutkan ada 169 (21%) kasus korupsi yang dalam 100 hari pemerintahan SBY telah dan akan dilimpahkan ke pengadilan, dari sekitar 776 kasus yang hingga tahun 2004 tidur lelap di kejaksaan. Hampir semua kasus-kasus itu berlokasi di daerah, yang ditangani kejaksaan di tingkat kabupaten dan provinsi. Taksiran kerugian negara dari kasus-kasus itu ratusan juta rupiah yang bisa dikategorikan kasus-kasus petty corruption bila dilihat dari level pejabat yang terlibat atau diperbandingkan dengan kasus-kasus mega corruption seperti pembobolan BNI atau BLBI. Angka kuantitas tersebut harus diakui merupakan suatu kemajuan, dibandingkan pemerintahan sebelumnya yang rata-rata tidak mencapai angka itu. Prestasi kinerja kejaksaan sesungguhnya tidak bisa dikatakan kemajuan yang fundamental apalagi mengejutkan, karena kasus-kasus tersebut telah lama mengendap di kejaksaan. Apalagi yang ditangani kasus-kasus korupsi kecil. Sementara kasus-kasus BLBI, sejak pemerintahan Habibie hingga 2004, baru 16 orang yang dibawa ke pengadilan dari 60 perkara yang diperiksa kejaksaan, dan 12 kasus dihentikan penyidikannya. Lebih parah lagi dari 16 orang yang diadili, sembilan terdakwa kabur sebelum vonis dan tiga tersangka bebas (ICW, 2004) Pilihan pada kasus-kasus korupsi kecil di daerah tersebut meskipun penting, barangkali belum bisa menyingkirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang selama ini diskriminatif, hanya efektif untuk orang kecil dan tidak berkutik bagi konglomerat, pejabat tinggi atau pemuka politik. Jangan bicara soal efek penjeraan dari tindakan represif terhadap kasus-kasus itu di tengah fenomena political corruption dalam hubungan keintiman (patronase) penguasa dan pengusaha, yang menjadi faktor penghambat terbesar pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Kinerja kepolisian lebih tidak kentara. Sampai saat ini Kapolri Da'i Bachtiar belum sepotong kata pun menjelaskan kebijakannya dalam pemberantasan korupsi. Pak Da'i masih asyik dengan isu terorisme internasional. Tidak ada laporan jumlah perkara yang ditangani selama 100 hari. Yang berhasil dicatat hingga tahun 2004 hanya ada 29 kasus yang dituntaskan, dan sisanya 162 kasus masih pemeriksaan (ICW, 2004). Yang paling mencoreng kepolisian adalah penanganan perkara pembobolan BNI Rp1,7 triliun yang diindikasikan adanya suap dari para pelaku untuk merekayasa berkas perkara tersebut kepada tim pemeriksanya, ternyata hanya diberi sanksi ringan melanggar kode etik kepolisian bukan diproses secara pidana. Dari kasus ini saja secara kasatmata bisa dikatakan pemerintahan SBY tidak punya keinginan serius untuk membersihkan aparat penegak hukum, padahal itu yang menjadikan korupsi semakin merajalela.

Keempat, lemahnya koordinasi antar lembaga anti-korupsi membuat program pemberantasan korupsi tidak bisa dijalankan secara efektif. Pembentukan Timtas Korupsi, semacam kelompok kerja representasi kejaksaan, kepolisian, dan BPKP, yang membantu langsung Presiden dalam mengoordinasi penegakan hukum, barangkali juga dilatarbelakangi lemahnya koordinasi antarkelembagaan yang ada dan kurang fungsionalnya penegakan hukum selama enam bulan terakhir.
Pembentukan Timtas Korupsi bisa jadi merupakan langkah Presiden untuk memimpin sendiri institusi penegakan hukum. Kita tentunya masih berharap bahwa adanya kebijakan yang diproduksi untuk program pemberantasan korupsi bertujuan untuk memperkuat dan mempercepat agenda pemberantasan korupsi, bukan sebaliknya malah memunculkan masalah baru.

5:0


Kabar soal kemenangan terdakwa Akbar Tandjung dalam kasasi di MA atas kasus korupsi dana nonbujeter Bulog telah beredar luas di berbagai media massa. Walaupun masih sulit dikonfirmasi kebenarannya, berbagai sumber dan berita yang telah bergulir seakan sudah memberikan vonis bebas kepada Akbar Tandjung. Opini itu diperkuat informasi dari sumber di MA, bahwa putusan melepaskan Akbar telah diambil secara musyawarah oleh Majelis Hakim. Alasannya, seperti dikutip media massa, dalam menyalurkan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar, Akbar Tandjung hanya berperan sebagai bawahan yang menjalankan perintah presiden. Selain itu,  bukti aliran dana ke partai Golkar tidak ditemukan.

Menjelang detik-detik akhir pengumuman putusan oleh Majelis Hakim pada Kamis mendatang, ruang publik tidak hanya dipenuhi dengan berita soal kemungkinan bebasnya Akbar, tapi juga oleh aksi massa yang pro maupun kontra dengan mantan Ketua Umum HMI itu. Di satu pihak, kelompok mahasiswa menuntut Akbar Tanjung dijebloskan ke penjara karena telah melakukan penyelewengan kekuasaan. Bagi mahasiswa yang melakukan demonstrasi di depan gedung MA, Akbar adalah koruptor dan layak dikategorikan sebagai politikus busuk. Di pihak lain, kelompok muda pendukung Akbar yang tergabung dalam AMPG dan massa Golkar lainnya meminta kepada MA untuk memberikan putusan yang adil. Di mata mereka, Akbar Tandjung adalah pahlawan yang akan selalu menjadi pemimpin, walaupun skenario terburuk menimpanya. Bahkan dengan semangat  heroik, mereka menyatakan siap dipimpin oleh Akbar Tandjung dari dalam penjara.

Orang yang memahami sejarah perjuangan Indonesia dengan benar, mungkin hanya bisa tersenyum geli sekaligus sedih. Bagaimana tidak, apa yang menimpa Akbar sangat kontras dengan apa yang pernah terjadi pada diri tokoh Indonesia pada masa kemerdekaan. Jika Akbar divonis bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi, Soekarno misalnya dipenjara karena memperjuangkan prinsip kemerdekaan. Sebagaimana kita memahami, korupsi adalah tindak pidana yang berakibat buruk bagi masyarakat luas. Korupsi menghilangkan kesempatan masyarakat untuk bisa hidup lebih baik, menghancurkan pondasi ekonomi dan melahirkan kesenjangan sosial yang lebar. Sehingga orang-orang yang melakukan korupsi tidak layak untuk dihormati, apalagi diberikan tempat istimewa untuk menjadi seorang pemimpin bangsa.

Tanpa bermaksud mendahului putusan Majelis Hakim, berita soal kemenangan Akbar Tandjung telah tersebar ke publik luas. Tidak tanggung-tanggung, lima anggota Majelis Hakim dikabarkan setuju dengan pembebasan Akbar. Berita itu bisa jadi keliru, namun semua paham bahwa publik juga sudah kehilangan kepercayaan kepada aparat penegak hukum. Apapun yang dilakukan oleh aparat, baik itu benar maupun salah, sulit diletakan pada tempat yang proporsional, sehingga kebenaran media massa seringkali dianggap sebagai kebenaran itu sendiri.

Surutnya kepercayaan publik kepada lembaga penegak hukum bukan tanpa sebab. Beberapa waktu lalu keluar putusan PN Larantuka yang menghukum Pastor Frans Amanue selaku pelapor kasus korupsi yang dugaannya dilakukan oleh Bupati Flores Timur dan dikabulkannya gugatan perdata Tommy Winata kepada koran Tempo oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan. Dua peristiwa itu sebenarnya telah memberikan bukti bahwa logika penegakan hukum di negeri ini jauh dari rasa keadilan. Cara berpikir hakim yang menggunakan paradigma positivis-legalistik hanya melahirkan kebenaran formal semata. Sementara kebenaran substansial, yakni terjaminnya rasa keadilan publik menjadi terabaikan. Padahal kedua kasus itu membawa implikasi yang maha hebat bagi kemajuan demokrasi. Pada kasus Pastor Frans, peradilan telah mengancam partisipasi masyarakat dalam memberantas korupsi, sedang pada kasus koran Tempo, peradilan telah mengancam kebebasan pers.

Apa yang menimpa Pastor Frans dan koran Tempo sangat mungkin terulang pada kasus Akbar Tandjung. Bebasnya Ketua Umum Golkar itu bisa jadi karena sebab dari Majelis Hakim sendiri yang sangat percaya dengan kebenaran formal. Tapi alasan itu saja siapa yang mau mempercayai. Justru faktor yang akan sangat menentukan putusan Majelis Hakim adalah adanya intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agar Akbar Tandjung dibebaskan. Intimidasi itu bisa dalam bentuknya yang lembut berupa penyuapan, tapi dapat pula terjadi intimidasi dalam bentuknya yang keras, yakni ancaman penghilangan nyawa.

Walaupun alasan-alasan diatas sulit ditemukan kebenaran formalnya, tapi kita semua mahfum, lingkungan peradilan di Indonesia telah tercemar oleh praktek mafia. Putusan peradilan mudah digadaikan dengan setumpuk rupiah. Kalangan yang mampu memberikan penawaran terbesar pada hakim pemutus dapat dipastikan menjadi pemenangnya. Apalagi jika nilai uang yang diterima mencapai angka fantastis. Tak heran banyak aparat penegak hukum di Indonesia yang pengeluarannya jauh lebih besar daripada pendapatan resminya.

Hakim juga akan kehilangan posisi objektifnya ketika yang diadili adalah politikus yang memiliki kekuasaan besar, massa pendukung loyal yang siap melakukan apapun demi tujuan kebebasan. Pembunuhan terhadap Agung Syafiuddin Kartasasmita , salah satu anggota Majelis Hakim oleh penembak tak dikenal saat menangani kasus Tommy Soeharto cukup memberikan efek traumatik bagi lahirnya putusan-putusan pengadilan yang berwibawa. Walaupun pelaku pembunuhnya divonis seumur hidup, pengadilan tidak pernah menyinggung soal kepemilikan senjata oleh Tommy Soeharto. Memang, ketika kekuatan politik, premanisme dan uang bersatu, peradilan akan selalu menjadi bulan-bulanan.

Kemenangan Akbar Tandjung berarti kekalahan menyakitkan bagi rasa keadilan,  sekaligus merupakan langkah surut ke titik nol upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Putusan MA yang demikian akan memberikan inspirasi dan membangkitkan kepercayaan diri para pejabat publik pelaku korupsi yang kini juga tengah menjalani proses hukum. Sebut saja misalnya adalah 270 anggota DPRD se Indonesia yang tengah menjalani pemeriksaan oleh Kejaksaan Tinggi  karena terlibat dalam korupsi APBD. Sebaliknya, aparat penegak hukum yang kini sedang serius menangani perkara korupsi yang melibatkan pejabat publik akan kehilangan semangat dan keyakinan bahwa mereka bisa menjalankan tugas dan fungsinya seperti yang dikehendaki masyarakat luas. Masyarakat juga akan semakin pesimis terhadap lembaga penegak hukum dan pemberantasan korupsi yang sedang gencar di kampanyekan. Jika yang diberitakan media massa itu benar adanya, kita semakin yakin bahwa memang Indonesia adalah Republik Maling Semua (RMS).

Perempuan dan Gerakan Anti-Korupsi

Menurut banyak kalangan, gerakan anti-korupsi adalah gerakan maskulin. Tak dapat dipungkiri, dari fakta di lapangan saja - walaupun belum ada survey khusus mengenai hal ini- para pegiat gerakan anti-korupsi sebagian besarnya adalah kaum laki-laki. Bisa dikatakan sangat jarang perempuan tampil sebagai penggerak utamanya. Jikapun ada, peranannya tidak terlalu signifikan, bahkan di beberapa level berada dalam posisi pendukung saja. Misalnya sebagai orang administrasi yang dalam proses pengambilan kebijakan strategis tidak pernah dilibatkan.

Sebagai bagian dari gerakan demokratisasi, kesetaraan gender harus secara sadar diterima sebagai cara pandang organisasi masyarakat sipil, apapun isu yang diperjuangkan, termasuk gerakan anti-korupsi sendiri. Mencari benang merah antara perempuan dan korupsi barangkali akan lebih gamblang jika menggunakan pendekatan korban. Dalam arti bahwa perempuan merupakan korban paling menderita dari praktek korupsi sehingga ada rasionalisasi akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam gerakan anti-korupsi.  Meskipun dari beberapa referensi yang mencoba menjelaskan hubungan antara perempuan dan korupsi justru seringkali terjebak pada cara pandang stereotype dalam bentuknya yang lain.

Misalnya kesimpulan yang menyebutkan “women less corrupt” yang pernah dibuat papernya oleh David Dollar, Raymond Fisman dan Roberta Gatti pada 1999 dalam “Are Women Really the “Fairer” Sex? Corruption and Women in Government” sehingga disimpulkan bahwa semakin besar keterlibatan perempuan di parlemen, semakin rendah tingkat korupsinya (lihat paper David Dollar, Raymond Fisman dan Roberta Gatti dalam “Are Women Really the “Fairer” Sex? Corruption and Women in Government”, 1999). Kesimpulan itu menurut mereka didasarkan atas beberapa hasil riset mengenai perbandingan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan.

Riset semacam itu tentu saja mudah dipatahkan karena generalisasi yang dilakukan sulit diterima secara metodologis kebenarannya. Mengacu pada beberapa pengalaman dalam dunia kejahatan korupsi, perempuan juga merupakan aktor yang potensial untuk melakukannya. Sebagai contoh adalah kasus korupsi APBD di Sumatera Barat yang telah divonis pada tingkat Pengadilan Tinggi, beberapa pelakunya adalah perempuan. Ini artinya, generalisasi teoritis atas pandangan itu masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Di sisi lain, kejahatan korupsi dalam perspektif kekuasaan tidak mengenal perbedaan perempuan dan laki-laki. Siapapun dia, baik laki-laki maupun perempuan, ketika memegang kekuasaan akan cenderung korup.

Namun demikian, pandangan yang menyatakan bahwa perempuan kerap memicu terjadinya praktek korupsi juga adalah bagian dari stigmatisasi. Mungkin sekali pandangan demikian muncul karena pembagian kerja dalam hubungan perkawinan, khususnya di Indonesia, masih menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga belaka. Sementara laki-laki adalah pencari nafkah keluarga. Karena pembagian kerja secara ekonomis telah memposisikan laki-laki sebagai pencari uang, jika terjadi korupsi akan muncul pandangan keliru bahwa sang istri yang menstimulus suami melakukan korupsi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Cara pandang demikian tidak hanya harus ditentang, tapi perlu didekonstruksi. Sehingga yang harus dikedepankan bukanlah asumsi bahwa perempuan merupakan pemicu terjadinya korupsi, melainkan bagaimana meningkatkan peranan perempuan dalam mendorong gerakan anti-korupsi, dengan melihat bahwa perempuan berada pada struktur terbawah dari piramida korban korupsi. Perempuan sejatinya bisa menjadi inspirator gerakan antikorupsi sejak dalam lingkup kehidupan yang paling kecil, yakni keluarga.

Peran dalam menanamkan nilai di keluarga yang anti-korupsi sangat memungkinkan mengingat secara faktual kalangan perempuan berposisi sebagai rumah tangga. Mereka memiliki banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak maupun anggota keluarga yang lain. Ide ini tidak bermaksud untuk memapankan posisi perempuan dalam kerja-kerja domestik kerumahtanggaan. Melainkan lebih kepada mensiasati kondisi real yang dihadapi.

Meski demikian, secara lebih luas peran perempuan dalam gerakan anti-korupsi perlu diakomodasi melalui beberapa cara. Pertama, organisasi anti-korupsi harus meninjau ulang kebiasaan-kebiasaan kerja organisasi yang sifatnya maskulin, baik dalam konteks perumusan program, jadwal, pelaksanaan maupun pada tingkat evaluasinya. Ini berarti gender equality perlu diletakkan sebagai bagian penting dari nilai-nilai dasar organisasi yang tercermin dalam cara berpikir dan aktivitas-aktivitas yang dilakukannya.

Seorang aktivis perempuan pernah mengeluh karena jadwal pelatihan investigasi yang dilaksanakan oleh salah satu organisasi anti-korupsi tidak memperhitungkan kebiasaan perempuan. Dia berargumentasi bahwa ibu rumah tangga memiliki alokasi waktu luang yang berbeda dibandingkan dengan perempuan yang bekerja di kantor atau laki-laki. Karena tiadanya pertimbangan soal waktu tadi, peserta pelatihan investigasi akhirnya hanya diikuti oleh kalangan laki-laki saja. Dengan demikian, sejak dari hal-hal yang kecil, keterlibatan perempuan harus sudah dipikirkan.

Kedua, adanya affirmative action bagi kalangan perempuan untuk terlibat secara lebih luas dalam agenda pemberantasan korupsi. Jika yang dikeluhkan selama ini adalah sedikitnya kalangan perempuan yang bergiat dalam gerakan anti-korupsi, barangkali masalahnya adalah belum munculnya affirmative action untuk mengakomodasi sumber daya manusia organisasi dari kelompok perempuan. Sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh perempuan di lembaga politik, gagasan perlunya affirmative action untuk perempuan harus menjadi bagian penting dari agenda reorganisasi lembaga anti-korupsi itu sendiri. Hal ini sekaligus untuk menunjukan dukungan nyata bagi perjuangan keadilan jender dan demokratisasi.

Ketiga, Pramodya Ananta Toer pernah mengatakan “adil sejak dalam pikiran”. Seorang kawan juga pernah menyebut “tidak sedikit perempuan yang berpikir patriarkhi”. Maksudnya, masalah ketidakadilan jender bukan sekedar masalah statistik berapa perempuan dan berapa laki-laki. Melainkan lebih jauh dari itu adalah masalah konstruksi berpikir.

Karena persoalannya terletak pada kekeliruan paradigma, harus ada cara dan tindakan yang diarahkan pada tujuan terjadinya shift of paradigm. Oleh karenanya, arena penyadaran akan pentingnya keadilan jender harus diarahkan juga pada kalangan pegiat anti-korupsi. Tak dapat dielakkan bahwa minimnya peran perempuan dalam gerakan anti-korupsi juga sangat ditentukan oleh bagaimana gerakan anti-korupsi memandang peranan perempuan untuk terlibat didalamnya. Dengan adanya gerakan penyadaran yang sistematis melalui kampanye publik, bisa diharapkan perempuan makin memiliki tempat dalam gerakan anti-korupsi.

(tulisan ini merupakan hasil refleksi dari diskusi regular yang pernah dilaksanakan di sekretariat ICW dengan menghadirkan 2 narasumber, yakni Rival Gulam Ahmad, Peneliti PSHK dan Direktur Advokasi LBH APIK)

Menuntun Keberanian

Membongkar praktek korupsi di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah. Meski banyak orang merasakan langsung akibat buruk dari korupsi, tapi menunjuk siapa biang keladinya tak semudah membalik tangan. Banyaknya aktor korupsi yang terlibat, rumitnya modus yang dilakukan, tertutupnya informasi dari pemerintah kepada masyarakat, sistem dan aparat hukum yang telah menjadi bagian dari budaya kekuasaan yang korup cukup menyulitkan ruang gerak bagi perlawanan terhadapnya.

Orang yang mengetahui, bahkan memiliki informasi akurat terjadinya korupsi belum tentu mau melaporkannya. Sekurang-kurangnya tiga penyebabnya. Pertama, pertimbangan keamanan dirinya, baik keamanan fisik maupun ekonomi. Tak ada yang menjamin setelah ia melaporkan, dirinya tidak diintimidasi, dicelakai ataupun dipecat dari tempat kerjanya.

Kedua, ketidakpercayaan yang tinggi kepada aparat penegak hukum. Apatisme masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi sudah sedemikian parah. Memberikan laporan kepada mereka sama saja memberikan amunisi untuk memeras. Ketiga, tidak adanya perlindungan hukum yang memadai bagi para pelapor kasus korupsi. Alih-alih dilindungi hukum, para pelapor justru harus berhadapan dengan hukum karena perbuatan mencemarkan nama baik seseorang.

Dalam situasi demikian, ICW mendorong berbagai kelompok masyarakat untuk memupuk keberanian dan kemampuan membongkar kasus-kasus korupsi dengan berbagai pendekatan. Pelatihan dasar anti-korupsi barangkali dapat dianggap sebagai metoda yang paling umum. Mengetuk-tularkan pengetahuan tentang korupsi, ketrampilan dalam menelusuri data, analisa terhadap masalah, membuat laporan kasus dan bagaimana melakukan advokasi biasanya efektif untuk membuat kantong-kantong perlawanan terhadap korupsi.

Bagi kelompok masyarakat yang secara mandiri telah membuat laporan korupsi, peran fasilitasi untuk kampanye dan loby di tingkat nasional menjadi bagian kerja strategis ICW. Mengingat laporan kasus korupsi sangat rentan terhadap gugatan balik, memastikan bahwa data dan dugaan yang dibuat sudah memenuhi kriteria mutlak dilakukan. Pada titik ini, komunikasi yang terbangun dalam melakukan kerjasama pembongkaran kasus korupsi telah ditransformasikan menjadi ajang untuk membangun jejaring anti-korupsi yang lebih luas.

Terbukti, pendekatan demikian mampu membangunkan kesadaran masyarakat untuk berani melaporkan kasus-kasus korupsi. Pada tahun 2004 saja, ICW menerima 415 kasus dugaan korupsi yang disampaikan oleh pribadi maupun kelompok masyarakat dari berbagai tempat. Memang tidak semua laporan itu bisa ditindaklanjuti. Beberapa saja yang menjadi prioritas untuk ditangani, dengan mempertimbangkan kemungkinan dapat dibentuknya jaringan baru anti-korupsi. Khusus untuk kasus korupsi yang terjadi di Jakarta, ICW mengambil peran untuk melakukan investigasi mandiri dan menyampaikan hasilnya kepada aparat penegak hukum. Kasus dugaan mark-up pengadaan pemancar RRI senilai Rp 40 Miliar yang kini sudah masuk tahap penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu contohnya. Demikian juga kasus mark-down penjualan tanah senilai Rp 300 Miliar di Perumnas yang kini sedang dalam penyelidikan Timtas Tipikor.

Jaringan anti-korupsi baru yang telah dilahirkan dari kerjasama pembongkaran kasus diantaranya adalah Prodem di Kendari, LPS-HAM di Palu, Bontang Corruption Watch (BCW) di Kaltim, G2W di Garut, PIAR di Kupang, Gerak, SORAK dan SAMAK di Aceh, Rahima di Cirebon dan beberapa daerah lainnya.

Akhirnya, laporan kasus korupsi tidak sekedar sebagai pekerjaan menyusun, menulis dan menyampaikannya kepada aparat penegak hukum. Lebih dari itu, bagaimana membangun jaringan antikorupsi, mendorong capacity building antar kelompok, memupuk kebersamaan sehingga tumbuh keberanian yang lebih besar untuk melawan praktek korupsi.

Jangan Pilih Politikus Busuk

Buruknya standar integritas dan kapasitas politisi yang duduk di parlemen tak dapat dilepaskan dari tiadanya model seleksi politik yang sehat, baik secara internal maupun melalui mekanisme pemilu. Secara internal, kedekatan dengan elit politik dan kemampuan finansial kandidat menjadi aspek yang menentukan. Di sisi lain melalui pemilu, cara-cara pembelian suara menjadi suatu hal yang lumrah dilakukan, dengan memanfaatkan rendahnya kesadaran politik pemilih.

Tak ayal, saat mereka menjadi pejabat publik, penyelewengan kekuasaan tak dapat dihindarkan. Uang senilai tak lebih dari Rp 50 ribu harus dibayar dengan kesengsaraan selama 5 tahun. Demikian berulang-ulang hingga pemilu tak dapat dijadikan sebagai ajang untuk memberikan sanksi bagi pejabat yang lupa terhadap janjinya pada saat kampanye.

Disaat partai politik justru menjadi kekuatan oligarkhi yang korup dan anti perubahan, tak ada jalan lain kecuali menggugah kesadaran politik pemilih untuk tidak mudah dibodohi. Pertimbangannya, lahirnya pemilih yang sadar akan memaksa perubahan pada politisi maupun partainya. Oleh karena itu, pemilih harus diubah cara berpikirnya. Dari irasional menjadi rasional, dari loyal-buta mejadi kritis dan dari emosional menjadi objektif. Dimotori oleh ICW dan beberapa LSM lain di Jakarta, Gerakan Nasional Tidak Pilih Politikus Busuk (GNTPPB) lantas menjadi pemicu sekaligus mesin penyadaran yang ampuh.

Dideklarasikan pertama kalinya pada 29 Desember 2003 di Tugu Proklamasi, daya tarik GNTPPB sanggup mendongkrak simpati dari berbagai kalangan. Di tengah guyuran hujan deras, tak kurang dari 2500 orang memadati lapangan Tugu Proklamasi. Deklarasi tersebut sekaligus menandai dimulainya perang terhadap politikus busuk yang akan kembali ke gedung parlemen.
     
Gayungpun bersambut, deklarasi serupa juga dilakukan oleh berbagai elemen GNTPPB di banyak daerah. Tercatat 200 organisasi masyarakat sipil termasuk kampus menyatakan diri bergabung dalam gerakan ini, mencakup wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan beberapa tempat lain yang dengan inisiatif sendiri menggerakkan kampanye Tidak Pilih Politikus Busuk.

Siapa yang disebut politikus busuk adalah mereka-mereka yang selama ini melakukan korupsi, merusak lingkungan, pelanggar HAM dan pelaku kejahatan seksual. Kriteria ini membuat batas yang tegas mana yang disebut negative campaign dan mana yang termasuk black campaign. Negative campaign masuk dalam lingkup demokrasi karena berkehendak untuk menyampaikan kepada publik tentang sesuatu kebenaran yang harus diketahui, supaya kualitas demokrasi itu sendiri menjadi lebih baik. Dengan kata lain, rekam jejak politisi yang akan dipilih dalam pemilu harus diketahui seluas-luasnya oleh pemilih supaya terhindar dari praktek “membeli kucing dalam karung”.

GNTPPB dalam waktu sesaat menjadi begitu populer karena kreatif dalam merumuskan beragam metoda untuk mensosialisasikannya. Mulai dari pembuatan lagu oleh beberapa musisi kondang seperti Franky Sahilatua dan Harry Rusli (Alm.) yang menjadi mars gerakan, penyebaran stiker dan poster, diskusi publik, talk show di banyak radio hingga pembuatan koran Sosok yang berisi daftar politikus bermasalah.

Tak sedikit yang menyimpulkan bahwa gerakan ini gagal karena tidak mampu menghadang kembalinya politikus busuk. Namun harus diakui secara jujur bahwa sistem pemilu 2004 masih menyulitkan untuk bekerjanya hukuman tidak memilih politikus busuk. Yang harus dilihat, sangat sedikit –hanya dua orang- politisi yang lolos ke parlemen karena perolehan suara yang memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Barangkali, inilah sumbangan yang dapat diberikan oleh GNTPPB pada usianya yang baru menginjak tahun pertama.    
     

        

Masyarakat Sipil dan Pemberantasan Korupsi

Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri”(Mohammad Hatta, 1957)

Hipotesis yang mengatakan bahwa telah terjadi desentralisasi korupsi paska otonomi daerah kian tak terbantahkan setelah dalam beberapa waktu terakhir, kita mendengar atau membaca dari berbagai media massa terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan secara massal anggota DPRD. Kejadian korupsi tersebut tidak hanya dimonopoli oleh satu daerah saja, melainkan sudah menyebar secara merata di berbagai pusat-pusat kekuasaan baru. Dari sisi aktor, selain DPRD, Kepala Daerah merupakan pelaku korupsi di daerah yang –dari sisi grafik- menempati urutan tertinggi (Pola, Aktor dan Modus Korupsi Paska Desentralisasi, Quarterly Report ICW Jan-Agustus 2004).

Berkaca pada fenomena diatas, kita bisa mengatakan bahwa proses demokratisasi paska tumbangnya rezim Orde Baru, yang ditandai dengan semakin terbukanya keran kebebasan, baik kekebasan bagi pers, kebebasan bagi masyarakat untuk berpendapat, kebebasan untuk mendirikan organisasi politik (partai) pada kenyataannya diliputi oleh berbagai distorsi, khususnya distorsi yang terkait dengan praktek penyelewengan kekuasaan (baca: korupsi). Implementasi otonomi daerah, yang kandungan intinya adalah proses demokratisasi ternyata tidak diimbangi atau diikuti oleh penerapan prinsip-prinsip good governance dalam praktek penyelenggaraan negara, sebagaimana menjadi tuntutan utama gerakan reformasi. Buah dari pemberian otoritas besar kepada pemerintahan daerah minus akuntabilitas adalah maraknya praktek korupsi.

Salah satu bentuk penyelewengan mandat oleh DPRD dan pemerintah daerah adalah pada kewenangan untuk merencanakan dan menyusun (fungsi budgeting) APBD yang tidak diimbangi dengan tingkat dan kapasitas kontrol atas kewenangan itu dari publik. Sudah menjadi postulat bahwa pemberian wewenang yang besar tanpa diimbangi dengan kendali yang kuat hanya akan memperpanjang usia rezim yang serakah. Distribusi kekuasaan yang timpang akan melahirkan kebijakan yang korup. Tiadanya mekanisme check and balances membuka ruang bagi pejabat negara untuk berbuat sewenang-wenang (abuse of power).

APBD merupakan pundi-pundi kekayaan negara yang mudah untuk dijadikan sapi perahan oleh DPRD dan Pemda. Pasalnya melalui APBD, alokasi manfaat anggaran dibuat dan proyek-proyek ‘pembangunan’ dirancang. Semuanya dibandrol dengan nilai rupiah yang tidak kecil. Dan otoritas untuk menyusun sekaligus mengesahkan APBD ada pada palu parlemen lokal (DPRD) dan Pemerintah Daerah.

Proses penyusunan APBD yang sebatas diserahkan kepada DPRD dan Pemda seringkali hanya melahirkan proyek-proyek mercusuar, biaya ekonomi tinggi, tapi tidak sesuai dengan kebutuhan prioritas masyarakat luas. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat atas satu proyek pembangunan sejak dalam perencanaannya sudah harus bertarung dengan kepentingan swasta (pengusaha) yang masuk melalui lobby dan deal-deal yang sulit ditangkap fenomenanya dalam sosok yang telanjang. Bahkan tak jarang anggota DPRD sendiri yang melaksanakan proyek dari APBD itu dengan menggunakan bendera perusahaan tertentu yang dikendalikan oleh orang-orang kepercayaan (proxy).

Dalam berbagai kasus, fungsi anggaran yang dimiliki anggota DPRD sering kali diselewengkan.  Wakil rakyat di parlemen yang merupakan representasi partai politik dengan heterogenitas kepentingan –karena masing-masing mewakili kepentingan konstituen- dapat menjadi kompak karena proyek APBD. ‘Asal dibagi rata’ dan ‘asal semua dapat’ merupakan istilah sindiran yang kerap ditujukan kepada mereka. Praktek ini mentransformasikan satu lembaga politik (parlemen) yang bergerak dinamis karena kompetisi politik, menjadi lembaga yang berisi gerombolan ‘pencuri’ terorganisir. Data Kapuspenkum Kejaksaan Agung bahwa pada 2003 sebanyak 270 anggota DPRD diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia atas kasus penyelewengan dana APBD setidaknya memberi konfirmasi atas status gerombolan ‘pencuri’ itu.

Fungsi lain yang juga tidak luput dari penyalahgunaan adalah fungsi legislasi yang keluaran akhirnya berbentuk Peraturan Daerah (perda). Dari laporan Mendagri, untuk tahun 2001 saja, sekitar 68 perda dikategorikan bermasalah. Pasalnya sebagian besar perda yang dikeluarkan pemerintah daerah memiliki motif untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang pada implementasinya cenderung memiliki tendensi pemerasan. Padahal, keluarnya perda pendapatan tanpa disertai analisa dampak hanya akan membawa akibat negatif bagi perekonomian daerah itu sendiri dalam jangka panjang. Selain banyak perda yang isinya bertentangan dengan UU yang lebih tinggi, terbitnya aturan itu justru menghambat iklim usaha dan mendistorsi arus barang dan jasa (Faisal Basri, 2003).

Sejumlah pihak menyoroti banyaknya distorsi yang muncul paska pemberlakuan otonomi daerah karena sejumlah hal, yakni:
Pertama,   program otonomi daerah  hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tanpa disertai dengan pembagian kekuasaan kepada masyarakat.  Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.

Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat  ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung yang dapat memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD (Sekedar catatan, mulai tahun 2005, semua pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, bukan oleh DPRD). Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah (CSIS, TA. Legowo, 2001).
Ketiga, kontrol DPRD terhadap jalannya pemerintah (eksekutif) tidak berfungsi, melainkan disalahgunakan sehingga terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD, sementara  kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Praktek kolusi yang terjadi antara DPRD dan Kepala Daerah disebabkan karena tiadanya kompetisi politik antar aktor politik di daerah. Sementara itu, kuatnya aroma kolusi dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan DPRD maupun Eksekutif mencerminkan kuatnya oligharki elit di daerah, sehingga sulit untuk mengharapkan berfungsinya mekanisme kontrol dari mereka.

Pemberdayaan Masyarakat Sipil  

Dalam situasi dimana masyarakat politik sudah sedemikian korup, maka mengharapkan pemberantasan korupsi datang dari pemerintah menjadi suatu hal yang mustahil -untuk tidak menyebut sia-sia-. Tiadanya kemauan politik sekaligus aksi politik dari pemerintah untuk bersikap tegas terhadap praktek korupsi menyebabkan pemberantasan korupsi tidak bisa diharapkan datang dari atas. Hanya ada segelintir daerah saja yang berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang bersih oleh karena adanya kemauan yang kuat dari pimpinannya (Kepala Daerah). Misalnya di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dan Kabupaten Jembarana di Bali. Untuk Kabupaten Solok sendiri, beberapa waktu lalu Gamawan Fauzi, Bupati Solok memperoleh Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) karena sikap nyatanya dalam pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahan kabupaten Solok.

Barangkali, Sumatera Barat merupakan contoh daerah dimana tiga hal yang berkaitan dengan korupsi dan pemberantasannya tumbuh disana. Tiga hal itu adalah, pertama, korupsi DPRD pertama kali terbongkar di Sumbar. Kedua, gerakan anti-korupsi yang berbasiskan masyarakat –untuk pertama kalinya- di Sumbar telah menunjukkan beberapa keberhasilan. Ketiga, adanya kemauan kuat dari pemimpin daerah sebagaimana dilakoni oleh Bupati Solok untuk menciptakan pemerintahan yang bersih juga muncul pertama kali di Sumbar.

Dengan melihat kondisi diatas, bagi kita yang berangkat dari gerakan masyarakat sipil, konsep pemberantasan korupsi di Indonesia harus diarahkan kepada munculnya gerakan rakyat. Apa yang dilakukan oleh Forum Perduli Sumatera Barat (FPSB) bisa kita jadikan rujukan sekaligus keyakinan bahwa gerakan sosial melawan korupsi di Indonesia memiliki prospek keberhasilan yang cukup tinggi.

Oleh karenanya, inisiatif dan desakan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih harus lahir dari masyarakat sipil sendiri. Beberapa agenda yang lebih konkret –sesuai dengan problem mendasar yang terjadi di banyak daerah-  perlu diinventarisir secara seksama untuk merumuskan rencana aksi yang lebih strategis. Beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan dalam konteks lokal adalah:

Pertama, menuntaskan proses otonomi daerah yang sekarang ini berhenti hanya sampai tingkat otonomi pemerintah daerah saja. Maksudnya, otonomi daerah harus menyentuh pada persoalan mendasarnya, yakni adanya otonomi masyarakat. Dengan otonomi masyarakat, apa yang disebut oleh Bung Hatta sebagai demokrasi, yakni pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat benar-benar dapat diwujudkan.
Kedua, kontrol masyarakat dapat berjalan efektif jika aksesibilitas terhadap informasi dari institusi publik dengan mudah bisa diperoleh. Maraknya korupsi dalam bentuk korupsi APBD, pelaksanaan proyek fiktif, penggunaan SPJ fiktif dan sebagainya merupakan buah dari tertutupnya akses informasi bagi masyarakat yang tengah mengawasi jalannya pemerintahan daerah. La Ode Ida, salah satu anggota DPD terpilih dari Propinsi Sulawesi Tenggara yang sekaligus Direktur Eksekutif FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) dalam sebuah diskusi di televisi mengatakan bahwa pengawasan anggaran adalah soal yang mudah. Mudah jika masyarakat diberikan jaminan untuk dapat memperoleh, mengakses setiap informasi yang terkait dengan penyelenggaraan anggaran pemerintah daerah. Kebebasan informasi itu perlu dibingkai dalam sebuah aturan main, sehingga hak masyarakat untuk tahu apa yang telah dikerjakan oleh pemerintahnya mendapatkan jaminan konstitusional. Dalam konteks lokal, adanya perda transaransi merupakan implementasi dari semangat untuk mewujudkan good governance.

Ketiga, partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan adalah suatu prasyarat utama yang tidak bisa diingkari dalam memperbaiki posisi tawar. Partisipasi itu bukan sekedar keterlibatan wakil-wakil masyarakat yang dalam prakteknya mudah sekali dimanipulasi sebagaimana ditunjukkan dalam penyusunan anggaran, namun keterlibatan dalam pengertian yang lebih jauh, yakni keterlibatan dalam pendapat dan dalam aksi (tindakan), sekaligus keterlibatan dalam menentukan setiap kebijakan yang akan diambil.

Keempat, secara internal, lembaga demokrasi seperti parlemen atau partai politik perlu membenahi diri. Dalam konteks parlemen, penerapan kode etik -melalui pengaktifan Dewan Kehormatan misalnya- yang mengikat dan memberikan rambu-rambu atas perilaku dan tindakan mereka perlu diterapkan secara tegas sehingga mekanisme etik dilingkungan internal parlemen benar-benar berfungsi. Kode etik plus pemberian sanksi  yang tegas atas setiap perilaku yang menyimpang ditubuh parlemen akan memberikan legitimasi baru dari masyarakat, setelah sebelumnya citra parlemen terpuruk karena hempasan gelombang korupsi.    

Sebenarnya, masih banyak agenda lain yang perlu dijadikan prioritas gerakan rakyat dalam hubungannya dengan pemberantasan korupsi dalam konteks otonomi daerah. Yang terpenting, agenda gerakan masyarakat sipil harus selalu mengarah kepada semakin kuatnya posisi tawar masyarakat terhadap pemerintahan. Semua itu akan berujung pada terwujudnya keseimbangan kekuasaan demi terwujudnya kontrol rakyat atas jalannya kekuasaan.

Good Governance

Discourse atau perdebatan mengenai tema Good Governance (GG) kian intensif dan meluas seiring dengan meningkatnya desakan masyarakat akan adanya perubahan atas praktek penyelenggaraan negara (baca: pemerintah) di seluruh levelnya. Tidak hanya dilevel pemerintah saja, di sektor swastapun (masyarakat bisnis) tuntutan untuk melakukan perubahan juga berhembus kencang. Maka lahirlah konsep Good Corporate Governance (GCG). Dalam prakteknya, pakta anti-suap yang dikumandangkan oleh KADIN (Kamar Dagang dan Industri) merupakan salah satu bentuk dari penerapan konsep GCG.

Ditilik dari istilahnya, tentu saja GG ataupun GCG bukanlah term (istilah) yang orisinil muncul dari khasanah perbendaharaan bahasa Indonesia. Oleh karenanya, dari sisi gagasan, GG merupakan konsep yang lahir dari dunia luar (baca: Barat) yang terlebih dulu mengalami proses evolusi dalam kaitannya dengan relasi antara negara, sektor swasta dan masyarakat sipil. World Bank, IMF dan lembaga donor internasional lainnya adalah nama-nama yang telah mempromosikan dan mempopulerkan istilah tersebut.

Tentu saja setiap konsep yang diajukan/ditawarkan oleh siapapun memiliki tujuan substantif masing-masing. GG dan GCG dalam perspektif lembaga donor merupakan resep mujarab untuk membingkai kehidupan ekonomi, politik dan sosial secara lebih bertanggungjawab dan demokratis setelah pada tahun 1997, Asia, khususnya Asia Tenggara dilanda krisis ekonomi maha hebat. Krisis ekonomi pada tahun itu tidak sekedar membawa dampak buruk pada sektor ekonomi an sich, namun juga berimplikasi luas pada sektor lainnya seperti bidang sosial, pendidikan, politik dan keamanan. Angka kemiskinan melonjak drastis, tingkat pengangguran membengkak, jumlah anak putus sekolah melambung, kerawanan sosial terjadi diberbagai tempat, demonstrasi massa dalam jumlah sangat besar muncul dimana-mana, krisis politik yang berujung pada lengsernya pemerintah berkuasa terjadi.

Dari aspek governance, terjadinya krisis ekonomi berkaitan erat dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di beragam level, dilakukan oleh banyak aktor/pemain dan menyebar ke berbagai pusat-pusat penguasaan sumber daya publik. Oleh karenanya, aturan yang lemah dan penegakan hukum yang mandul, tiadanya trasparansi, hilangnya akuntabilitas dan partisispasi dalam pengambilan keputusan publik, juga buruknya corporate governance menjadi target utama untuk segera dibenahi.

Dengan kata lain, GG ataupun GCG merupakan sebuah definisi yang hadir untuk membenahi tata kelola pemerintahan ke arah yang lebih baik, meliputi penerapan aspek transparansi, akuntabilitas, keadilan, kejujuran dan demokratis untuk menciptakan sebuah lingkungan yang lebih sejahtera secara ekonomi, sosial dan politik.

Otonomi Daerah Minus Good Governance

Dalam rekaman kasus korupsi di ICW dari bulan Januari-Agustus 2004, tercatat 60 kasus korupsi terkait dengan penyalahgunaan APBD yang dilakukan oleh anggota dewan (DPRD). Sementara pada bulan yang sama, tercatat 13 kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah di berbagai daerah, dalam berbagai proyek APBD telah dilaporkan kelompok masyarakat kepada ICW. Catatan lainnya, dari 66 kasus korupsi dari laporan masyarakat yang masuk ke ICW pada bulan yang sama, 35 kasus diantaranya terjadi di tingkat Kabupaten/Kota.

Gambaran diatas hendak menyampaikan sebuah pesan, sekaligus alarm bahwa otonomi daerah telah membawa pengaruh negatif bagi perilaku dan sistem penyelenggaraan pemerintahan. Premis yang menyebutkan bahwa korupsi terjadi ketika kekuasaan diberikan wewenang untuk melakukan monopoli sumber daya publik –biasanya bernilai ekonomis-, tanpa disertai dengan mekanisme pertanggungjawaban kepada publik sekali lagi mendapatkan pembuktiannya. Dalam konteks otonomi daerah, pihak yang diberikan kewenangan –yang cenderung monopolistic- adalah eksekutif (kepala daerah) dan legislative (DPRD).

Perkembangan di daerah yang telah keluar dari koridornya, oleh sejumlah ahli dipandang karena program otonomi daerah sebagaimana diatur di dalam UU No.22 tahun 1999 dan UU 25 tahun 1999, semata-mata hanya melimpahkan wewenang dalam pembuatan kebijakan, administrasi dan anggaran ke daerah. Tetapi tidak diikuti oleh program demokratisasi untuk membuka  peluang partisipasi masyarakat  dalam pemerintahan di daerah.

Dalam sebuah kajiannya tentang otonomi daerah, T.A Legowo, peneliti dari dari CSIS (2001) menyoroti bahwa desentralisasi wewenang pemerintahan itu pada dasarnya hanya  membuka akses bagi elit atau politisi lokal kepada sumber-sumber daerah, yang sangat rawan untuk terjadinya penyimpangan atau korupsi.

Dominasi elit lokal baik di level eksekutif maupun legislatif dalam proses pembuatan kebijakan daerah menjadi lebih kuat mengingat tidak efektifnya kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah. Hal itu mengingat tidak terdapat lagi hubungan strutural yang secara langsung dapat memaksakan kepatuhan pemerintah daerah ke pemerintah pusat.

Bupati dan walikota tidak lagi dipilih dan bertanggungjawab kepada pemerintah pusat, tetapi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai representasi rakyat. Kolusi telah membuat mekanisme kontrol oleh DPRD kepada Pemerintah Daerah  tidak berfungsi, sementara kontrol dari masyarakat masih lemah. Akibatnya wabah korupsi, kolusi dan nepotisme menemukan tempat barunya untuk berkembang biak.

Pemberdayaan Masyarakat Sipil  

Tuntutan agar prinsip-prinsip GG benar-benar diterapkan dalam setiap praktek penyelenggaran kekuasaan perlu diletakkan dalam kerangka sistem. Artinya penerapan prinsip-prinsip GG haruslah menjadi jaminan yang diatur dalam sebuah mekanisme hukum (peraturan). Ia tidak hanya diletakkan pada makalah-makalah, artikel, berita di koran, statement pejabat publik, kumandang kata-kata di radio, poster-poster di tembok jalanan, tapi diakui dan dipaksakan secara sah melalui sebuah peraturan. Dengan demikian, bingkai dari penerapan GG adalah ukum positif (rule of law) yang mana akan memberikan kejelasan bagi masyarakat luas untuk dapat menagihnya jika terjadi pengingkaran dalam penerapannya.

Di tengah masyarakat politik yang korup dan institusi demokrasi (partai politik) yang tidak sehat, tentunya mengharapkan inisiatif itu muncul dari politisi atau elit tidaklah menguntungkan. Oleh karenanya, inisiatif dan desakan itu harus lahir dari masyarakat sipil sendiri. Beberapa agenda penerapan prinsip GG yang lebih konkret –sesuai dengan problem mendasar yang terjadi di banyak daerah-  perlu diinventarisir.

Pertama, terkait dengan mekanisme pergantian pejabat publik (DPRD) dimana masyarakat bisa dan diakui oleh sebuah peraturan untuk menuntut adanya pergantian pejabat publik jika dinilai pejabat publik yang telah duduk di parlemen itu telah keluar dari amanah atau agenda yang diinginkan. Di Thailand, setiap anggota parlemen bisa diganti jika ada mosi tidak percaya dari masyarakat melalui model jumlah minimal yang menuntut pergantian (kuota). Langkah ini sangat terkait dengan mekanisme akuntabilitas pejabat publik kepada masyarakat luas.

Kedua, kontrol masyarakat dapat berjalan efektif jika aksesibilitas terhadap informasi dari institusi pemerintah dengan mudah bisa diperoleh. Maraknya korupsi dalam bentuk korupsi APBD, pelaksanaan proyek fiktif, penggunaan SPJ fiktif dan sebagainya merupakan buah dari tertutupnya akses informasi bagi masyarakat yang tengah mengawasi jalannya pemerintahan daerah. La Ode Ida, salah satu anggota DPD terpilih dan Direktur Eksekutif FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) dalam sebuah diskusi di televisi swasta mengatakan bahwa pengawasan anggaran adalah soal yang mudah. Mudah jika masyarakat diberikan jaminan untuk dapat memperoleh, mengakses setiap informasi yang terkait dengan penyelenggaraan anggaran pemerintah daerah.    

Ketiga, partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan adalah suatu prasyarat utama yang tidak bisa diingkari. Partisipasi itu bukan sekedar keterlibatan wakil-wakil masyarakat yang dalam prakteknya mudah sekali dimanipulasi sebagaimana ditunjukkan dalam penyusunan anggaran daerah di banyak tempat, namun keterlibatan dalam pengertian yang lebih jauh, yakni keterlibatan dalam pendapat dan dalam aksi (tindakan) yang diakui secara sah oleh sebuah regulasi. Tanpa adanya regulasi, konsep partisipasi publik dalam setiap proses pengambilan keputusan ibarat pepesan kosong.

Keempat, secara internal, lembaga demokrasi seperti parlemen atau partai politik perlu membenahi diri. Dalam konteks parlemen, penerapan kode etik -melalui pengaktifan Dewan Kehormatan misalnya- yang mengikat dan memberikan rambu-rambu atas perilaku dan tindakan mereka perlu diterapkan secara tegas sehingga mekanisme etik dilingkungan internal parlemen benar-benar berfungsi. Kode etik plus pemberian sanksi  yang tegas atas setiap perilaku yang menyimpang ditubuh parlemen akan memberikan legitimasi baru dari masyarakat, setelah sebelumnya citra parlemen terpuruk karena hempasan gelombang korupsi.

Demikian halnya dengan partai politik, tidak bisa lagi mengandalkan pada kekuatan penyumbang terbesar untuk dapat bertahan. Partai politik perlu merespon perubahan dan tuntutan dari masyarakat yang kian mengharapkan adanya transparansi, pembersihan orang-orang (politikus) busuk dari tubuh partai politik yang selama ini telah membuat partai politik kehilangan artinya sebagai lembaga demokrasi.

Jika partai politik abai dan tidak peka terhadap tuntutan perubahan, maka yang terjadi adalah penyaluran aspirasi politik melalui jalur non-partai sebagaimana dicerminkan pada tuntutan pemilihan kepala daerah secara langsung yang harus mengakomodir kandidat independen dari jalur non-partai. Setidaknya ada dua sisi perubahan yang secepatnya perlu diterapkan dalam tubuh partai politik, pertama adalah memperbaiki mekanisme transparansi dan akuntabilitas dana politiknya dan yang kedua adalah pembenahan mekanisme rekrutmen internal yang harus memberikan peluang yang sama bagi setiap kader atau setiap orang untuk dapat bekiprah dalam jabatan-jabatan publik.

Strategi Advokasi

Banyak orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata.

Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas.

Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.      

Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang lingkup dan tujuan.  

Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka advokasi dalam pembahasan ini tak lain adalah advokasi yang bertujuan memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik. Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan sosial.

Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah (charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin.

Membantu orang yang sedang dalam kesulitan/kemiskinan dengan sedekah memang tidak salah, bahkan dianjurkan. Namun tindakan itu tidak strategis karena tidak dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dengan kata lain, sedekah merupakan tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.

Mengapa Kebijakan?
Sesungguhnya masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat merupakan dampak dari hubungan dan tarik-menarik kepentingan antara tiga aktor/pelaku governance, yakni negara, swasta dan masyarakat. Ketika hubungan itu berjalan tidak seimbang, biasanya terjadi karena ada persekongkolan antara negara dan swasta, maka dapat dipastikan akan lahir kebijakan-kebijakan korup yang sangat merugikan masyarakat. Ruang lingkup kebijakan publik itu sendiri meliputi peraturan (rules), regulasi, standarisasi, Undang-Undang, pernyataan dan Instruksi (Decree) yang memiliki fungsi sebagai norma umum, standar etika maupun sanksi.

Satu bentuk produk kebijakan yang merugikan masyarakat luas misalnya saja kebijakan Pemerintah Megawati mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 mengenai Release and Discharge (R&D) yang membebaskan sekaligus memberikan jaminan tidak akan dituntut secara hukum bagi para konglomerat pengguna BLBI yang telah melunasi utang mereka.

Kebijakan ini sungguh konyol dan merugikan masyarakat luas karena pemerintah sama sekali tidak memperhatikan dimensi pidana korupsi, adanya moral hazard, pelanggaran prinsip prudential dalam berbagai kasus BLBI. Pemerintah menganggap kasus BLBI hanya merupakan perkara perdata utang-piutang saja. Padahal dana negara (baca: masyarakat) yang digunakan untuk BLBI mencapai Rp 600 triliun. Di sisi lain, Pemerintah SBY telah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dengan mencabut subsidi BBM bagi masyarakat miskin karena subsidi dianggap membebani anggaran negara. Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk mensubsidi BBM? Menurut Menko Perekonomian, Aburizal Bakrie, mencapai Rp 69 Triliun dengan asumsi harga minyak dunia per barel adalah US$ 37. Coba bandingan dengan dana BLBI yang dipakai untuk ‘mensubsidi’ para konglomerat perbankan yang mencapai Rp 600 triliun.

Kebijakan yang mengantarkan pada terciptanya situasi ketidakadilan, kerusakan dan kemiskinan tidak hanya berdimensi nasional, namun juga menjadi masalah di tingkat lokal. Misalnya saja kebijakan penyusunan APBD yang telah disahkan dalam Perda di beberapa daerah banyak diprotes warga. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, dari sisi perimbangan, dana yang dialokasikan untuk belanja rutin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik. Kedua, kebutuhan akan belanja publik seringkali tidak ada kaitannya langsung dengan kebutuhan real masyarakat sehingga rawan dikorupsi. Kasus korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama yang menyangkut pembelian kapal, pesawat, helikopter yang saat ini sedang ramai diperbincangkan merupakan salah satu contoh kecil betapa alokasi anggaran untuk belanja publik seringkali tidak mengacu pada kebutuhan konkret masyarakat. Ketiga, anggaran untuk menopang operasional eksekutif dan legislatif kerap kali tidak masuk akal karena alokasinya sangat besar.

Dari beberapa contoh kasus diatas, kita dapat melihat secara jelas bahwa akar masalah yang menjadi penyebab kerugian bagi masyarakat luas adalah karena adanya kebijakan. Dengan demikian, advokasi sesungguhnya adalah mempersoalkan ketidakadilan struktural dan sistematis yang tersembunyi di balik suatu kebijakan, undang-undang atau peraturan yang berlaku. Maka melakukan advokasi juga mempersoalkan hal-hal yang berada di balik suatu kebijakan, secara tidak langsung mulai mencurigai adanya bibit ketidakadilan yang tersembunyi dibalik suatu kebijakan resmi.

Oleh karena itu, tujuan dari advokasi keadilan sosial adalah bagaimana mengupayakan/mendorong lahirnya sebuah kebijakan publik yang adil, bagaimana merubah kebijakan publik yang tidak adil dan bagaimana mempertahankan kebijakan yang sudah adil dengan suatu strategi. Sebuah kebijakan publik tidak akan pernah dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas. Walaupun dalam proses pembuatan kebijakan publik terdapat wakil rakyat, tapi hal itu tidak akan pernah menjamin bahwa kepentingan rakyat akan menjadi prioritas. Hal ini karena aktor perumus dan pembuat kebijakan memiliki logika kekuasaan dan kepentingan sendiri untuk beroperasi. Apalagi jika ruang publik dalam kehidupan politik tidak mendapatkan jaminan dalam sistem dan konstitusi.

Agar kebijakan publik tidak menjadi alat yang justru meminggirkan kepentingan publik, karena digunakan sebagai alat kekuasaan sebuah bangsa untuk melakukan/melegitimasi perbuatan-perbuatan korup dan manipulatif bagi kepentingan segelintir orang, kebijakan publik harus selalu bersinggungan dengan konsep demokrasi. Artinya kebijakan publik tidak sekedar disusun atau dirancang oleh para pakar dan elit penguasa yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat banyak, melainkan harus menoleh pada opini publik yang beredar. Demokratis atau tidaknya perumusan kebijakan publik yang telah dilakukan akan sangat tergantung dari luas atau tidaknya ruang publik sendiri. Oleh karenanya, perluasan ruang publik dengan melakukan reformasi konstitusional yang mengarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar dalam proses politik yang ada pada sebuah negara harus dilakukan.

Advokasi: Kerangka Analisis, Kerangka Kerja dan Kerangka Jaringan

Mengingat advokasi merupakan kegiatan atau usaha untuk memperbaiki/merubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik itu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami suatu kebijakan publik adalah dengan melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu sistem hukum. Secara teoritis, sistem hukum mengacu pada tiga hal:

Pertama, isi hukum (content of law) yakni uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk UU, PP, Keppres dan lain sebagainya atau karena adanya ‘kesepakatan umum’ (konvensi) tidak tertulis yang dititikberatkan pada naskah (teks) hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku.  

Kedua, tata laksana hukum (structure of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi, partai politik dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen).

Ketiga adalah budaya hukum (content of law) yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran, penafsiran terhadap dua aspek hukum diatas, isi dan tata-laksana hukum. Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program advokasi harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan demikian, suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang dari satu aspek hukum tersebut yang dianggap merupakan titik-tolak paling menentukan.        

Untuk melakukan advokasi pada tiga aspek hukum diatas, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda mengingat ketiga aspek hukum tersebut dihasilkan oleh proses-proses yang memiliki kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, menurut Roem, kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan menempuh proses-proses yang disesuaikan sebagai berikut:

Proses-proses legislasi dan juridiksi, yakni kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek litigasi untuk melakukan judicial review, class action, legal standing untuk meninjau ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum selanjutnya.

Proses-proses politik dan birokrasi, yakni suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan melalui berbagai strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar menawar, kolaborasi dan sebagainya.

Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis, pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat dibutuhkan.

Mengingat advokasi merupakan pekerjaan yang memiliki skala cukup besar (karena sasaran perubahan ada tiga aspek), maka satu hal yang sangat menentukan keberhasilan advokasi adalah pada strategi membentuk jaringan kerja advokasi atau jaringan kerja organisasi. Pasalnya kegiatan advokasi adalah pekerjaan multidimensi, sehingga dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak dengan spesifikasi keahlian yang berbeda dalam satu koordinasi yang sistematis dan terpadu. Sebagai catatan, tidak ada satu organisasipun yang dapat melakukan sendiri kegiatan advokasi tanpa ada jaringan atau dukungan dari kelompok lainnya. Justru semakin besar keterlibatan berbagai pihak, akan semakin kuat tekanan yang dapat diberikan dan semakin mudah kegiatan advokasi dilakukan.

Untuk membentuk jaringan organisasi advokasi yang kuat, dibutuhkan bentuk-bentuk jaringan yang memadai. Sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk jaringan organisasi advokasi yang satu sama lainnya memiliki fungsi dan peranan advokasi yang berbeda, namun berada pada garis koordinasi dan target yang sama.

Pertama, jaringan kerja garis depan (front lines) yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk menjadi juru bicara organisasi, melakukan lobi, melibatkan diri dalam aksi yuridis dan legislasi serta penggalangan lingkar sekutu (aliansi). Tentunya pihak-pihak yang hendak terlibat dalam kegiatan advokasi jaringan kerja garis depan setidaknya harus memiliki teknik dan ketrampilan untuk melakukan tugas dan fungsi jaringan ini.

Kedua, jaringan kerja basis yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian, membangun basis massa, pendidikan politik kader, mobilisasi aksi dan membentuk lingkar inti.

Ketiga, jaringan kerja pendukung yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk mendukung kerja-kerja advokasi dengan cara mengupayakan dukungan logistic, dana, informasi, data dan akses.

Berhasil atau tidaknya advokasi yang kita lakukan sangat tergantung dari penyusunan strategi yang kita buat. Oleh karena itu dalam menyusun strategi advokasi harus mempertimbangkan beberapa aspek penting yang sangat menentukan keberhasilan advokasi. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut:

Pertama, bahwa dalam advokasi kita harus menentukan target yang jelas. Maksudnya kita harus menentukan kebijakan publik macam apa yang akan kita ubah. Apakah itu UU, Perda atau produk hukum lainnya.

Kedua, kita juga harus menentukan prioritas mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah dalam waktu yang cepat. Karena itu, kita harus menentukan prioritas mana dari masalah dan kebijakan yang akan diubah.

Ketiga, realistis. Artinya bahwa kita tidak mungkin dapat mengubah seluruh kebijakan public. Oleh karena itu kita harus menentukan pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu harus dirubah. Misalnya pada bagian pelaksanaan kebijakan, pengawasan kebijakan atau yang lainnya.

Keempat, batas waktu yang jelas. Alokasi waktu yang jelas akan menuntun kita dalam melakukan tahap-tahap kegiatan advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai.
Kelima, dukungan logistik. Dukungan sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan advokasi.

Keenam, analisa ancaman dan peluang.

Saturday, August 27, 2005

seminar bontang

workshop bontang


Aku, Pak Eko dari KPK dan Pak Nursyamsa dari DPD asal Kalimantan Timur tengah menanti jemputan untuk menuju Bontang dalam rangka kegiatan Seminar Sehari mengenai pemberantasan korupsi. Sayangnya, saat acara dilaksanakan sempat ricuh karena ada beberapa kelompok orang pendukung elit di Bontang tidak setuju dengan acara tersebut.
strategic plan



Untuk menghadapi tantangan ke depan, ICW mengadakan kegiatan strategic plan selama 3 hari di Anyer, Jawa Barat. Hadir sebagai fasilitator, Bang Oji (Fauzi) serta Mas Cip dari REMDEC.

Menggadaikan Mandat

Acapkali persoalan korupsi dibicarakan, tapi seringkali tidak ada penyelesaian. Sehingga berbicara mengenai korupsi kadang membuat masyarakat frustasi. Bagaimana tidak, Indonesia oleh Transperancy International (TI) tiap tahun digolongkan sebagai negara yang tinggi tingkat korupsinya. Tapi Indonesia adalah negara yang paling sedikit menjebloskan pelaku korupsi ke penjara. Karena lemahnya efek jera yang ditimbulkan oleh lembaga peradilan bagi para koruptor, maka praktek korupsi kian menjadi-jadi dan semakin vulgar. Kondisi ini diperparah oleh sikap lunak pemerintah terhadap realitas struktural yang korup. Perubahan orde –dari otoriter ke sistem politik yang lebih demokratis- melalui pemilu tak cukup untuk memutus tradisi rezim lama yang busuk. Ancaman korupsi dibawah Orde Reformasi ternyata jauh lebih gawat, bukannya menyusut.

Praktek korupsi menjalar ke pusat-pusat kekuasaan baru di daerah. Hal ini merupakan implikasi atas lemahnya posisi masyarakat sipil sebagai kelompok penyeimbang (kontrol) kekuasaan. Arah desentralisasi yang dirumuskan dalam dua paket UU Otda hanya menitikberatkan pada pemberian otoritas pemerintahan daerah. Sementara, tidak ada ruang akomodasi yang menjamin partisipasi politik masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Akibatnya, kebijakan publik yang menyentuh kehidupan masyarakat luas diambil tanpa ada mekanisme konsultasi publik, mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Dalam kondisi dan sistem yang demikian, perselingkuhan politik antar pemegang otoritas kerap kali terjadi.

Demokrasi Elit

Pemerintahan lokal yang otonom dimaksudkan untuk mendekatkan hubungan antara pengambil keputusan dengan masyarakatnya. Dengan semakin dekatnya jarak keterwakilan, peran serta (partisipasi) masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sangat mungkin untuk diwujudkan. Sehingga nilai-nilai demokrasi yang hendak dikembangkan bukan demokrasi elit, namun lebih mendorong kepada implementasi participatory democracy. Demokrasi elit mengarah pada peran dominan elit politik dalam pengambilan keputusan karena digunakannya mekanisme perwakilan. Jika demokrasi yang diwakilkan seringkali terjebak pada prosedur demokrasi semata-mata, participatory democracy lebih menekankan pada sistem pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat luas dengan mengurangi peran dan fungsi lembaga perwakilan.

Salah satu titik kelemahan dari demokrasi yang diwakilkan adalah adanya jurang yang lebar antara kepentingan masyarakat yang diwakili dengan kepentingan wakilnya di parlemen. Keputusan-keputusan yang diambil oleh wakil rakyat tidak dapat dialunir, walaupun keputusan itu sangat merugikan masyarakat luas. Masyarakat sendiri tidak dilindungi hak-haknya untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Akibatnya, beberapa upaya, misalnya class action dari kelompok masyarakat sipil untuk membatalkan suatu kebijakan karena tidak sejalan dengan kepentingan publik seringkali menemukan jalan buntu.

Di sisi lain, anggota parlemen sendiri telah memiliki legitimasi kekuasaan karena secara sah telah dipilih dalam pemilu untuk menjadi wakil rakyat. Jikapun dalam proses berjalannya fungsi mandat itu ada fakta penyimpangan, regulasi tidak menyediakan mekanisme bagi masyarakat untuk menarik mandatnya di pertengahan jalan, kecuali menunggu sampai datang pemilu berikutnya. Tidak berjalannya fungsi kontrol masyarakat menjadikan amanat publik bisa dengan mudah diperjualbelikan.
Salah satu agenda politik yang melahirkan kritikan masyarakat adalah proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang kerap diwarnai dengan praktek jual-beli suara.

Hal itu tampak semakin menggeramkan karena praktek money politics dilakukan secara telanjang, disertai dengan bukti-bukti dokumen (kuitansi) dan pengakuan (testimony), namun pelakunya bebas melanggeng ke tampuk kekuasaan tanpa kesulitan yang berarti.
Terjadinya praktek money politics dalam Pilkada merupakan gambaran nyata terjadinya manipulasi suara rakyat. Dengan kata lain, meminjam bahasa La Ode Ida, telah terjadi tirani minoritas (DPRD) atas suara mayoritas (konstituen). Praktek suap meluas karena lambannya aparat penegak hukum yang menyelidiki dugaan suap dan sikap pemerintah pusat yang permisif terhadapnya. Hingga detik ini, aparat penegak hukum yang sedang menyidik dugaan money politics dalam Pilkada belum ada yang membuahkan hasil. Padahal hampir dalam setiap Pilkada, dugaan suap itu muncul.

Kontribusi Masalah Pemerintah Pusat

Lolosnya berbagai kasus money politics dalam Pilkada tidak bisa dilepaskan dari kesalahan pemerintah pusat (Depdagri) dalam mengambil sikap tegas. Di berbagai kasus, wewenang administratif Mendagri untuk menunda atau bahkan membatalkan pemilihan kepala daerah karena indikasi kuat money politics (korupsi) tidak digunakan. Dengan alasan bahwa money politics merupakan persoalan hukum, penyelesaian kasus-kasus seperti itu lantas diserahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum.

Padahal seharusnya dalam posisi sebagai pengambil keputusan administratif, Mendagri dapat menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuat langkah preventif.
Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan sebagai tindakan pencegahan, pertama, menunda pelantikan hasil pemilihan yang terindikasi kuat berbau suap dan telah mengalami defisit kepercayaan dari publik, kedua, sesegera mungkin merevisi PP 105/2000 tentang mengenai Tata Tertib Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan membuat suatu prosedur baru yang mempermudah penanganan kasus money politics tanpa harus berimplikasi negatif terhadap jalannya pemerintahan.

Regulasi juga seharusnya membuka akses bagi masyarakat luas agar dapat berpartisipasi langsung untuk mengontrol proses pemilihan. Bukan justru dihalang-halangi atau dipersulit dengan mencantumkan syarat-syarat ketat yang “mustahil” dipenuhi oleh kelompok masyarakat yang berniat untuk melakukan monitoring pilkada dan memberikan pengaduan. Setidaknya, dua hal ini perlu dilakukan sembari menanti berlakunya pemilihan kepala daerah langsung.

Jikapun kemudian Mendagri menggunakan hak administratifnya untuk menunda dan membatalkan hasil pemilihan, dalam berbagai kasus cenderung tidak konsisten. Pada perkara Pilkada Lampung (2003), yang kala itu dimenangkan oleh Alzier, dalam kurun waktu yang relatif cepat hasil pemilihan dibatalkan oleh Mendagri.

Terlepas dari kebenaran akan tindak pidana yang dilakukan Alzier, namun ada persoalan lain yang lebih maknawi kandungannya, yaitu intervensi kekuasaan (politik) atas otoritas birokrasi. Secara kasat mata kita dapat melihat bahwa Alzier adalah ‘anak haram’ DPP PDI-P yang tidak mendapatkan restu namun justru memenangkan pertarungan. Kisah pidana penipuan oleh Alzier menjadi semata sebuah alasan untuk membatalkan hasil Pilkada, dibandingkan dengan semangat menciptakan jajaran birokrasi pemerintahan yang bebas dari cacat hukum, politik dan moral. Dalam konteks ini, relevan kiranya untuk mempertanyakan kembali klaim netralitas keputusan Pemerintah Pusat (Mendagri) dalam menetapkan atau membatalkan sebuah hasil Pilkada.

Mungkin seandainya Alzier atau ‘anak haram’ lainnya adalah paket rekomendasi dari DPP PDI-P, tentu hasil pemilihan itu akan berjalan mulus. Hal mana terjadi pada saat pilkada Bali (2003) berlangsung. Bagaimana tidak, 2 orang DPRD Bali dari Fraksi PDI-P telah memberi kesaksian mendapatkan dana senilai Rp 50 juta dari Pramono Anung sebagai “uang keringat” untuk mengangkat atau memilih Made Beratha -Gubernur Bali terpilih-. Sejalan dengan tata tertib (tatib) pemilihan, jika ada pengaduan masyarakat mengenai money politics dalam pemilihan terbukti, maka secara otomatis pemilihan dibatalkan.

Nyatanya Made Beratha tetap dilantik sebagai Gubernur Bali dengan meninggalkan luka dalam bagi pelapor (pengadu) karena harus mendapatkan sanksi pemecatan dari DPP PDI-P. Kasus money politicsnya sendiri yang sempat menghebohkan itu segera senyap, ditimpa riuh rendahnya pesta pelantikan. Jika benar bahwa pada 2005 Pilkada langsung baru dapat dilaksanakan. Bisa dipastikan proses pilkada oleh DPRD sebelum 2005 akan selalu diwarnai oleh praktek money politics. Buruknya kinerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan dugaan suap dan ambiguitas sikap Pemerintah Pusat adalah ujung soalnya. Mungkin karena suap bukan lagi dianggap sebagai tindakan pidana, melainkan cara sah untuk meraih kemenangan.

Modus Korupsi Anggota Dewan

Term ‘korupsi berjamaah’ dalam beberapa waktu terakhir menjadi kian populer setelah kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan diungkap satu demi satu. Namun demikian, untuk beberapa tempat seperti di Padang-Sumatera Barat, istilah itu oleh sebagian masyarakatnya dianggap tidak tepat karena kata berjamaah memiliki arti positif dan bernuansa religi, sementara korupsi selalu berkaitan dengan tindakan nista. Penolakan itu sendiri dapat diartikan sebagai sikap kritis masyarakat untuk tidak mencampur-adukan antara tindakan yang benar/positif dengan praktek tidak terpuji (korupsi).

Banyaknya kasus korupsi DPRD yang dilaporkan dan dibongkar sesungguhnya merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat sudah geram dengan praktek penyalahgunaan kekuasaan. Betapa tidak, anggota dewan yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol atas eksekutif untuk mencegah penyelewengan justru bertindak sebaliknya. Praktek korupsi, kolusi, pemborosan, kesewenang-wenangan hingga tindakan tidak etis yang melanggar nilai-nilai umum dipertontonkan secara telanjang dan berulang-ulang.

Namun demikian, upaya untuk menggiring ke proses hukum kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan ternyata cukup mendapatkan ‘perlawanan’. Secara umum, bentuk perlawanan itu ada lima macam. Pertama, bentuk intimidasi fisik dan ancaman kekerasan terhadap kelompok masyarakat yang mengungkapkan kasus korupsi melalui orang-orang bayaran. Kedua, cara persuasi dengan memberikan uang tutup mulut supaya kasus tidak diteruskan. Ketiga, mobilisasi massa pendukung dan mengeksploitasi sentimen kesukuan, agama atau kelompok untuk menghambat proses hukum yang sedang berjalan. Keempat, melalui upaya yuridis dengan melaporkan tindakan pembongkaran korupsi tersebut sebagai tindakan pencemaran nama baik. Kelima, pembentukan counter opini yang menyesatkan melalui kelompok intelektual, akademisi maupun pernyataan resmi yang dikeluarkan lembaga.

Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Seluruh Indonesia (Adeksi), dalam Musyawarah Nasional II baru-baru ini telah mengeluarkan rekomendasi menyangkut maraknya kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan. Dalam rekomendasinya, Adeksi beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh anggota dewan dalam menetapkan anggaran tidak serta merta bisa dikategorikan sebagai bentuk korupsi. Adeksi menyebutkan bahwa penyebab utama terjadinya korupsi yang menyebar dan mendudukan anggota dewan sebagai tersangka adalah karena adanya kerancuan dari sistem hukum kita sendiri, yakni faktor tumpang-tindihnya produk perundang-undangan yang ada sehingga melahirkan kesalahan tafsir dalam menetapkan anggaran. Kesalahan tafsir itulah yang oleh masyarakat dianggap sebagai praktek korupsi.

Tumpang tindihnya peraturan antara UU Otonomi Daerah (kini UU Pemda) dengan PP 110 tahun 2000 (kini PP 24 tahun 2004) tentang Kedudukan Keuangan DPRD yang saling bertolak belakang -khususnya kewenangan mengelola anggaran dewan- mungkin memberikan andil terhadap terjadinya ‘kekeliruan’ tafsir atas pelaksanaan peraturan tersebut. Namun alasan itu tidak cukup relevan mengingat dari sisi modus, mekanisme penyusunan dan penetapan anggaran DPRD tersirat unsur kesengajaan untuk mengabaikan rambu-rambu yang telah ditetapkan.

Modus Korupsi DPRD, Upaya Mengaburkan Definisi

Secara umum data Indonesia Corruption Watch (ICW) dari Januari hingga Desember 2004 mengenai kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan menunjukkan beberapa hal. Pertama, dari sisi jumlah kasus, perbuatan korupsi yang melibatkan anggota DPRD merupakan jumlah terbanyak, yakni 102 kasus dari total 239 kasus korupsi yang muncul pada sebagian besar wilayah di Indonesia. Data diatas sekaligus hendak menunjukan bahwa aktor korupsi yang menempati urutan terbesar adalah anggota dewan. Data ini pararel dengan hasil survey Transparansi Internasional Indonesia (TII) tahun 2004 yang menempatkan partai politik sebagai lembaga yang dianggap paling korup. Dengan demikian, terdapat korelasi yang masuk akal antara kondisi partai politik yang buruk dengan perilaku anggota dewan yang korup.

Kedua, secara umum terdapat empat modus korupsi DPRD yang dapat kita temui di hampir semua kasus. Modus pertama adalah dengan menggelembungkan batas alokasi penerimaan anggota dewan atau yang lebih akrab disebut mark-up. Dikatakan sebagai praktek mark-up karena PP 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD sebenarnya telah membatasi secara rinci penerimaan bagi anggota dewan yang bisa ditoleransi sesuai dengan tingkat Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Modus kedua adalah menggandakan (redundant) item penerimaan anggota dewan melalui berbagai strategi. Strategi yang paling kerap muncul adalah dengan memasukkan item anggaran yang berbeda-beda untuk satu fungsi. Misalnya terdapat pos asuransi untuk kesehatan, tetapi di pos lain muncul item tunjangan kesehatan. Padahal kedua pos penerimaan tersebut adalah untuk satu fungsi, yakni anggaran bagi kesehatan anggota dewan. Strategi lain adalah dengan menitipkan pos penerimaan itu pada anggaran eksekutif (Pemda). Biasanya item anggaran itu sering disebut sebagai bantuan untuk instansi vertikal seperti yang terjadi dalam kasus dana kaveling di Jawa Barat.

Modus ketiga dengan cara mengada-adakan pos penerimaan anggaran yang sebenarnya tidak diatur dalam PP 110/2000. Kasus yang paling banyak mencuat dan digugat oleh berbagai elemen masyarakat adalah alokasi anggaran untuk pos dana purnabakti. Di Jawa Barat dana purnabakti lebih popular dengan istilah uang kadeudeuh. Selain dana purnabakti, fasilitas rumah dinas yang seharusnya hanya diberikan kepada Ketua dan Wakil Ketua DPRD juga ternyata digelontorkan untuk seluruh anggota dewan.

Modus keempat adalah korupsi dalam pelaksanaan program kegiatan dewan. Dari aspek tindakan, korupsi jenis ini adalah korupsi yang paling telanjang dan nyata. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh anggota DPRD Kota Padang yang telah memalsukan tiket pesawat perjalanan dinas (SPJ fiktif) hingga mencapai Rp 10,4 Miliar.

Diantara keempat modus korupsi tersebut, modus keempat bisa dianggap yang paling konvensional dan umum terjadi di berbagai instansi pemerintah. Dalam pengertian bahwa tindakan korupsi dengan cara memanipulasi dokumen pertanggungjawaban penggunaan APBD hingga seolah-olah sebuah program telah dilaksanakan merupakan perbuatan yang nyata-nyata melanggar hukum, merugikan keuangan negara dan terdapat upaya untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, modus korupsi anggota dewan yang pertama hingga ketiga merupakan produk kesepakatan dua pihak (eksekutif dan legislatif) dengan memanfaatkan dua hal, yakni kewenangan yang dimiliki untuk membuat peraturan dan celah perundang-undangan yang tumpang tindih.

Korupsi model ini dianggap seolah-olah bukan merupakan tindakan korupsi karena telah dinaungi dalam sebuah peraturan daerah (Perda) yang legal. Padahal dari sisi materi peraturan, banyak terdapat penyimpangan (corrupt), baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan, kepantasan umum atau kelaziman. Oleh karena dipayungi dalam bentuk peraturan, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau legalisasi korupsi. Mengingat legalisasi penyimpangan didasari atas kesepakatan dua pihak pengelola daerah, korupsi yang telah menyeret beratus-ratus anggota dewan itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab pihak eksekutif (baca: kepala daerah).

Kini kita semakin yakin bahwa korupsi massal itu bukan hanya cerita, namun memang benar-benar ada. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat (Sumbar) telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang memutuskan bersalah atas 43 anggota DPRD Propinsi Sumbar. Bahkan Pengadilan Tinggi Sumbar memutuskan bahwa dakwaan primer atas tuduhan korupsi 43 angota DPRD Prop. Sumbar terbukti. Putusan tersebut tentunya akan semakin menguatkan keyakinan gerakan antikorupsi di seluruh pelosok nusantara untuk tetap konsisten dan maju. Harapannya, putusan Pengadilan Tinggi Sumbar juga dapat mengingatkan anggota DPRD periode 2004-2009 untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Semoga….

Kualitas Kampanye Partai Politik

Tudingan mencuri start kampanye pemilu yang dialamatkan kepada partai politik tertentu mencuat kembali. Baru-baru ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan "menunggangi" momen peringatan Hari Ibu, melalui organisasi sayapnya, Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB), melakukan gerak jalan santai yang melibatkan kurang lebih 6.000 orang (Kompas, 29 Desember 2003).
Aktivitas yang melibatkan massa dengan mempertontonkan atribut PKB ini dianggap sebagai bagian dari mencuri start kampanye. Namun, bagi Ketua Umum PKB Alwi Shihab, kegiatan itu bukan bagian dari kegiatan kampanye karena angka 15 yang merupakan nomor PKB sebagai peserta pemilu tidak ditampilkan. Alasan lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sampai saat ini belum memberikan batasan resmi mengenai kegiatan yang bisa dikategorikan sebagai kampanye. Sesungguhnya kegiatan seperti yang dipraktekkan PKB bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Partai peserta pemilu lainnya dalam beberapa momen juga melakukan hal serupa. Ini mudah dipahami karena secara yuridis-formal, dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif, terdapat kelemahan mendasar karena permasalahan seputar kampanye tidak dirumuskan secara detail. UU tersebut tidak memberikan batasan yang jelas mengenai kampanye pemilu dan perincian kegiatan pemilu yang bisa ditoleransi atau diterima. Titik lemah UU ini tentu saja merupakan berkah bagi para peserta pemilu--tidak hanya partai politik--karena dapat dimanfaatkan untuk melakukan "kampanye terselubung" tanpa ada risiko hukum apa pun. Dalam UU itu tidak ada sama sekali pasal yang dapat digunakan untuk menindak peserta pemilu yang mencuri start kampanye. Bagaimana mungkin UU bisa menjerat peserta pemilu yang diduga mencuri start kampanye jika yang disebut sebagai kampanye sendiri tidak pernah jelas? Dalam pada itu, sebenarnya posisi KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadi penting karena telah mendapat mandat UU Pemilu Legislatif untuk merumuskan ketentuan, pedoman, ataupun aturan main kampanye yang lebih teknis dan operasional dalam bentuk keputusan. Dengan adanya keputusan KPU, diharapkan potensi kecurangan dan kerawanan seputar kampanye pemilu dapat dikurangi. Tapi sayangnya, hingga detik ini KPU belum menetapkan keputusan apa pun untuk mengatur kampanye pemilu. Maka, jangan heran seandainya ada partai lain dengan massa yang lebih besar akan melakukan hal serupa seperti yang dipertontonkan PKB di luar waktu yang diberikan UU untuk melakukan kampanye, yakni selama tiga minggu. Berdebat soal kategori apakah suatu acara yang dibuat partai politik merupakan kegiatan kampanye atau bukan, bagi saya sangat membuang energi dan cenderung sia-sia. Pasalnya, hampir tidak ada sumber hukum yang dapat dijadikan referensi untuk menilai kategori kampanye dan bukan kampanye. Ada baiknya polemik soal mencuri start kampanye kita alihkan untuk menilai seberapa berkualitas kegiatan kampanye (resmi atau terselubung) yang selama ini dipraktekkan partai politik. Dengan menilai kualitas kampanye mereka, kita setidaknya dapat memberi pertimbangan bagi pemilih (voters) yang akan menentukan pilihan politiknya pada pemilu April 2004. Kualitas kampanye partai politik bisa dinilai dari beberapa ukuran sederhana. Pertama, apakah kegiatan kampanye itu mampu meningkatkan kemelekan (literacy) politik konstituen partai atau tidak? Semua orang paham bahwa kegiatan kampanye merupakan medium pendidikan politik masyarakat, khususnya konstituen partai. Namun, kegiatan kampanye itu harus didukung oleh model, materi, dan cara kampanye yang tepat supaya misi membuka cakrawala politik konstituen dapat tercapai. Melihat dari strategi kampanye partai politik yang masih menggunakan model pengerahan massa atau arak-arakan tentunya rasa pesimistislah yang mengemuka. Hampir tidak ada nilai tambah dari kampanye semacam itu untuk meningkatkan kapasitas politik massa. Bahkan yang terjadi sering sebaliknya, kekerasan, bentrok antarmassa, dan umpat-mengumpat antara satu pendukung partai dan pendukung lainnya kental tergambar. Tidak ada sikap santun, saling menghormati, dan sikap antikekerasan yang menjadi inti pendidikan demokrasi. Dengan kata lain, model kampanye yang selama ini dikembangkan partai politik cenderung bertolak belakang dengan misi pendidikan politik yang ingin diraih. Di samping kelemahan model kampanye, seringkali materi kampanye partai politik tidak mengandung nilai pendidikan politik yang memadai. Namun, menguatkan ikatan patronase politik yang didasarkan pada basis emosional tertentu, seperti agama, ideologi, suku, atau golongan. Kasus bentrokan pendukung partai Golkar dan PDIP di Bali yang menewaskan beberapa orang hanya karena soal bendera partai dapat dijadikan ajang refleksi bahwa pendidikan politik lewat media kampanye yang seharusnya diperankan oleh partai politik belum berjalan. Kedua, apakah kampanye itu merupakan instrumen untuk menanggapi isu-isu populis yang kemudian dikerangkakan dalam bentuk output kebijakan partai politik atau kebijakan pemerintah jika partai itu berkuasa? Jika kita hanya melihat dari janji-janji kampanye yang diumbar partai politik, tentunya kita tidak akan dapat mengukur seberapa berkualitas kampanye itu dilakukan, karena tidak ada partai yang tidak menjanjikan sesuatu yang bermanfaat bagi publik.Apalagi menimbang waktu yang sangat singkat untuk melakukan kegiatan kampanye seperti yang dialokasikan UU Pemilu Legislatif telah memaksa partai politik lebih fokus pada kampanye lisan (baca: mengumbar janji). Oleh karena itu, ada baiknya kampanye itu tidak dipahami hanya sebatas tiga minggu seperti yang diatur UU. Karena di berbagai waktu dan kesempatan, banyak kejadian atau peristiwa yang menyangkut nasib publik harus diputuskan. Di saat itulah, momen itu bisa digunakan sebagai ajang kampanye. Namun, tidak ada partai politik yang sadar dan lantas bisa memanfaatkannya. Sebut saja, misalnya, bencana longsor di Bohorok beberapa waktu lalu. Adakah partai politik yang melakukan aksi dan memberikan sekadar ucapan belasungkawa? Demikian pula halnya dengan krisis kemanusiaan di Aceh yang tidak bisa diprediksi kapan selesainya. Adakah partai politik yang berteriak lantang menentang kebijakan yang cenderung mengabaikan hak asasi manusia di kalangan masyarakat Aceh? Masih ada sekian ribu deret persoalan publik yang seharusnya ditanggapi oleh partai politik untuk dijadikan investasi politiknya. Namun, rupanya semua terlalu asyik dengan urusan penyusunan daftar calon legislatif dan persyaratan lainnya untuk dapat berkuasa. Singkatnya, saat ini urusan partai politik adalah urusan domestik yang tendensinya mencerminkan rendahnya rasa keberpihakan dan berorientasi pada kekuasaan semata. Ketiga, kampanye yang berkualitas seharusnya mampu mendorong partai politik untuk mengaktualisasikan demokrasi internalnya secara nyata. Sebenarnya, dua momen kampanye positif bagi partai politik untuk menunjukkan jati dirinya sebagai partai yang dapat bertanggung jawab (accountable) dan demokratis di hadapan publik adalah ketika kebijakan KPU mengenai penyerahan rekening dana kampanye partai politik dikeluarkan. Sampai batas akhir yang diberikan KPU, partai politik hanya memberikan nomor rekening kampanye tanpa disertai sumber dan jumlah saldo awalnya.Fakta ini setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, memang partai politik tidak memiliki saldo sama sekali sehingga tidak bisa dicantumkan. Kedua, partai politik tidak memiliki political will untuk berlaku terbuka dan bertanggung jawab di hadapan publik. Jika alasan kedua yang lebih kuat, tentunya kita bisa menduga bahwa dana pemilu partai berasal dari sumber yang tak jelas, bahkan bisa jadi berasal dari tindak kejahatan (korupsi) sehingga tidak mungkin untuk dibeberkan kepada publik melalui KPU. Momen lainnya adalah ketika daftar calon anggota legislatif untuk diserahkan ke KPU disusun. Proses penyusunan calon di dalam partai masih jauh dari gambaran demokratis. Bahkan di saat-saat terakhir penyusunan, aspirasi bawah di lingkungan dalam partai bisa dikhianati. Misalnya, Marwah Daud dari Golkar yang semula dicantumkan sebagai calon anggota legislatif nomor jadi, harus terpental ke nomor empat. Jika aspirasi bawah di lingkungan dalam partai saja bisa dikhianati, bagaimana dengan aspirasi masyarakat pemilih yang tidak memiliki ikatan struktural dengan partai? Seandainya partai politik tidak dapat mewujudkan mekanisme demokrasi internalnya sebagai tradisi berpolitik, akankah partai politik bisa memikul tanggung jawab untuk menyebarkan benih-benih demokrasi di lingkungan sosial politik yang lebih luas? Sepertinya, kita masih berada jauh dari harapan itu.